Coba lihat poster diatas, sepasang kekasih yang
bercumbu ketika sebuah gunung sedang meletus. Ridiculous? Pasti, namun bukannya
formula seperti itu menjadi sesuatu yang sangat ampuh untuk dijual? Hadirkan
kisah romansa yang sangat menuntut permainan emosi diantara karakter, kemudian
tempatkan mereka ditengah himpitan bencana yang dengan setia secara perlahan
terus menebar ancaman. Opsinya hanya dua, hit or miss. Pompeii, when Gladiator stuck in Titanic.
Ketika ia masih muda, Milo (Kit Harington) harus kehilangan seluruh keluarganya ketika
pada tahun 62 sedang berjalan upaya membuka rute perdagangan dari kota Roma. Kala itu Milo menjadi satu-satunya
korban selamat, walaupun pada akhirnya ia tertangkap dan kemudian menjadi
budak, dan 17 tahun kemudian tumbuh menjadi seorang gladiator tangguh dengan
julukan The Celt, dan menjadi jagoan
di berbagai turnamen. Namun sebuah nasib baik menghampiri Milo ketika sedang
berada dalam perjalanan menuju Pompeii
dan berawal dari sebuah insiden terkait kuda penarik kereta.
Milo bertemu dengan Cassia (Emily Browning), putri cantik anak seorang pria terpandang
di kota Pompeii bernama Severus (Jared
Harris). Celakanya Cassia ternyata juga telah menjadi incaran dari seorang
pria yang mencoba membuka jalan dengan menggunakan intrik politik dan investasi
dengan Severus, Senator Corvu (Kiefer
Sutherland), sosok penting bangsa Romawi, bangsa yang oleh Milo dan
rekannya sesame gladiator, Atticus
(Adewale Akinnuoye-Agbaje), telah menjadi sasaran dari misi balas dendam
mereka. Masalahnya adalah, ia harus memilih hal tadi atau cinta dibalik ancaman
dari Gunung Vesuvius yang telah
bergemuruh.
Mungkin hal pertama yang sebaiknya anda lakukan
sebelum menyaksikan Pompeii adalah
mencoba mencari tahu filmography dari sang sutradara, Paul W. S. Anderson, dan akan lebih mudah bagi mereka yang
sebelumnya telah mencicipi karya Anderson. Ini masih sama, semua ciri khas dari
Anderson bahkan kelemahan yang pernah saya tuliskan di Resident Evil: Retribution kembali hadir di disaster-adventure yang diambil dari kisah nyata ribuan tahun yang
lalu ini. Monoton, itu yang utama, setelah itu kita akan masuk kedalam sebuah
penceritaan yang berantakan selepas bagian pembuka, ditemani dengan berbagai
humor yang gagal dalam eksekusi serta penempatan yang kerap kali kurang tepat,
serta naskah yang dangkal berisikan karakter-karakter yang tidak mampu
memberikan daya tarik.
Namun ada satu hal yang menarik disini, semua
kelemahan tadi tampil dalam kuantitas yang dapat dikatakan jauh lebih minim
jika dibandingkan dengan apa yang Paul W.
S. Anderson berikan pada Mortal
Kombat, Alien vs. Predator, Death Race, hingga Resident Evil. Ya, walaupun tetap saja
menjadi sebuah hiburan yang jauh dari kata memuaskan namun dalam kapasitas
super minim ada unsur fun yang secara mengejutkan hadir dalam kisah super
predictable ini (ya, kita semua sudah tahu bagaimana nasib warga Pompeii akan berakhir), dan jika harus
dibandingkan dengan film-film terdahulu miliknya Pompeii berhasil menjadi karya terbaik Anderson sejauh ini. Oke,
sepertinya cukup untuk pembahasan singkat dari pergerakan positif yang
diberikan Paul W. S. Anderson, mari
mengurai plus dan minus film ini.
Sebenarnya ide cerita yang dibangun oleh Janet Scott Batchler, Lee Batchler, dan Michael Robert Johnson terasa cukup tepat, dimana ketimbang
menggambarkan bagaimana peristiwa erupsi gunung Vesuvius terjadi mereka justru menaruh fokus pada drama romantic terkait
sebuah perjuangan cinta terlarang antara dua insan yang harus terpisahkan kelas
sosial, dan kemudian menaruh bencana tersebut sebagai variabel pendukung yang
selalu menghantui alur cerita dan terasa seperti sebuah alarm yang siap
berdering kencang. Familiar bukan? Ya, Titanic.
Namun perbandingan diantara keduanya cukup sampai pada batas kesamaan konsep
yang diusung, karena pada sisi eksekusi apa yang di hasilkan sangat jauh
berbeda.
Sama seperti apa yang diberikan James Cameron pada Jack
Dawson, di paruh pertama kita akan diajak untuk melihat perjuangan Milo
sebagai fokus utama, seraya turut membangun elemen cerita lainnya dengan gerak
cepat. Nah, disini masalahnya, semua materi pada sektor cerita seperti coba
dikemas dengan sangat sederhana, baik itu terkait konflik yang melibatkan
pemerintahan, hingga jalinan emosi diantara dua tokoh utama. Hasilnya, ini
hambar, datar, drama percintaan yang seharusnya mencuri posisi terdepan justru
tampak seperti sekumpulan boneka tanpa nyawa yang bersiap menghadapi ajal
mereka. Tidak ada simpati, kita tidak peduli pada nasib mereka, mereka tidak
mampu memanfaatkan kondisi dari letusan yang secara sengaja telah ditunda
sekuat tenaga itu.
So, ketika gunung itu meletus, kondisi yang seharusnya
penuh rasa haru itu justru terasa hampa, bahkan ketika momen itu tiba saya
harus tertawa ketika mendengar seorang penonton berkata “wah, semuanya mati”
dengan nada sarkasme. Seharusnya ini menjadi sebuah gambaran bagaimana warga Pompeii mengisi kehidupan mereka sebelum
letusan, untuk menarik empati penonton, bukannya justru masuk kedalam narasi
super sempit yang dipenuhi omong kosong dan hal cheesy dan pada akhirnya justru
hanya mencoba membuka jalan bagi kehadiran adegan aksi over the top. Sudah tahu
ini film yang bodoh, lantas mengapa anda mengharapkan sesuatu yang pintar pada
cerita?
Pertanyaan tadi mungkin akan hadir. Memang benar ini
dapat menjadi hiburan bodoh yang menyenangkan, namun yang menjadi masalah
adalah cerita romansa itu yang merenggut kesenangan potensial tersebut, hal
yang sebenarnya menjadi nilai plus bagi Pompeii dan mungkin menjadi sumber
utama unsur fun, terlebih pada gunung berapi dan tsunami. Dari divisi akting
bahkan tidak ada yang tampil dalam kapasitas yang baik, semua datar. Tidak ada
chemistry yang menjadi hal wajib pada tipikal cerita seperti ini dari Kit Harington dan Emily Browning, mereka tidak punya ruang akibat script yang kacau.
Bahkan Kiefer Sutherland yang
diberikan tugas menjadi sisi hitam tidak tampil baik, ia mencoba serius namun
jatuhnya menjadi sesuatu yang terasa lucu.
Overall, Pompeii
adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah perjuangan bertemakan cinta dalam
menghindari kematian sesungguhnya menjadi sebuah materi yang sangat potensial
untuk dijual, namun dengan syarat mampu memberikan nyawa pada karakter dan
cerita serta menarik atensi, simpati, dan empati penonton pada mereka. Itu yang
tidak dimiliki oleh Pompeii, aksi menunggu dalam kisah berbelit-belit tanpa
dinamika yang mumpuni, dengan unsur fun yang sangat minim. Paul W. S.
Anderson mengambil langkah yang tidak tepat, berupaya menggambarkan sebuah
kisah yang menuntut permainan emosi dibalik penggunaan formula style over
substance. Miss.
0 komentar :
Post a Comment