"Dead or alive, you are coming with me!"
In my opinion RoboCop
karya Paul Verhoeven merupakan satu
dari sekian banyak film abad 20 yang belum layak untuk di daur ulang pada fase
awal era millennium ini. Ia klasik, ia sebuah kenangan yang masih meninggalkan
bekas manis, itu mengapa ketika berita remake muncul ada sebuah perasaan mix,
antusiasme tentu saja hadir namun ikut disertai dengan rasa pesimis yang juga
eksis karena sebuah pertanyaan sederhana, “apakah sudah perlu?” RoboCop, another great classic icon who
become a victim of Hollywood ambition.
Pasukan militer USA
di tahun 2028 semakin kokoh, hanya dengan menyapa salam maka semua penduduk di Afghanistan bahkan mungkin wilayah
kekuasaan mereka lainnya seperti Irak
dan Vietnam akan berhenti tanpa
paksaan, kemudian dengan sukarela menerima pemeriksaan rutin terhadap tubuh
mereka yang dilakukan oleh prajurit robot. Benar, robot, semua berkat Raymond Sellars (Michael Keaton) bersama
perusahaannya OmniCorp sehingga
kontrol terhadap daerah kekuasaan mereka menjadi semakin mudah. Yang menjadi
masalah teknologi itu tidak bisa beroperasi di wilayah USA.
Namun Raymond, bersama timnya yang berisikan Liz Kline (Jennifer Ehle) dan Tom Pop (Jay Baruchel), punya sebuah
solusi, memasukkan manusia kedalam mesin yang mereka miliki. Dr. Dennett Norton (Gary Oldman) ditunjuk
untuk memimpin proyek tersebut, dan keberuntungan tidak berhenti disitu karena
proses menemukan kandidat juga tidak berlangsung lama. Pria itu adalah Detektif Alex Murphy (Joel Kinnaman),
yang atas kehendak Clara Murphy (Abbie
Cornish) berubah menjadi mesin dengan “nyawa”, dan lepas dari cacat akibat
pria bernama Antoine Vallon (Patrick
Garrow). Celakanya semua tidak berjalan mulus.
Memang sedikit membosankan untuk menggunakan kalimat
ini, namun fakta yang tidak dapat dihindari adalah terdapat sebuah resiko besar
yang telah menanti upaya remake dari film yang juga telah memiliki nama besar.
Mereka harus sepenuhnya berada di zona yang aman, karena akan timbul rasa kesal
pada penontonnya jika apa yang ia berikan tidak berada di titik seimbang, terlalu
banyak bermain di pattern yang sama persis dengan pendahulunya, atau justru
menyimpang terlalu jauh. Pakai materi lama dan bersikap berani melakukan
modifikasi dengan sentuhan baru, itu berhasil dilakukan RoboCop versi terbaru ini, bahkan tidak perlu pertimbangan yang
begitu besar untuk memberikan status impresif pada bagian pembuka yang ia
punya.
Ya, ini keren, pada awalnya. Dari sisi cerita, kita
seperti dibawa masuk oleh Joshua Zetumer
kedalam arena yang masih bermain di formula serupa namun dengan sentuhan modern
yang efektif dan efisien, beberapa pergeseran warna and materi yang sebenarnya
kasar namun sanggup dikemas implisit, seperti OmniCorp yang tidak lagi memiliki perasaaan, menghapus penyiksaan
dan menggantinya dengan bom, hingga tema utama yang kali ini lebih
mengedepankan unsur keluarga diatas sindiran satir terkait sosial politik yang
kapasitasnya sedikit diredam. Itu belum melibatkan tampilan visual yang
kompeten, mampu tampil mengesankan walaupun beberapa tampak kurang nyata
terlebih dengan kehadiran pergerakan shaky-cam yang sedikit over. Dibagian ini
mereka seimbang.
Nilai positif tadi tersebar merata sepanjang durasi,
namun sayangnya selalu hadir dalam kuantitas yang minim. Ya, mereka tidak mampu
mengalahkan nilai minus yang perlahan mulai menumpuk. Memang tergantung
ekspektasi, dan jika anda ingin melihat sosok RoboCop lahir kembali layaknya Batman
maka bersiaplah kecewa karena ini justru lebih tampak sebagai upaya untuk
memperkenalkan RoboCop sebagai
superhero idola baru seperti Iron Man.
Ini petualangan yang terlalu ringan untuk sebuah karakter ikonik, komentar
sosial satir yang menjadi daya tarik lain versi aslinya kini sangat bergantung
pada The Novak Element yang dibawakan
dengan baik oleh Samuel L. Jackson,
kemudian RoboCop diberikan kebebasan
untuk bermain bersama konflik personal miliknya.
Ini yang salah, bahkan secara tidak langsung sudah
mengingkari crime has a new enemy
yang diusung. Ketimbang upaya memberantas kejahatan (bahkan tidak ada karakter
antagonis yang kuat) dengan permainan manipulasi, RoboCop lebih mirip seperti versi sedikit lebih canggih dari Source Code, karakter yang bermain dengan alam bawah sadarnya. Tidak ada ancaman besar disini, hal pendamping
yang sebenarnya wajib hadir di semua film bertemakan pahlawan. Lepas dari awal
yang memikat kita justru hanya akan berputar dalam pengulangan monoton tanpa
dinamika cerita yang powerfull dalam gerak lambat yang ia hadirkan, bahkan
fokus juga terpecah, tidak kokoh, sehingga isu-isu yang sesungguhnya jauh lebih
penting harus tenggelam dibalik upaya membangun jalan menuju aksi balas dendam
yang sederhana.
Itu mengapa diawal saya menyebut RoboCop sebagai korban terbaru dari Hollywood, mereka ingin menjadikan kemasan ini tampil ringan dan
mudah diterima, yang sayangnya justru menghapus status istimewa yang dimiliki
pendahulunya. Usaha untuk menerapkan pendekatan yang berbeda tidak berakhir
manis, mayoritas terasa canggung dan hambar. José Padilha tampak berusaha keras untuk mencampur konflik personal
dan materi filosofis untuk berjalan bersama, kita mengerti ia ingin tampil
cerdas namun sangat sulit untuk merasakan hal tersebut karena sejak awal fokus
terlalu luas dan tidak kokoh, kemudian ditambah emosi yang miskin dan kurang
dalam sehingga unsur family yang menjadi jualan lainnya tidak mampu memberikan
intimitas yang menarik, belum menghitung bagian akhir yang kacau dalam gerak
terburu-buru sehingga tidak memberikan cita rasa yang kuat pada adegan aksi.
Dari divisi akting Gary
Oldman yang paling bersinar, tampil impresif, mampu menghadirkan gejolak
batin yang justru terasa lebih menarik ketimbang konflik personal dari karakter
utama. Ya, Joel Kinnaman tampil
hambar dengan kelemahan utama tidak mampu menghadirkan emosi pada permasalahan
yang ia bawa serta karisma dari sosok RoboCop.
Samuel L. Jackson mampu menjadi racun
tawa lewat monolog miliknya, dan pemeran pendukung berhasil memanfaatkan setiap
kesempatan yang mereka punya untuk sesaat mencuri atensi, dari Abbie Cornish, Michael Keaton, Jay Baruchel
, Jackie Earle Haley, Jennifer Ehle, Michael K. Williams, hingga Marianne Jean-Baptiste dan Aimee Garcia.
Overall, RoboCop
adalah film yang kurang memuaskan. Jika anda masih menaruh harapan untuk
mendapatkan kembali sosok RoboCop
yang istimewa, maka rasa kecewa akan hadir dalam kuantitas yang lebih besar,
hal yang tidak akan diperoleh penonton yang bersedia untuk mematikan memori
indah yang telah diberikan pendahulunya. Pondasinya sama, modifikasi di awal
yang rapi, efektif, dan impresif, RoboCop
perlahan jatuh akibat eksekusi yang lemah pada fokus yang kini terbagi dua
dalam drama dan action, serta dinamika cerita yang cenderung datar. Ini tidak
lebih baik dari remake Dredd dua
tahun lalu, namun setidaknya ini lebih baik dari remake Total Recall. But, RoboCop
should be much greater than this, isn't?
0 komentar :
Post a Comment