Salah satu hal tersulit dalam bercerita adalah ketika
harus menghadirkan materi hitam yang dikemas dalam tampilan non-hitam. Kita
punya sebuah kisah kelam, namun dalam cara penyampaiannya kita harus mampu
menjadikan kisah itu agar tampak lembut dan tidak membebani penontonnya,
sehingga materi seperti diberikan batas dan berupaya menyampaikan misi yang ia
bawa dengan menciptakan keseimbangan yang efektif dan efisien. Itu merupakan hal yang riskan, dan
film ini mengalami dampaknya. Philomena,
drama kelam yang sedikit terlalu lembut.
Martin Sixsmith
(Steve Coogan) sedang menghadapi sebuah
ujian dalam kehidupannya, dimana pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini baru
saja kehilangan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan partai buruh, dan
setelah itu justru harus kembali menemukan hambatan ketika hendak menulis buku
tentang sejarah Rusia. Rasa frustasi
itu yang sempat menjadi sumber penolakan yang dilakukan pria yang tidak percaya
dengan Tuhan ini terhadap tawaran dari seorang pegawai bar yang menyampaikan
sebuah problema dari wanita tua bernama Philomena
Lee (Judi Dench) untuk digunakan sebagai bahan tulisannya.
Pada akhirnya tawaran itu memang Martin terima, tidak
tahu apakah karena desakan dari atasannya atau karena permasalahan yang
dihadapi Philomena memang menarik
baginya. Pada awal tahun 1950 Philomena pernah memiliki seorang bayi bernama
Anthony padahal kala itu ia sedang bersekolah di sebuah biara yang kemudian
memaksanya tinggal terpisah dengan sang anak. Namun suatu ketika Anthony
diadopsi tanpa sebuah peringatan terlebih dahulu. Celakanya hal tersebut terus
menghantui Philomena selama lima dekade.
Jika menilik uraian sinopsis diatas Philomena mungkin akan tampak seperti
sebuah kisah detektif dengan misi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan. Pada
awalnya memang akan seperti itu, dimana dengan struktur yang efektif tanpa mau
banyak basa-basi kita sudah paham konflik yang terjadi pada masa kini yang
dikombinasi bersama penyebabnya yang terjadi pada masa lampau. Menggunakan
sistem kilas balik, kisah yang ditulis ulang oleh Steve Coogan dan Jeff Pope
dari buku The Lost Child of Philomena
Lee karya Martin Sixsmith dengan cantik, ya cantik, telah terangkum tepat
pada point-point penting yang mampu menunjang keberlangsungan cerita selama 98
menit durasinya. Efektif dan efisien.
Ya, mungkin seperti itulah gambaran besar dari misi
yang diusung oleh Stephen Frears, ia
sejak awal memang seperti tidak ingin bergerak terlalu jauh di setiap titik
konflik kecil yang mungkin pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya rasa ragu
dari penonton pada totalitasnya dalam bercerita. Namun faktanya memang cara
tersebut merupakan opsi paling aman yang tersedia, karena walaupun berisikan
proses yang menaruh modus investigasi penuh lika-liku dengan materi yang dapat
dikatakan dangkal sebagai makanan utama bagi penontonnya, pada dasarnya ini
hanyalah sebuah studi karakter dari dua sosok yang mengusung sisi hitam dan
putih dan terpaksa bersatu pada sebuah misi.
Menemukan anak dari Philomena memang bukan tujuan utama dari film ini, sejak awal ia
telah mengatakan bahwa ini adalah sebuah human
interest story, itu akan semakin nyata ketika ia mengumbar sebuah fakta
bahkan tidak jauh dari titik tengah cerita. Ini lebih kepada bagaimana dua karakter
bertarung dengan masalahnya masing-masing, dan kemudian saling membantu merubah
satu sama lain. Agama menjadi fokus utama disini, memadukan iman yang bermain
bersama sikap skeptisisme dari seorang atheis, pengampunan yang bertarung
dengan sikap professional yang menganut paham bahwa yang salah harus dihukum,
semua ditunjang dengan karakterisasi yang sangat kokoh sehingga konflik dua
karakter berhasil tampil sama baik untuk menarik atensi.
Namun disini masalah itu muncul, dari momen ketika
anda sudah paham modus utama yang dibawa oleh Philomena. Walaupun dengan stabil ia terus mampu menghadirkan nyawa
pada cerita dan juga karakter, menyuntikkan humor-humor kecil yang bekerja
dengan baik, serta kritik-kritik tajam dengan nada sarkastik terhadap politik,
agama, dan juga sosial yang dikemas dengan sopan, fokus saya sebagai penonton
telah terpecah menjadi dua. Konflik utama tidak lagi menarik, sederhananya
seperti itu, dan seiring pertumbuhan karakter yang ia alami saya mulai merasa
tertarik pada motif utama Martin. Disini terlihat bagaimana kombinasi yang
dilakukan oleh Steve Coogan dan Jeff Pope pada dua main focus terasa
kurang mulus, bukannya bersatu mereka justru saling membunuh.
Tidak masalah memang terjadi pergantian fokus pada
sebuah cerita, namun masalahnya adalah sejak awal kita hanya disajikan sesuatu
yang sangat ringan, hanya mengandalkan misteri minor yang seperti tidak mau
untuk tampil manipulatif penuh dramatisasi. Motivasi berhenti, semua menjadi
kikuk dengan aksi bolak-balik yang beberapa diantaranya terasa terlalu tenang.
Beruntung memang ia tidak jatuh dengan berubah menjadi sebuah kekacauan yang
menjengkelkan, terlebih dengan kemampuan dua pemeran utama terus menarik atensi
terlebih dari sisi emosi, Steve Coogan
dengan kebangkitan moral dari sikap apatis dan sinis, serta bintang utama pada Judi Dench yang dengan kadar minim pada
dialog dan gerak mampu membawa kita merasakan tekanan yang ia alami selama
setengah abad itu.
Overall, Philomena
adalah film yang cukup memuaskan. Stephen
Frears, Steve Coogan, dan Jeff Pope sepertinya sejak awal telah
sepakat untuk menjadikan kisah nyata ini jauh dari kesan berlebihan, ada kesan
hati-hati pada cara ia bercerita, tidak mau menggali terlalu dalam dan
membiarkan penontonnya bermain bersama materi ringan, dan menyampaikan point
penting dengan cara yang efektif dan efisien. Tidak salah memang, bahkan hal
tersebut akan menjadi sesuatu yang impresif jika dapat terus bertahan sejak
awal hingga akhir, sayangnya fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sedikit
terlalu lembut.
0 komentar :
Post a Comment