“Cinta nomor satu, tanpa cinta, lebih baik saya mati.”
Pasti akan ada mereka yang menilai kalimat tadi lebih terasa sebagai sesuatu
yang bodoh ketimbang romantis, karena tidak dapat dipungkiri pola berpikir
terkait percintaan yang terlalu sederhana seperti itu mungkin masih menjadi
makanan yang sangat lezat tiga dekade yang lalu, namun kini cukup sulit untuk
diterima di era modern sekarang ini, terlebih ketika melibatkan kata instan
didalamnya. Ah, tidak masalah kok, klise, standard, yang penting harus punya
permainan emosi yang memuaskan. Nah, itu yang tidak dimiliki oleh film ini, Endless Love, a super bland love story.
Dibalik permasalahan yang eksis disekitarnya, baik itu
terkait kakak serta ayahnya Hugh
Butterfield (Bruce Greenwood), Jade
(Gabriella Wilde) merupakan sosok yang memiliki kriteria idaman para pria.
Cantik, datang dari keluarga yang berbobot, gadis berusia 17 tahun ini bahkan
sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan studinya ke sekolah kedokteran.
Namun ternyata semua kehidupan nyaman dan aman yang ia alami tidak serta merta
memberikan rasa puas pada Jade, ada sesuatu yang masih terus terpendam dalam jiwanya.
Jade haus akan cinta, dan momen itu tiba, pria bernama
David Elliot (Alex Pettyfer) yang
ternyata telah menjadi pemuja rahasia Jade sejak lama. Pada pesta kelulusan
David memulai upaya pertamanya yang hebatnya langsung tepat mengenai sasaran,
daya tarik dan gairah tumbuh dengan instan dari kedua arah. Namun sayangnya
kemudahan yang mereka peroleh tidak hadir dalam waktu lama, semua berasal dari
status David yang berasal dari keluarga kelas menengah, merupakan anak dari
seorang montir, dan kemudian menciptakan dinding pembatas diantara mereka.
Sinopsis diatas terdengar klasik dan cheesy bukan? Ya,
memang harus seperti itulah Endless Love
hadir, penuh materi mellow dengan dramatisasi super familiar yang mungkin akan
memecah penontonnya pada dua kelas, tersentuh, atau justru merasa disgusted.
Adaptasi kedua dari novel Scott Spencer
ini masih memiliki ciri tersebut, namun yang menarik disini adalah cerita yang
ditulis ulang oleh Shana Feste dan Joshua Safran seperti ingin memberikan
sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan pendahulunya. Strukturnya masih sama,
namun yang menjadi masalah adalah konsep baru yang mereka bawa itu walaupun
terkesan berani namun justru menciptakan sesuatu yang lebih buruk.
Saya bukan penggemar berat dari versi 1981, namun setidaknya
karya Franco Zeffirelli tersebut
masih memperlakukan cinta yang menjadi fokus utama sebagai sesuatu yang
berharga, ia ingin menunjukkan the power
of love, sebuah daya yang mampu merubah sesuatu disekitar mereka (bukan
magic tentu saja). Namun di versi terbaru ini Shana Feste dan Joshua Safran justru ingin menggambarkan cinta
sebagai sebuah rasa tunggal tanpa lawan dalam konteks negatif, bahkan cenderung
self-destruction. Tidak masalah memang jika karakter berada pada usia dewasa
dan matang, namun untuk kelas remaja bahkan baru mengenal cinta konsep tersebut
sangat tidak sesuai, bahkan cenderung mengganggu.
Sebenarnya hanya itu hal utama yang penting, sebuah
pondasi dasar yang kokoh, karena kita semua sudah tahu apa yang akan hadir
berikutnya, dari jatuh cinta, hadir kendala, muncul opsi, dan kemudian
konklusi. Permainan emosi sangat penting pada tipe film seperti ini, dan Endless Love gagal memenuhi syarat
tersebut. Ini terlalu sederhana untuk menggambarkan kompleksitas cinta lengkap
dengan bumbu isu sosial lewat ayah overprotektif yang sudah sering kita
temukan, ya sebut saja Romeo + Juliet.
Ini juga terlalu hambar, penonton seperti disuguhkan sebuah lamunan tanpa nyawa
yang kemudian diwarnai dengan melodrama tanpa sensasi yang menarik di paruh kedua,
manipulatif dan canggung hadir bersamaan.
Dengan kehadiran semua kekurangan tersebut
sesungguhnya Endless Love masih dapat
menjauh dari jurang kehancuran andai saja sejak awal ia menempatkan sebuah
taruhan yang besar pada konflik yang diusung. Perjuangan untuk meraih cinta
yang menjadi fokus utama itu tidak mampu menginspirasi, hal tersebut
dikarenakan ia tidak disokong dengan materi mumpuni, hanya obsesi tingkat
tinggi yang hadir disini, kita tidak dapat merasakan ketulusan dari kisah dan
karakter untuk dapat ikut berfantasi dan menaruh simpati. Ya, bahkan ini baik ketika bermain pada perang antar pria, yang celakanya di beberapa bagian justru
mampu tampil lebih menarik ketimbang konflik utama.
Kondisi tersebut tercipta disebabkan performa Hugh Butterfield yang walaupun tidak
megah namun mampu menghadirkan sebuah karakter gelap dari kisah romansa klasik.
Sayangnya pencapaian tersebut tidak cukup membantu menutupi nilai minus pada
elemen ini. Gabriella Wilde dan Alex Pettyfer gagal menjadi tumpuan utama
yang mumpuni. Tidak ada chemistry yang menarik diantara mereka, tidak ada
sebuah gelora emosi dari api cinta diantara Jade dan David, penampilan datar
dan hambar dari Gabriella Wilde dan Alex Pettyfer tidak berhasil mencegah
invasi rasa bosan dan muak pada hal-hal klise yang menemani mereka untuk
mencuri posisi utama.
Overall, Endless
Love adalah film yang tidak memuaskan. Tidak mempermasalahkan hal-hal klise
yang ia hadirkan, karena memang seperti itulah sebuah kisah cinta, dipenuhi hal
klise. Namun yang menjadi masalah adalah Shana
Feste tidak berhasil menghadirkan kunci tunggal untuk menjadikan materi
klise tadi menjadi sebuah petualangan cinta yang menarik, permainan emosi. Ini
datar, hambar, sedikit terasa berantakan, dan tanpa sensasi emosi yang mumpuni
merubah hal klise tadi menjadi sebuah lika-liku melodrama yang perlahan menjengkelkan.
0 komentar :
Post a Comment