From the
producers of Underworld, kalimat yang
tercantum pada poster tersebut sesungguhnya telah dapat mewakili apa yang coba
ditawarkan oleh I, Frankenstein.
Masih sama, formula yang sama, dan kembali ada Kevin Grevioux didalamnya, I,
Frankenstein kembali coba menawarkan fantasi bersama balutan action dan
sedikit nafas horror. It's not bad, it's
just, terrible.
Berawal dari sebuah masalah yang melibatkan rasa
dendam dan juga wanita, Adam Frankenstein
(Aaron Eckhart) kabur menuju kutub utara dari kejaran Dr Victor Frankenstein (Aden Young), yang juga merupakan sosok yang
menciptakan Adam, makhluk raksasa hasil daur ulang dari potongan mayat. Namun
misi Victor tersebut gagal akibat cuaca, tapi tidak bagi perjalanan Adam yang
kemudian bertemu dengan sekumpulan setan sebelum akhirnya diselamatkan oleh Gargoyles yang membawanya menuju Ratu
mereka, Lenore (Miranda Otto), dan
komandan mereka, Gideon (Jai Courtney).
Sebuah tawaran langsung diperoleh Adam, dimana Lenore
memintanya untuk bergabung bersama kaum Gargoyles
dalam pertarungan melawan kaum setan sebagai upaya melindungi manusia, walaupun
ia tolak. Namun takdir berkata lain, beberapa ratus tahun kemudian Adam kembali
harus berhadapan dengan hal yang sama, kali ini melibatkan Pangeran Naberius bernama Charles
Wessex (Bill Nighy), bersama ilmuwannya yang bernama Terra Wad (Yvonne Strahovski), dan menghidupkan kembali pertikaian
antara kaum setan dan kaum Gargoyles.
Jika membahas konsep dasar, I, Frankenstein sebenarnya tidak hadir tanpa membawa sebuah misi
yang jelas. Ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh Stuart Beattie dalam upaya yang sebut saja merupakan hasil
kanibalisme dari Underworld series
milik Kevin Grevioux, yang terbukti
dibalik respon negatif mampu melipat gandakan budget miliknya dan bertahan
selama satu dekade. Pertama mungkin tema sempit terkait kemanusiaan dengan
materi isolasi dan solusi, serta berikutnya membangun arena eye-candy tanpa otak. Yap, style over substance sudah jelas
tergambar dari film dengan tipikal seperti ini, sebagai penonton anda bukan
hanya disarankan namun wajib untuk menekan ekspektasi, dan kemudian menikmati
semua kekacauan yang dihadirkan sembari berharap itu akan menyenangkan.
Tapi, ini tidak menyenangkan, mungkin lebih tepatnya
sangat tidak menyenangkan. Dapat terlihat dengan jelas bagaimana Stuart Beattie seperti bukan hanya
tampak setengah hati namun juga dipenuhi rasa ragu pada dua tujuan utamanya
tadi, ia bingung mana yang harus digunakan sebagai jalur utama sehingga
kombinasi yang dibentuk pada dua bagian tadi pada akhirnya terasa sangat sangat
dipaksakan. Dari sisi cerita Stuart
Beattie sudah gagal sejak awal dalam membentuk dasar utama, imajinasi. Oke,
berikut ada gargoyle vs setan, baik melawan jahat, anda mengerti, mari kita
lanjutkan. Tidak masalah memang jika selanjutnya apa yang ia berikan memiliki
kadar yang ringan, namun secara mengejutkan I,
Frankenstein justru dikemas penuh dengan nada serius yang justru berakhir
canggung.
Tentu saja canggung, karena sejak awal tidak ada
pondasi yang kokoh pada konsep yang ia bawa. Jelas mengejutkan ketika kemudian
kita disuguhkan dialog-dialog bernada serius yang beberapa terasa cheesy di
dalam alur cerita mondar-mandir dengan banyak celah tak masuk akal itu, karena
materi yang ia miliki justru terasa lebih pas sebagai sebuah parade visual
dengan sentuhan komedi. Secara konstan terus berbicara tentang nasib manusia
tanpa keterlibatan manusia didalamnya, itu salah satu dari sekian banyak
lelucon rusak yang menjadikan film ini tampak palsu, tidak memiliki jiwa yang
membuka jalan bagi imajinasi penontonnya untuk ikut bermain bersama karakter.
Andai saja hal tersebut dapat tampil sedikit lebih baik, I, Frankenstein mungkin tidak akan menderita terlalu besar.
Benar, andai saja plot klise yang ia berikan mampu
tampil sedikit lebih menarik, I,
Frankenstein mungkin dapat menjadi sebuah popcorn movie yang memenuhi ekspektasi, karena di elemen kedua
sesungguhnya ia tidak tampil buruk. Bukan berarti ia tampil memukau memang,
namun apa yang menyebabkan penontonnya dapat terus merasakan nada gelap cerita
justru lebih banyak berasal dari kinerja visual. Bermain dimalam hari dipenuhi
dengan pertarungan yang beberapa diantara cukup menarik dengan kedalaman
mumpuni, celakanya hal tersebut tidak mampu menipu atensi penonton dari rasa
kesal terhadap cerita yang terlanjur menjadi concern utama. Rasa ragu Stuart Beattie diawal tadi yang kemudian
membuat mindset penonton berubah dan menilai ini sebagai kumpulan lelucon,
terus tersenyum menyaksikan hal-hal serius yang justru terasa lucu.
Nilai minus lain yang dimiliki oleh I, Frankenstein adalah ia tidak punya
sosok sentral yang mampu menjadi pusat seperti Kate Beckinsale dengan latex hitamnya itu. Hal tersebut
sesungguhnya sangat penting untuk menyokong materi sempit dan datar yang mereka
peroleh. Yang mampu sedikit memberikan daya tarik di bagian ini justru bukan Aaron Eckhart yang membuat Adam tampak
tidak memiliki percaya diri, namun Bill
Nighy sebagai demon-prince, yang mungkin memperoleh banyak keuntungan dari
perannya sebagai Viktor di Underworld, walaupun tetap tidak mampu menyelematkan
cerita dari cengkeraman rasa bosan.
Overall, I,
Frankenstein adalah film yang tidak memuaskan. Target utama yang sangat
rendah dengan mengharapkan sebuah hiburan bodoh yang menyenangkan tetap tidak
berhasil diperoleh dari film yang tampak berupaya membangun sebuah series baru
ini. Menggunakan formula yang sama dengan Underworld;
I, Frankenstein bukan memberikan
sebuah pergerakan positif namun justru menambah beberapa nilai minus, pondasi
yang tidak kokoh, diselimuti rasa ragu yang menjadikan materi serius tampak
lucu, serta visual yang tidak mampu menjadi pengalih atensi. Ini kacau, seperti
merangkai berbagai potongan kecil secara paksa dan berakhir canggung.
0 komentar :
Post a Comment