"The future belongs to those who know where they belong."
Tidak dapat dipungkiri bahwa Divergent merupakan
sebuah kombinasi dari apa yang pernah eksis di dunia young adult, ada nafas Harry Potter, kemudian The Hunger Games, dan kisah romansa
dengan nada Twilight. Namun rasa ragu
yang muncul ketika pertama kali membacanya perlahan sirna karena meskipun tidak
megah Veronica Roth piawai dalam
menciptakan sebuah petualangan menyenangkan berisikan kompleksitas yang
menegangkan. But poorly, a movie
officially makes Divergent looks like The Hunger Games clone which built up with
Twilight system. I’m Divergent btw, a soul with more than one faction, and now
I’ll use my Chandor and Dauntless side to telling you this one: a bit boring,
and absolute bland.
Setelah hancur akibat perang, kota Chicago di tahun 2164 sudah terbagi
menjadi lima bagian. Mereka dikenal dengan sebutan faksi, ada kaum Amity yang benci peperangan, dan bekerja
sebagai petani, Erudite berisikan
kaum cerdas yang benci ketidaktahuan, dan berperan dalam pendidikan, Candor yang benci terhadap kepalsuan,
namun cinta kejujuran berperan dalam bidang hukum, Abnegation yang tidak egois dan senang membantu sesama berperan di
lingkup kepemimpinan pada pemerintahan, dan yang terakhir Dauntless, mereka yang benci rasa takut yang mengambil kendali pada
sistem keamanan. Bagi mereka yang telah beranjak dewasa diberikan kesempatan
untuk memilih, sekalipun nantinya mungkin akan dilabeli sebagai seorang
pengkhianat oleh faksi asalnya.
Itu yang dialami oleh Beatrice (Shailene Woodley), perempuan asal Abnegation yang memilih untuk masuk Dauntless, sama seperti yang dilakukan oleh abangnya Caleb Prior (Ansel Elgort) yang
menyeberang ke Erudite. Yang menjadi
masalah adalah bukan tekanan keji dari Eric
(Jai Courtney), ataupun persaingan dan bantuan dari orang yang baru ia
kenal seperti Peter (Miles Teller), Christina (Zoƫ Kravitz), ataupun Tobias "Four" Eaton (Theo James),
melainkan status Beatrice sebagai seorang Divergent,
sebuah kelainan langka dimana seseorang memiliki kemampuan lebih dari satu
faksi, sosok yang bukannya menjadi sesuatu yang istimewa namun justru dianggap
berbahaya dan harus dimusnahkan.
Divergent merupakan film yang tergelincir jatuh karena
eksekusi penuh kesan hati-hati dan bahkan sedikit rasa takut. Memang tidak
dapat dipungkiri tema tempat ia bermain sudah begitu familiar sekarang ini,
young adult dengan sentuhan dystopian dan post-apocalyptic, namun pada dasarnya
novel Divergent karya Veronica Roth itu sesungguhnya punya
potensi yang bukan hanya besar namun sangat besar untuk hadir sebagai kekuatan
baru, well meskipun memiliki materi seperti sebuah penggabungan, ya sebut saja
ide, dari Harry Potter, Twilight, dan yang sekarang berkuasa, The Hunger Games. Lantas mengapa film
ini menjadi boring dan hambar? Ia sangat rusak pada teknik bercerita.
Film ini punya kombinasi minus yang lengkap dari
sektor kendali utama, terhimpit dan menjadi bingung. Dari screenplay karya Evan Daugherty dan Vanessa Taylor, kemudian kombinasi bersama sentuhan dari Neil Burger (The Illusionist, Limitless) yang sebenarnya juga menjadi faktor
lain yang mempengaruhi tingginya ekspektasi, Divergent tidak terbangun menjadi sebuah upaya pemberontakan yang
intens dan menegangkan dibawah pimpinan seorang wanita sebagai pusat utama. Film ini seperti
terbebani oleh materi dan mungkin pula ekspektasi tinggi untuk sukses, sehingga
berbagai formula coba ia hadirkan yang sayangnya berakhir pada level kurang
mumpuni, dari penceritaan dengan gaya yang terlalu tenang, aksi brutal setengah hati,
hingga kisah asmara super canggung.
Ini yang menjadi masalah, Divergent tidak mampu lahir menjadi sesuatu yang at least punya
keunikan baru, dan secara perlahan menutup pintu bagi segala potensi yang ia
punya untuk beraksi. Divergent kurang
mampu membuat penontonnya menjadi rooting terhadap mereka, ikut merasakan bahwa
pemberontakan dengan permasalahan pada struktur sosial penuh kerumitan itu
punya peran penting bagi masa depan Chicago
itu sendiri, menginvestasikan emosi dan imajinasi mereka pada cerita yang dapat
memberikan sebuah ledakan provokatif. Tidak ada dinamika cerita yang menarik
disini, terlalu sederhana malah dan sangat bertolak belakang dengan sensasi
yang diberikan oleh sumber utamanya. Sekuat apapun mencoba untuk klik, tetap
sulit untuk mengingkari bahwa ini adalah adaptasi yang mengecewakan.
Ya, ini mengecewakan. Tidak menjadi masalah memang
modifikasi yang dilakukan pada bahan utama, namun yang disayangkan disini
adalah justru yang menghilang itu merupakan beberapa elemen yang berperan penting
untuk membangun misi utama. Ketimbang bermain-main dengan isu cinta dan keluarga, serta gesekan antar
faksi dengan perebutan kekuasaan yang kompleks, elemen menarik yang di novelnya
selalu mampu hadir hingga akhir, disini Neil
Burger justru berupaya membangun kisah dengan ruang yang terlalu kecil, personal, Beatrice Prior. Akhirnya
ini menjadi terlalu sempit, sangat sempit malah, setelah tahu latar belakang
dalam lingkup luas kemudian kita harus terperangkap dalam berbagai aksi
pelatihan monoton dan datar, bagian yang seharusnya memiliki taruhan nyawa
namun justru lebih terlihat seperti sebuah pusat kebugaran bagi para remaja.
Divergent mungkin akan memperoleh sedikit nilai
positif dari mereka yang telah membaca novel, mereka setia dalam penggambaran
dan harus diakui ada rasa penasaran yang terus hidup dan menanti bagaimana apa
yang pernah anda baca hadir dalam bentuk visual. Namun bagi mereka yang bukan
termasuk kategori tersebut, maka anda akan diajak bingung bersama, apa yang
terjadi, maksudnya apa, tujuannya kok belum jelas, itu tadi beberapa pertanyaan
dari seorang bapak yang duduk disebelah saya. Ini terjadi karena Neil Burger terlalu ceroboh di paruh
pertama, terlalu banyak makan waktu dan berbelit-belit tanpa membangun point
demi point menjadi kuat. Ia kurang mampu mempermainkan perasaan penonton dalam
pergerakan cerita yang menarik pada proses menunggu, sehingga ketika babak
akhir yang klise dengan formula hafalan itu muncul, boom, semua telah lelah.
Benar, ini melelahkan, terlalu banyak aksi
mondar-mandir canggung tanpa urgensi yang bergerak lamban, sehingga walaupun
sudah punya durasi 139 menit tapi Neil
Burger tetap saja harus kehabisan waktu untuk menterjemahkan cerita kedalam
layar. Sebagai pembuka sebuah trilogi bahkan ini terasa kurang kuat, dan
menjadi tugas yang berat bagi penerusnya, Insurgent,
walaupun sedikit ada rasa optimis jika menilik Akiva Goldsman sebagai screenwriter. Ya, hanya cerita sebenarnya
yang menjadi masalah, karena dari divisi akting upaya para pemeran patut
mendapat apresiasi, terlebih dengan materi lemah yang mereka punya serta chemistry yang kerap terasa kaku.
Ini pertama kalinya saya melihat Shailene Woodley tampil standard, kurang dinamis, disaat harus kuat
ia justru tampak rapuh, disaat harus rapuh ia justru terlihat terlalu kuat. Dan
bukankah ini terasa unik ketika harus melihat Shailene bertarung dengan
kekasihnya di The Spectacular Now, Miles Teller, namun justru punya
hubungan darah dengan Ansel Elgort,
calon kekasihnya The Fault in Our Stars
yang akan datang. Owh, awkward. Theo
James menjadi kejutan menarik disini, walaupun kurang maksimal namun ada
sebuah sisi rentan yang ia hadirkan pada Four. Namun ada dua yang kurang
mumpuni, Jai Courtney yang kurang
mampu tampil super menjengkelkan, dan juga Kate
Winslet, yang lebih dikarenakan kapasitas miliknya yang sangat minim
sehingga tidak punya waktu untuk memberikan kesan yang kuat.
Overall, Divergent
adalah film yang kurang memuaskan. Sederhananya, Divergent adalah film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah, monoton, dan sedikit membosankan. Divergent tidak punya petualangan dalam gerak cekatan,
ini seperti membangun drama dengan bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang
menjadi kodratnya sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama.
Terlalu lama diparuh pertama, dan kemudian ditutup dengan kesimpulan yang dikemas terlalu klise serta sedikit terburu-buru. Bahkan ada potensi bagi penonton awam yang
merasa ini bukan sebuah trilogi, karena tidak ada cliffhanger dengan kekuatan yang menarik di akhir cerita.
0 komentar :
Post a Comment