Apa hal yang paling membuat anda merasa jengkel ketika
menyaksikan film bertemakan cinta? Hal-hal klise yang ia hadirkan? Tidak
masalah jika itu dikemas dengan baik dan sanggup menebar daya tarik. Bagaimana
dengan permainan emosi? Bayangkan sebuah kisah cinta yang punya cerita tidak
berkembang, sebuah romansa tanpa tenaga sehingga apa yang ia hadirkan terus
saja berteman dengan kata datar dan hambar. Itu yang dimiliki oleh film ini, Winter's Tale, this is not a true love, this
is an impotent love story.
Peter Lake
(Colin Farrell), merupakan seorang yatim
piatu yang dengan status imigran asal Irlandia kemudian memaksanya untuk
bekerja pada seorang pria obsesif yang selama ini mengasuhnya, pria yang juga
merupakan demon gangster, Pearly Soames
(Russell Crowe), sebagai seorang mekanik dan juga pencuri. Namun suatu
ketika hubungan mereka berubah menjadi kelam akibat sebuah keputusan yang
diambil oleh Peter, yang serta merta langsung memaksa Pearly memerintahkan anak
buahnya untuk menangkap kembali Peter.
Hebatnya Peter berhasil selamat berkat bantuan dari
seekor kuda putih ajaib. Kuda putih tersebut ternyata tidak hanya menjadi
pelindung bagi Peter, namun juga membawa ia menemukan cinta. Wanita cantik itu
bernama Beverly Penn (Jessica Brown
Findlay), tapi sayangnya romansa diantara mereka harus menemui rintangan,
baik itu dari penyakit yang diderita Beverly, hingga upaya lain dari Pearly
yang cemas jika kelak Peter akan memperoleh kekuatan magis dari Beverly.
Walaupun ia rilis di bulan februari, satu dari dua bulan
diawal tahun yang menjadi waktu bagi para produsen melakukan wide release pada
produk yang mereka anggap kurang menjanjikan, sulit untuk menampik daya tarik
yang dimiliki oleh Winter’s Tale.
Kisah yang diadaptasi dari novel rilisan tahun 1983 karya Mark Helprin ini ditangani oleh Akiva
Goldsman dibagian naskah, yang sekaligus menjadi debut perdananya sebagai
sutradara, sosok yang meraih Oscar melalui kesuksesan A Beautiful Mind. Kemudian kita punya Colin Farrell yang mampu tampil memikat di warna old story pada Saving Mr. Banks, Russell Crowe yang tidak perlu anda pertanyakan, serta Jessica Brown Findlay yang tentu saja
sudah akrab dengan period drama seperti ini.
Nah, jika ekspektasi anda sama seperti saya, maka
turunkan segera, atau mungkin buang sejauh mungkin jika anda mampu. Ketimbang
menjadi sebuah drama fantasi bertemakan cinta yang syahdu dan merdu, Winter’s Tale lebih terasa seperti
sebuah melodrama yang dipenuhi dengan kepalsuan, bertaburkan hal klise yang
bukannya tampil menarik namun justru melelahkan, terus berteman dengan aksi
manipulasi yang celakanya selalu berakhir hampa. Ini kacau, saya bahkan merasa
bingung nilai positif apa yang harus dijabarkan, karena sekalipun diawal ia
cukup mampu membentuk setting tahun 1900-an dengan baik, serta skor mumpuni
dari Hans Zimmer, tidak ada sisi
menarik dari Winter’s Tale yang dapat
diurai untuk menopang keseimbangan dalam penilaian. It’s a mess.
Jika menaruhnya kedalam bentuk yang sederhana,
menyaksikan Winter's Tale seperti
menonton opera dari boneka tanpa nyawa. Itu mengapa saya merasa ini mungkin
akan terasa lebih menarik jika dibentuk menjadi sebuah film animasi, sehingga
tindakan melempar konflik tanpa penjelasan lebih dalam yang Akiva Goldsman lakukan dapat dimaafkan,
bahkan berbagai hal ganjil dan tak logis disengaja tidak akan menjadi sebuah
masalah yang besar. Dua hal tadi merupakan minus mayor yang dimiliki oleh film
ini, ia seperti terbebani oleh plot yang terus menerus mencoba tampil
sentimental sebagai upaya pendekatan pada emosi penonton, yang celakanya disisi
lain tidak disokong dengan pondasi yang tebal, semua tipis, dari narasi, power
imajinasi, hingga karakterisasi.
Kekacauan yang ia miliki tidak berhenti sampai disitu,
karena tidak perlu waktu lama sejak ia dimulai anda akan dengan mudah akan
merasakan kehadiran tumpukan konflik yang tidak bergerak. Ada banyak materi
menarik tentang cinta yang potensial, namun sayangnya mereka selalu stuck,
tidak ada progress yang mumpuni sekalipun ia terus menampilkan transisi antar
zaman dalam gerak mondar-mandir kota New
York era modern dengan situasi di abad 19 dan 20. Tidak ada penjelasan, Akiva Goldsman seperti bingung hendak
membawa Winter’s Tale kemana,
penonton yang telah terbebani dengan segala informasi yang ia berikan secara bertahap
itu justru pada akhirnya harus terjebak dalam alur berbelit-beli penuh dengan
narasi canggung dan kikuk. Winter’s Tale
seperti bom yang siap meledak.
Ya, semua upaya yang ia berikan tanpa Akiva Goldsman sadari justru menjadikan Winter’s Tale lebih terasa seperti ujian
kesabaran bagi penontonnya, ketimbang sebuah hiburan drama fantasi penuh
imajinasi. Tidak cekatan dan kurang tangkas, ini akan menarik jika anda
menggunakan Winter’s Tale untuk
menguji seberapa mampu anda menyaksikan roman cengeng tanpa emosi yang menjemukan,
sebuah film yang kurang punya rasa peduli pada penontonnya, menganggap mereka
pintar untuk mengurai sendiri materi yang ia berikan, sebuah tindakan yang
justru jauh dari kesan pintar karena sejak awal ia tidak memberikan pondasi
yang kokoh yang berbagai elemen cerita.
Divisi akting sendiri dapat dikategorikan menyedihkan.
Colin Farrell mencoba begitu kuat
untuk menyampaikan emosi yang berkecamuk di pikiran karakternya terutama lewat
tatapan mata, namun sangat sedikit yang bekerja dengan baik. Ini karena sejak
awal kita sudah sulit untuk merasakan karakternya klik dengan cerita, konflik
yang ia punya dengan Russell Crowe
juga terasa datar, tidak ada ketegangan akibat waktu tampil bersama yang begitu
minim. Motivasi Crowe sendiri tidak kuat, karakterisasi yang ia miliki tipis. Jessica Brown Findlay juga tampil
mengejutkan, ia menjadikan karakter yang tidak jauh berbeda dengan yang ia
mainkan di Downton Abbey terasa
membosankan. Scene stealer menjadi milik Jennifer
Connelly.
Overall, Winter’s
Tale adalah film yang tidak memuaskan. Sebuah kisah cinta antar zaman,
seharusnya potensi besar itu mampu menciptakan ruang bermain yang begitu besar
untuk mengekplorasi kreativitas dari materi-materi klise yang pasti hadir.
Namun Akiva Goldsman mengambil
langkah yang berbeda, ia ingin ini menjadi super sentimental, yang celakanya
tidak ia sertai dengan sebuah pondasi yang kokoh, dari narasi, karakterisasi,
hingga jalinan emosi dengan penontonnya. Jika anda bertanya apa yang menarik
dari film ini, maka jawaban saya adalah kuda putih itu, kehadirannya tak pernah
gagal mencuri atensi. Hanya itu.
0 komentar :
Post a Comment