Mungkin banyak yang beranggapan bahwa premis merupakan
faktor kunci dari sebuah film di bagian awal, namun sebenarnya di atas premis
ada sesuatu yang jauh lebih penting: konsep. Ya, apa yang ingin ia gambarkan,
dan bagaimana cara ia menghadirkan eksekusi pada penggambaran tadi, dua hal
dasar yang sangat penting. Hal tersebut yang tidak hadir dalam kapasitas yang
kuat pada film ini, seolah terombang-ambing dalam rasa bingung, Vampire Academy, a movie who doesn't know
what she wanna be. Frankly to say, they suck from beginning.
Lissa Dragomir
(Lucy Fry), seorang vampire berdarah murni, harus menerima
sebuah tragedi kelam ketika seluruh keluarganya tewas pada sebuah kecelakaan.
Setelah peristiwa tersebut, sahabatnya Rose
Hathaway (Zoey Deutch), wanita berusia 17 tahun yang merupakan salah satu
bagian dari kaum dhampir (setengah vampire, setengah manusia), berupaya untuk
membawanya keluar dari St. Vladimir's
Academy. Alasannya sederhana, karena Rose mulai merasa ada sesuatu yang
dapat mengancam nyawa mereka. Sayangnya meskipun berhasil, dua sekawan ini
harus kembali dengan terpaksa.
Mereka tertangkap, dan harus kembali ke sekolah yang
dibangun untuk menjaga perdamaian itu. Semua yang mereka temukan masih sama,
yang kemudian menjadikan Lissa melakukan
sebuah upaya yang memberikannya popularitas dalam waktu singkat. Celakanya
salah satu dari hal lama yang masih eksis tersebut adalah ancaman yang dahulu
pernah mereka rasakan. Rose sadar akan hal itu terlebih pada atensi terhadap
kaum Strigoi, dan bersama dengan Dimitri
Belikov (Danila Kozlovsky) ia mulai menyusun rencana untuk melindungi Lissa
dari bahaya.
Sebenarnya sebuah kalimat Mean Girls pada poster yang menarik perhatian saya pada film ini,
sosok bernama Mark Waters yang kali
ini berkolaborasi bersama saudaranya Daniel
Waters yang menangani naskah. Saya tidak membaca novel karya Richelle Mead yang menjadi pondasi
utama, novel yang berhasil meraih status bestseller dan ternyata bahkan punya
lima penerus yang telah siap menanti. Ya, telah siap menanti, karena pada
dasarnya film-film dengan tema young adult yang muncul pada periode sekarang
ini sudah pasti telah mengusung ambisi untuk meraih tampuk kekuasaan setelah
ditinggalkan Harry Potter dan Twilight, dan telah masuknya The Hunger Games ke paruh akhir. Vampire Academy mengusung misi tersebut,
tapi sayangnya juga memberikan boomerang dengan dampak destruktif sangat besar.
Sangat mudah untuk melihat betapa Mark Waters dan Daniel Waters
berupaya begitu keras agar Vampire
Academy dapat menjadi sebuah pembuka series dengan cita rasa yang megah.
Sebagai penonton kita seperti dipaksa untuk tertarik pada cerita dan karakter,
menggunakan formula berbagai pengulangan seperti dialog sok asyik, humor-humor
datar dan canggung, hingga adegan romansa yang chessy dan cenderung konyol.
Tidak perlu waktu lama untuk memperoleh kejutan dari film ini, karena sejak
awal kita sudah dihadirkan sebuah kesulitan untuk menemukan elemen mana yang
bekerja dengan baik dari Vampire Academy.
Ya, mungkin karena sejak awal telah menilai ini sebagai pembuka sebuah series
baru, menilainya dengan serius, tapi justru hanya mendapatkan parodi dalam
kemasan murah.
Benar, parodi, itu mengapa dibagian awal saya
menyebutkan Vampire Academy adalah
film yang tidak tahu ingin menjadi seperti apa karena materi yang ia tawarkan
tidak lebih dari kombinasi berbagai bagian dari film young adult yang sudah
pernah eksis. Dua pertama tadi terasa sangat kental, lantas ada nafas Mean Girls dan sentuhan Buffy the Vampire Slayer didalamnya,
mereka kemudian di mix tanpa disertai ciri khas baru. Celakanya hasil yang
diperoleh tidak manis, anda bayangkan ketika pahit, asam, dan asin hadir secara
bersamaan, sebuah bentrokan yang tentu saja tidak dapat memberikan rasa nikmat.
Itu yang dihadirkan oleh Vampire Academy,
terlebih pada sisi cerita yang ketimbang terlihat keren dengan gaya serius
justru tampak konyol dengan berbagai celah yang ia tinggalkan.
Dapat dikatakan bagian ini yang paling menyiksa jika
dibandingkan dengan tingkah-tingkah menjengkelkan dari karakter yang beberapa
diantaranya masih mampu memberikan sedikit unsur fun. Disini sangat terlihat
bahwa Vampire Academy merupakan
service bagi mereka yang telah membaca bukunya, dalam alur yang berantakan ia
menghadirkan berbagai subplot yang dirangkai dengan sangat kasar. Cerita dan karakter
tidak berkembang sekalipun ia telah menjejalkan backstory dengan berbagai
referensi, mereka dikemas dalam cakupan yang sangat luas, tidak ada kedalaman
yang sebenarnya dapat menjadi jalan untuk mendekatkan penonton pada cerita dan
karakter. Sangat terkesan menggurui, memaksa penonton untuk paham setiap materi
yang ia lempar, bergerak sesuka hati tanpa rasa peduli.
Ini yang menjengkelkan, kita seperti diajarkan sebuah
sejarah yang tidak dikemas dengan menarik di tengah hutan belantara dalam
gelapnya malam. Ketimbang berupaya untuk memperoleh pencapaian yang kokoh pada
daya tarik di sektor cerita dan karakter, Mark
Waters dan Daniel Waters lebih
fokus untuk mencapai kesuksesan dengan membentuk semua konten yang dimiliki,
tidak peduli sekalipun ia tampil kaku, bahkan di beberapa bagian seperti
dikebut tanpa memberikan penjelasan yang mumpuni dari kerumitan yang ia
ciptakan. Pada akhirnya seperti tidak ada alasan yang kuat dari semua yang
karakter lakukan, bahkan Rose Hathaway juga merasa bingung dengan apa yang ia
lakukan, satu-satunya karakter yang mampu tampil menarik berkat kemampuan Zoey Deutch yang tampil lincah dan cukup
lucu.
Overall, Vampire
Academy adalah film yang tidak memuaskan. Just take it as a parody, karena
dengan mengesampingkan materi-materi serius yang ia lemparkan mungkin dapat
sedikit meningkatkan nilai yang ia punya karena ada beberapa unsur fun dibalik kekacauan yang ia hadirkan, dari konsep yang tidak kuat
hingga script yang lemah. Sangat membingungkan untuk menjabarkan konklusi dari
penilaian pada film ini, mungkin tagline yang ia usung sudah cukup mewakili,
they suck.
4 kegedean cuy. 3,5 lah. Gatau apa maksud dari filmnya ini. Namanya akademi pasti tempat ngelatih bakat2 kan. Itu pikiran pertama sebelum masuk bioskop. Pas udah nonton. 'Ini apaan'. Kalo bukan karena niat pengen ngelahap abis semua film di 2014, gakan kayanya sampai kelar itu nonton. *Sigh
ReplyDeleteVA ini mungkin salah satu yang terkena dampak sistem "waktu tonton" kali ya. Ini saya tonton setelah Endless Love & I, Frankenstein, dan VA masih lebih baik, jadi ya ngak layak sejajar, masih ada fun minim di beberapa bagian. Lagipula tipis kok, kalau score nya 5 mungkin baru ngak benar. :)
DeleteMenurut saya vampire academy bagus kok kak ceritanya terkesan cepat dan romance nya tetap ada walaupun ringan. Saya pertama nonton film nya dulu baru novelnya. Jadinya novel itu udah saya baca sampai 2 kali karena bagus banget. 10 kaakk perf banget
ReplyDeleteada academy vampir yg ke 2 nggak?
ReplyDeleteAku blm nntn sih tp aku suka sama novelnya. Aku udh baca sampe novel ke 4. Novel ke 5 dan 6 blm ada terjemahannya. Walau gitu aku msh tetap suka ngikutin cerita VA. :)
ReplyDelete