Hati-hati dengan orang psycho. Kalimat tersebut
mungkin sudah pernah anda dengar, karena dibalik tampilan charming, intelek,
dan penuh perhatian yang mereka miliki
kaum psycho sesungguhnya lebih berbahaya dari orang gila yang juga mengalami
gangguan kejiwaan, karena mereka masih berada di alam sadar. Namun tahukah anda
bahwa semua orang punya potensi menjadi psikopat didalam diri mereka yang jika
tidak mampu melakukan kontrol dengan baik siap melakukan kudeta. Killers, good enough psychological thriller.
Selalu ada dampak negatif dari kemudahan yang
diberikan oleh internet sekarang ini, salah satunya adalah siapa saja dapat
menunjukkan hasil karya yang ia miliki kepada jutaan orang diberbagai belahan
dunia hanya dengan melakukan klik pada beberapa tombol. Nomura Shuhei (Kazuki Kitamura) adalah salah satunya, seorang pria
dengan tampilan eksekutif yang tinggal di Tokyo,
Jepang. Yang menjadi masalah adalah apa yang ia sebarkan merupakan sesuatu
yang sangat tidak lazim, video-video yang ia hasilkan dari dokumentasi aksi
membunuh yang baginya seperti telah menjadi hobby, kegiatan tempat ia
bersenang-senang dan memperoleh kepuasan.
Video tersebut pada akhirnya berhasil menjangkau sosok
normal yang belum terjerumus dalam hal yang sama. Pria itu adalah Bayu Aditya (Oka Antara), tinggal di Jakarta, seorang jurnalis yang sedang
bertarung menghadapi berbagai tekanan berat. Dari ambisi terkait sebuah kasus
yang melibatkan seorang politikus bernama Dharma
(Ray Sahetapy), hingga gejolak dalam pernikahannya dengan Dina (Luna Maya), perlahan Bayu mulai
bergelut dalam kondisi depresi dan kehilangan arah, namun celakanya justru
terjebak dalam sebuah pemikiran pendek untuk berupaya keluar dari tekanan:
melakukan apa yang Nomura Shuhei lakukan.
Sulit untuk menampik bahwa alasan utama mengapa Killers mendapatkan atensi yang begitu
besar dari para penikmat film adalah keberadaan duet Timo Tjahjanto dan Kimo
Stamboel (atau yang lebih dikenal dengan The Mo Brothers) di kendali utama. Dua sahabat ini dengan sangat
mudah mencuri perhatian pada debut mereka di Rumah Dara (Macabre) bahkan dengan menggunakan premis sederhana:
menjebak karakter dalam sebuah rumah, escape attempt, kemudian berpadu bersama
darah dan violence yang tampil lepas dan menyenangkan. Ya, hal terakhir tadi
yang sepertinya menjadi identik dengan The
Mo Brothers, bahkan masih terlihat di segmen Safe Haven pada V/H/S/2
ketika Timo berduet bersama Gareth Evans,
konsep yang kuat, dibangun dengan kokoh, tanpa kehilangan unsur fun.
Tiga elemen tadi masih hadir di Killers. Bergeser dari horror-slasher
menjadi psychological thriller, kita
akan mendapatkan sebuah studi karakter yang lagi-lagi bermain dengan hal
sederhana namun mampu tampil provokatif, sisi gelap dari semua manusia. Disini
terlihat jelas bahwa The Mo Brothers
sudah nyaman dengan konsep dan warna yang mereka miliki, serta mulai tampil
berani ketika bergerak lebih jauh dan lebih dalam pada elemen cerita. Jepang
dan Indonesia, ada dua arena yang dibangun Takuji
Ushiyama dan Timo Tjahjanto untuk
menjabarkan sebuah kisah self destruction, berisikan tahapan serta proses dari
ketika kehidupan mulai sulit untuk lepas dari jalinan persahabatan bersama
tekanan, hadir problem mental dan kejiwaan, hingga berakhir pada sebuah
ledakan. Familiar.
Ya, familiar, itu pula mengapa sangat mudah memahami
apa yang ingin disampaikan oleh The Mo
Brothers, dari tag inside us lives a Killers,
kemudian pengembangan cerita dan karakter yang sabar dan kuat di bagian awal,
kita seperti ditarik masuk kemudian di kurung bersama aksi membunuh dalam
cerita yang bergerak lambat. Tapi ada satu pertanyaan yang terus menghantui
saya sepanjang film, mengapa harus dibagi menjadi dua cerita? Hal tersebut
memang menciptakan banyak ruang eksplorasi, bahkan membuat ia tampak berani,
namun dibalik itu ada sebuah resiko besar yang dapat dihasilkan dari blunder
yang sangat kecil sekalipun, dan Killers
mengalami itu, lapisan demi lapisan yang sudah disusun dengan rapi itu pada
akhirnya tidak menyatu dengan baik.
Ketika ia masih berisikan materi-materi kecil, ini
kuat dan sangat menarik, namun ketika ia mulai di rajut menjadi sebuah kesatuan
besar, ini lemah. Pergantian tugas diantara kedua bagian tadi ikut membawa
perubahan dinamika dan daya tarik dari cerita, tensi yang stabil diawal mulai
naik dan turun dalam konteks negatif, hal yang seharusnya tidak boleh hadir
dalam proses observasi karakter seperti ini. Dampak terbagi duanya cerita juga
perlahan tampak dengan tidak digalinya banyak konflik kecil diawal yang
sesungguhnya menjadi daya tarik terbesar film ini. Hal tersebut belum
menghitung betapa sulitnya cerita ditarik menuju garis akhir oleh The Mo Brothers, seperti terjebak dalam
sebuah perputaran cerita yang berjuang mencari jalan keluar dalam gerak lambat,
berpotensi menjemukan.
Elemen utama yang sesungguhnya menjadi faktor kunci
dari film dengan tema seperti ini sebenarnya hanya satu, menjebak dan
mempermainkan emosi penonton. Itu tidak berhasil dilakukan oleh Killers, bahkan
momen tabu dari sebuah studi karakter juga harus hadir: okay, enough, just give me a conclusion. Sangat disayangkan ketika
sebuah minus minor pada kontrol di paruh kedua membuyarkan potensi besar yang
telah ia bangun, karena dibalik alur cerita mondar-mandir dalam gerak lambat
Kilers sesungguhnya telah berhasil menjebak atensi serta membangun rasa
penasaran penonton, bahkan cukup sulit untuk mengalihkan pandangan dari scene
yang beberapa diantaranya mampu tampil mengasyikkan dengan cinematography yang
mengesankan, terlebih ketika mereka disokong
oleh score yang sukses membangun aura gelap cerita.
Aura gelap juga hadir di divisi akting, terutama pada Kazuki Kitamura lewat ekspresi wajah dan
sorotan mata seorang pria sakit jiwa. Meskipun tidak begitu kokoh namun saya
suka tampilan berkelas yang The Mo Brothers
hadirkan pada cerita di bagian Jepang, hal yang sebaliknya tidak hadir di
bagian Indonesia. Di sisi dialog ia memang kurang, namun dari segi performa Oka Antara berada sedikit di atas
Kitamura, walaupun harus sedikit miris ketika upaya ia untuk membangun sebuah
polemik berat dari karakternya kerap kali justru tidak dihargai oleh beberapa
penonton yang menganggap cairan yang keluar ketika Bayu bergelut dengan masalah
sebagai sebuah lelucon yang lucu dan menghibur. Funny?
Why?
Overall, Killers
adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah bukti bahwa The Mo Brothers terus bertumbuh, mereka
berani untuk keluar dari sesuatu yang telah terbukti berhasil memberikan
kesuksesan dengan bermain di warna baru, tampil lebih matang tanpa harus
mengorbankan identitas yang telah tercipta. Tidak ada yang megah dari aksi
membunuh (especially if you like Dexter
and that kind of tv-series), standard namun tetap menyenangkan. Tapi ini adalah
sebuah studi karakter, permainan emosi yang mumpuni menjadi hal mutlak, dan Killers tidak punya itu.
0 komentar :
Post a Comment