"Put your hand in my hand baby, don't ever look back."
Cinta dapat menjadi liar, ia dapat datang kapan saja, dapat pula
pergi tanpa permisi. Cinta dapat membuat anda melintasi ribuan kilometer untuk
mendapatkannya, tapi bisa pula hanya berjarak puluhan langkah dari anda, karena
terkadang sifat manusia yang tidak pernah puaslah yang kerap menjadi penghalang bagi cupid
untuk melepaskan panahnya. Hal klasik tentang cinta itu yang dibawa oleh film
ini, sebuah sistem dari kisah percintaan remaja yang standard dikemas secara
cukup efektif, Hot Young Bloods
(Pikkeulneun Chungchoon).
Young-Sook (Park
Bo-Young) dapat dikatakan merupakan gambaran dari sisi lain
remaja tahun 80-an. Kemudahan memperoleh informasi yang masih terbatas
menjadikan wanita berperawakan keras dengan status sebagai ketua geng sekolah
wanita paling ditakuti di Heongseong
ini punya pemikiran yang sempit dan terlalu sederhana, ia harus dan akan
mendapatkan apa yang ia inginkan. Celakanya ada satu hal yang tidak bisa ia
dapatkan dengan mudah, hal yang sensitif, cinta seorang pria cassanova penggoda
yang dapat membuat wanita terpikat dalam sekejap bernama Joong-Gil (Lee Jong-Suk).
Sama halnya seperti Young-Sook, Joong-Gil dapat
memperoleh apa yang ia inginkan dalam konteks cinta. Namun suatu ketika
kehadiran seorang gadis pindahan dari Seoul
bernama So-Hee (Lee Se-Young) berhasil
merubah Young-Sook, yang selama ini selalu menjadikan cinta sebagai permainan
belaka. Kondisi tersebut terbaca oleh Young-Sook, yang merasa kesempatannya
akan semakin kecil dan mulai berupaya lebih jauh untuk mendapatkan Joong-Gil.
Namun ada satu masalah yang menjadi penghalang, status Young-Sook yang telah di
klaim sebagai pacar oleh pemimpin geng dari sekolah rival mereka, Gwang-Sik (Kim Young-Kwang).
Sepertinya tema past culture sedang menjadi topik
menarik di industri perfilman Korea,
ada Sunny, Architecture 101, bahkan
jika sedikit menyimpang ada Reply 1997,
dan juga Reply 1994 yang cukup hits
di dua tahun terakhir ini. Tentu saja itu menarik, siapa yang tidak ingin
menyaksikan kembali penggambaran kondisi masa lalu lengkap dengan segala keterbatasan
yang ada, menghabiskan malam berkumpul bersama minum alkohol ketimbang duduk di
depan layar komputer, hingga saling mengungkapkan cinta yang masih terbatas
menggunakan surat tulis tangan. Hal tersebut yang tampaknya menjadi bagian
utama dari misi yang diusung Lee Yeon-Woo,
menggambarkan energi kaum muda pada masa lalu.
Pendekatan Lee
Yeon-Woo mungkin menjadi salah satu kekuatan utama. Sejak awal kita dapat
melihat bahwa ini dibentuk tanpa sekalipun mencoba untuk tampil megah, ia
bermain dalam berbagai cara standard yang dapat menjadikan beberapa orang
menilai ia klasik dan klise, dan mencoba untuk membentuk sebuah kisah yang juga
tidak kalah konvensional. Oke, ada cinta tak berbalas, rasa takut, rasa
penasaran, percintaan segi banyak yang menciptakan situasi rumit, hanya disana,
dan kita tidak akan dibawa untuk bergerak lebih jauh. Dangkal? Tepat, tapi
uniknya Hot Young Bloods terasa
dangkal karena sejak awal ia memang hanya ingin menjadi sebuah kemasan dangkal
yang cukup menyenangkan.
Ya, cukup menyenangkan. Mengejutkan memang karena jika
menilik cerita yang ia miliki Hot Young
Bloods sebenarnya berada dalam level yang lemah, kasar malah, ia tidak
seperti berjalan tapi terkesan seperti di seret, namun yang menjadi masalah
adalah Lee Yeon-Woo seperti juga paham
bagaimana membentuk sebuah cerita dengan ciri khas Korea, dramatisasi. Ada satu inti yang kuat, terletak pada sosok
Young-Sook, dan dari sana ia mulai bermain-main dengan berbagai hal yang
anehnya meskipun tidak sampai level meluluh lantakkan namun cukup mampu
bersentuhan dengan emosi penontonnya. Hadir empati, hadir simpati, proses
pencairan jati diri bersama sakit dan pengorbanan, gairah dan masalah. Efektif
dan pas.
Benar, tema cinta yang diusung dibentuk dengan pas,
sama halnya dengan elemen-elemen pendukung lainnya. Sebut saja musik yang
menarik dan terkadang punya peran dalam menyokong cerita yang lemah, begitupula
dengan sisi komedi yang bermain aman tapi klik dengan tema yang dibawa, bahkan
paruh pertama terasa hidup ketika mereka masih mendominasi. Ya, Hot Young Bloods akan menawarkan dua
fase kepada penontonnya, pertama membangun cerita dan karakter bersama nafas
ringan penuh tingkah konyol, kemudian di paruh kedua mulai mempersempit gerak
dengan nada yang lebih gelap. Dibagian pertama ia berhasil, di bagian kedua
terasa lemah.
Hal semacam ini memang sebuah formula ampuh, terang di
awal dan kemudian serius dibagian akhir. Yang menjadi masalah bagi Hot Young Bloods adalah ia sejak awal
hanya berputar pada level cukup, tidak ada ikatan emosi dan karakterisasi yang
benar-benar kokoh, hasilnya ketika proses peralihan itu muncul ia kehilangan
pesonanya, mulai terasa lambat ketika cerita yang pada awalnya hanya sebatas
isu insecure sudah mulai dilingkupi dengan situasi rumit, serta kehilangan irama
dapat menjadikan perhatian penonton ikut teralihkan. Feel dari drama yang
sengaja dihadirkan untuk menunjukkan pertumbuhan remaja menjadi dewasa itu
terasa kurang kuat, terlebih dengan tempo yang menurun dan kehilangan sisi
cekatan yang ia miliki sebelumnya.
Untung saja ini tidak runtuh karena inti yang ia
bentuk sejak awal mampu berdiri hingga akhir. Penyebabnya adalah divisi akting,
dan statusnya sebagai salah satu pusat cerita dijalankan dengan baik oleh Park Bo-Young, ekspresi wajah yang mumpuni untuk menggambarkan perasaan
karakternya, berhasil ketika harus menjadi sosok kuat atau penuh rasa kesal dan benci,
sorot matanya punya transisi apik dari marah menjadi penuh rasa cinta, berhasil
mengundang simpati terlebih dengan latar yang ia punya. Lee Jong-Suk seperti hitam dan putih, ketika menjadi cassanova ia
sangat baik, komedi yang ia bawa juga mencapai sasaran, tapi ketika mulai
bermain dengan emosi ia kurang kuat. Sedangkan Lee Se-Young dan Kim
Young-Kwang mampu menjadi penyeimbang dan pembuka jalan yang cukup mumpuni.
Overall, Hot
Young Bloods (Pikkeulneun Chungchoon) adalah film yang cukup memuaskan. Disposable movie, mungkin sederhananya
seperti itu, sebagai hiburan sesaat ini terasa efektif, namun tidak sebagai
sebuah film yang dapat dikenang lama. Ceritanya lemah, terkadang sering terasa
terputus di beberapa bagian, namun komedi dangkal yang berhasil mencapai
sasaran mampu menutupinya, terlebih dengan bekerjanya dramatisasi terhadap
kadar emosi yang cukup mumpuni pada kisah cinta super klasik yang ia bawa. It's
okay.
0 komentar :
Post a Comment