“Everything is awesome. Everything is cool when you’re
part of a team.”
The easiest way
to make yourself become a king: playing with Lego. Hal tersebut pernah saya rasakan dahulu, bermain dengan banyak balok
kecil untuk menciptakan bentuk-bentuk unik, permainan penuh eksperimen yang
menuntut kreatifitas dan imajinasi untuk membangun fantasi yang kita miliki,
semua dilakukan dengan bebas karena mereka berada dibawah kendali kita. Sangat
menyenangkan, dan semakin menyenangkan ketika bagian dari memori itu kini hidup
dan bergerak, menyaksikan apa yang dahulu pernah kita lakukan. The Lego Movie, a very entertaining random
satire parade in Lego World.
Emmet Brickowski
(Chris Pratt) adalah contoh dari sosok
yang banyak dialami oleh banyak orang sekarang ini, pekerja tanpa kemampuan
special, berada di pekerjaan yang tidak begitu terjamin sebagai seorang pekerja
konstruksi, kemudian setiap harinya berteman dengan siklus kegiatan yang
monoton dan membosankan. Namun suatu ketika disaat hendak pulang Emmet melihat
seorang wanita bergaya aneh yang sedang mencari sesuatu di lokasi konstruksi
tempat ia bekerja, Wyldstyle (Elizabeth
Banks), sosok yang kemudian mengundang rasa penasaran Emmet namun celakanya
membawa ia kedalam sebuah tanggung jawab besar.
Ketika hendak menyelidiki Emmet justru terdampar di
suatu ruangan yang menjadi tempat ia bertemu Piece of Resistance, dan seketika itu pula merubah statusnya
sebagai orang biasa menjadi sosok terpilih. Celakanya adalah ia menjadi sosok
terpilih dari nubuat seorang Master Builder bernama Vitruvius (Morgan Freeman) untuk menyelamatkan Lego world dari
bahaya besar dengan menemukan sebuah senjata rahasia bernama Kragle. Misi Emmet semakin berat, karena
sosok yang ia hadapi tidak mudah, President
Business (Will Ferrell), penguasa Lego Universe.
Hal utama yang menarik untuk dibahas sebenarnya bukan
kemampuan dari The Lego Movies untuk
memenuhi ekspektasi, namun bagaimana ia dengan sangat mudah mementahkan
komentar negatif dari beberapa pihak yang diawal menilai bahwa ini hanya akan
menjadi sebuah upaya (kembali) dari perusahaan asal Denmark itu untuk semakin
memperkokoh kerajaan mainan yang mereka punya. Tidak dapat dipungkiri hal itu
tidak akan hilang di 100 menit durasinya, namun yang menarik ternyata ada
simbiosis mutualisme yang tercipta di dalamnya karena dibalik kisah random yang
dihadirkan oleh kumpulan balok itu penonton akan memperoleh hal utama yang
menjadi kewajiban sebuah film animasi, tontonan menyenangkan, pesan yang
ringan, sederhana, namun kuat. The Lego
Movies punya itu.
The Lego Movies bukannya tampil tanpa masalah, dibalik petualangan
menyenangkan yang ia berikan hanya terdapat urgensi skala kecil pada konflik
utama, sehingga kerap kali apa yang mereka tampilkan justru lebih tampak
seperti sebuah sketsa komedi yang melakukan parodi dari berbagai karakter
terkenal (yang tidak akan saya bahas karena akan mengurangi kejutan) dalam
upaya memperlebar cerita. Sangat minor memang, terlebih jika menilik segala
kekacauan yang terbentuk manis itu sesungguhnya merupakan sebuah proses menuju
finale yang menyimpan sepenuhnya misi yang ia usung. Namun hal tersebut sangat
riskan bagi mereka yang mungkin kurang begitu sabar, terlebih ketika sudah
terlanjur jengkel dengan beberapa pengulangan yang harus diakui tidak semuanya
bekerja dengan baik.
Ya, tidak semuanya bekerja, beberapa mungkin monoton,
tapi untungnya The Lego Movies
berhasil selamat dari kehancuran berkat kemampuan Phil Lord dan Chris Miller
menyuntikkan kejutan demi kejutan dengan mengikut sertakan salah satu hal
penting dari timbunan narasi seperti ini, timing yang tepat. Dari perubahan
bentuk layaknya Transformers, hingga perpindahan setting tempat yang lembut,
kesuksesan terbesar film ini sesungguhnya terletak pada kemampuan Phil dan
Chris dengan langkah yang cerdik mempertahankan daya tarik dari setiap detail
kecil yang mereka punya, kombinasi nafas Toy
Story terkait cinta terhadap mainan bersama lelucon South Parks dalam skala lebih ringan, dari luar ia tampak ringan
namun tersimpan sebuah misi yang sangat kuat dibagian dalamnya.
Petualangan yang bebas dan cenderung terkesan abstrak,
tampilan eye candy yang cermat dalam potongan Lego yang kaku, cerita yang
mengalir dengan lembut dan penuh energi tanpa pernah kehilangan nafas ceria,
narasi yang berkembang seiring kehadiran kejutan demi kejutan dari sisi
karakter, secara stabil senyuman dan atensi kita akan terus tercuri pada kisah
yang sangat mampu menjangkau berbagai usia ini. Namun dibalik itu ada sebuah
unsur satir yang coba dibawa The Lego
Movies, yang hebatnya dikemas dengan stylish. Diawal saja kita sudah
disindir pada isu sosial terkait kehidupan yang monoton penuh aturan dengan
siklus yang kaku, dari minum overpriced
coffee di pagi hari, hingga menonton komedi monoton Where Are My Pants?, dari sana ia mulai membangun jalan untuk
menjangkau penonton yang lebih muda.
Sangat suka pada cara Phil Lord dan Chris Miller
menerapkan pola pendekatan terhadap isu utama, efektif dan seimbang. Ide yang
dikemas secara padat dalam gerak mondar-mandir dinamis, konsep yang mereka
usung tidak cerdas bahkan cenderung sangat sederhana, ciptakan petualangan
menyenangkan diawal dan berikan konklusi dibagian akhir. Untungnya hal tersebut
bekerja dengan baik berkat kemampuan mereka menyeimbangkan tiap elemen sehingga
tidak ada yang menjadi korban, unsur fun dapat, unsur thoughtful yang ia emban
juga mencapai sasaran, dari bagaimana kerja sama dapat mengatasi masalah, tidak
ada batasan dalam imajinasi dan eksperimen, hingga sikap out of the box yang
belakangan ini mulai langka.
Hal diatas tadi uniknya tidak disampaikan dengan cara
yang menggurui, tampil implisit, namun powerfull. Cerita menjadi kokoh juga merupakan
dampak dari kinerja pengisi suara yang energik, mampu memberikan nyawa kedalam
karakter walaupun lebih sering tampil konyol dalam gerak liar. Chris Pratt sanggup menghadirkan sisi
kikuk dari Emmet, Will Ferrell
sebagai sisi gelap cerita, serta ada spirit dari suara Elizabeth Banks ada karakter Wyldstyle. Selain mereka ada Cobie Smulders, Jonah Hill, Will Arnett, dan Channing Tatum di sektor
superhero, serta Charlie Day, Alison Brie, Nick Offerman, Liam Neeson, Will
Forte, Dave Franco, Jake Johnson, hingga Shaquille O'Neal yang mengisi berbagai
karakter random lainnya.
Overall, The Lego Movie adalah film yang memuaskan.
Random, ringan, ricuh, ada sebuah materi serius dibalik cara ia berjalan yang
sangat jauh dari kesan serius, keputusan yang justru menjadikan The Lego Movie sebagai
salah satu film animasi yang sesungguhnya: petualangan penuh visual yang
menyenangkan tanpa harus kehilangan fokus pada pesan utama, yang bahkan terasa
sangat universal sehingga mampu bekerja di segala usia. Lucu, cerdas, dan kreatif,
if you one of people who's not only know but ever to play with them, this
random stuff will hit you. Sadly, segmented.
0 komentar :
Post a Comment