Sebenarnya sebuah film yang bermain di medan
peperangan tidak selamanya harus tampil megah dipenuhi dengan ledakan. Zero Dark Thirty membuktikan itu dua
tahun lalu hanya dengan menampilkan sebuah proses, bahkan The Hurt Locker enam tahun lalu berhasil terus memaku atensi hingga
akhir hanya menggunakan kisah dari para tim penjinak bom, ya walaupun
sebenarnya hal tersebut juga menuntut karakter yang kuat. Hal tersebut yang
tidak dimiliki oleh film ini, sekalipun ia pandai dalam bercerita, Lone Survivor.
Pasukan tersebut terdiri dari empat orang, dipimpin
oleh Lieutenant Michael P. Murphy (Taylor
Kitsch), dan tiga angota tim, Marcus
Luttrell (Mark Wahlberg) seorang sniper dan ahli medis, Danny Dietz (Emile
Hirsch) sebagai spotter dan bertanggung jawab dibagian komunikasi, dan Matthew Axelson (Ben Foster) dibagian
data. Misi yang mereka usung sebenarnya sangat mudah, bahkan tidak ada pressure
dari pihak lawan, namun celakanya hal yang tidak diinginkan terjadi oleh semua
prajurit menghampiri mereka, nasib sial, yang kemudian perlahan membawa empat pria
ini kedalam masalah besar.
Jika harus memilih bagian mana dari Lone Survivor yang menjadi bagian
favorit saya dibalik durasi dua jam yang ia miliki, maka jawabannya adalah
naskah yang ditulis ulang oleh Peter Berg
dari buku dengan judul yang sama hasil kerja sama Patrick Robinson bersama Marcus
Luttrell, korban nyata dari Operation
Red Wings di Afghanistan itu. Apa yang saya inginkan dari sebuah film action
berhasil hadir di elemen ini, ya walaupun sedikit terlalu lama dibagian awal
setelah masuk ke babak kedua ia perlahan mampu membuat kadar daya tarik secara
perlahan dan bertahap terus bertumbuh, kita terus dibuat merasa penasaran apa
yang akan terjadi selanjutnya, dan hebatnya hal tersebut ia tampilkan dalam
irama yang dapat dikatakan cukup tenang jika menilik medan perang yang digunakan
sebagai latar utama.
Ya, mungkin saja hal tadi merupakan dampak positif
dari keputusan Peter Berg yang
sepertinya tidak ingin menjadikan Lone
Suvivor tampak epik, dan cenderung menekan inti utama terkait survival
story sebagai fokus cerita. Tidak ada musuh yang kokoh disini, kita hanya
diberikan karakter yang terjebak dan kemudian harus berhadapan dengan berbagai
nasib sial dari penggunaan kambing, dilema, decision debate, hingga hal paling
klise seperti sinyal dan komunikasi. Namun dibalik itu ada daya cengkeram yang
kuat pada cerita, mampu terus menarik atensi, ada waspada yang terus hadir
meskipun ia kerap kali hanya berputar di satu tempat tanpa sebuah pergerakan
yang mumpuni pada alur cerita. Mondar-mandir.
Nah, disini letak masalah utama yang dimiliki Lone Survivor, tensi cerita. Momentum
yang ia hadirkan ketika membangun cerita memang mampu terjaga dengan baik, namun
tensi cerita sendiri sejak awal tidak pernah berada di level yang mumpuni.
Tidak ada ketegangan yang mengasyikkan disini, tidak hadir feel memuaskan yang
menjadi bagian wajib dari kisah bertemakan perjuangan individu dalam menghadapi
masalah. Ini juga merupakan dampak dari keputusan Peter Berg yang sepertinya sejak awal tidak ingin membebani
penontonnya dengan materi berat, berniat menjadikan ini sebagai sebuah biografi
yang ringan, namun sayangnya keputusan tersebut memberikan dampak negatif
ketika karakter terjebak, karena sejak awal ia tidak diberikan pondasi yang
kuat.
Benar,bekal berupa karakterisasi yang diberikan pada
karakter terasa kurang mumpuni. Tidak peduli seberapa besar kesuksesan yang
berhasil digapai Peter Berg dalam hal
teknis seperti salah satunya penggunaan kamera genggam yang terasa manis dalam
menangkap serta menciptakan suasana medan peperangan, dari desakan antagonis
hingga suara peluru, tetap saja harus ada simpati dan empati dari penonton pada
karakter jika ia memang telah berniat untuk mengarahkan kisah ini ke sisi yang
lebih personal. Itu yang tidak dimiliki Lone Survivor, pada akhirnya perlahan
kita akan bergeser menuju proses menunggu berisikan tahapan eliminasi yang
celakanya bahkan berisikan rasa peduli yang tidak begitu tinggi.
Para aktor sebenarnya telah berupaya keras untuk
menjadikan karakter mereka tampil memikat, sayangnya tidak mampu mencapai titik
tertinggi. Standard, sederhananya mungkin seperti itu. Bekal mereka di awal
terasa minim, bahkan saya baru dapat merasakan peran dari Mark Walhberg sebagai sosok sentral setelah cerita berada di bagian
tengah, terlebih dengan kemampuan Ben
Foster, Taylor Kitsch, dan Emile
Hirsch menjalankan peran mereka dengan baik sehingga hal-hal kecil yang
dimiliki terasa menarik. Waktu yang mereka peroleh untuk mengembangkan karakter
juga terasa kurang, sehingga tragedy yang terjadi tidak mampu berubah menjadi
sebuah ironi, hal sesungguhnya dapat memberikan sokongan yang begitu besar pada
misi utama yang diusung oleh Peter Berg.
Overall, Lone
Survivor adalah film yang cukup memuaskan. Cara ia dibangun terasa sangat
apik di paruh pertama, dari proses menjahit cerita hingga membentuk daya tarik secara
bertahap. Namun walaupun ia bermain di latar yang mungkin akan
tampak kompleks, Lone Survivor pada
dasarnya hanyalah sebuah perjuangan dalam lingkup yang sempit, apalagi fokus
utama ditaruh pada karakter bukan konflik. Hal yang diperlukan untuk tipe
seperti ini adalah karakter yang kuat, mampu menarik simpati dan empati
penonton, yang sayangnya tidak dimiliki film ini. Ya, ini menarik, namun dalam
level yang standard.
Part of "season 2013 late published reviews."
0 komentar :
Post a Comment