"I'm yours and I'm not yours."
Apakah anda
merupakan pengguna twitter? Apakah anda pernah menemukan sebuah halaman yang
menyatakan bahwa twitter sedang kelebihan kapasitas ketika hendak mencoba sign in? Yap, semakin mudah memang untuk bercinta dengan teknologi di zaman yang
serba menawarkan kemudahan seperti sekarang ini, banyak hal positif yang ia
ciptakan, namun dibalik kenikmatan tersebut ikut pula eksis berbagai hal
negatif yang berpotensi menghancurkan. Spike
Jonze menghadirkan problema tersebut bersama balutan visi, ide, serta konsep
yang tinggi dan berani, unik dan cantik. Her,
a sweet and smart hyper intelligent love story.
Raut wajah muram
dengan rambut berantakan, dua hal sederhana tadi sudah cukup untuk menunjukkan
bahwa Theodore (Joaquin Phoenix)
merupakan pria penyendiri dan kesepian yang sedang bertarung menghadapi masalah
yang hadir di pikirannya. Ia masih memiliki masalah pada pernikahan yang belum
usai dengan istrinya Catherine (Rooney
Mara), bahkan mulai jarang berinteraksi bersama sahabat baiknya, Amy (Amy Adams) dan Charles (Matt Letscher), padahal kesehariannya ia isi dengan
membantu orang yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya menuliskan surat cinta dengan cara mendikte kepada komputer.
Sederhananya
kehidupan Theodore sangat terisolasi, hingga suatu ketika ia memutuskan untuk
mencoba sebuah produk operating system yang telah dirancang agar dapat
melakukan interaksi layaknya manusia nyata. Sahabat fantasinya itu bernama Samantha (suara oleh Scarlett Johansson), berperan menjadi
teman chit-chat hingga pendamping Theodore pada segala urusan data dengan
komunikasi via earphone. Namun Theodore tetaplah seorang pria kesepian,
hubungan itu semakin intim, tersesat dalam rasa cinta virtual, yang sayangnya
tetap berjalan dengan formula konvensional, tidak semuanya indah.
Her bukan sebuah roman konvensional, bukan
cerita dengan fiksi dibaris terdepan yang dibantu sokongan bumbu kisah cinta,
namun merupakan upaya dari Spike Jonze
yang mencoba membawa penontonnya mengamati kritik humanisme dalam sebuah kisah
cinta sebagai fokus utama dan kemudian dibalut bersama unsur fiksi yang
cerdas. Ya, cerdas, satu kata yang dapat digunakan jika harus menjabarkan Her secara sederhana, dari luar ia
tampak hanya seperti sebuah petualangan penuh unsur meditasi dari seorang pria
yang jiwanya kerap hilang dalam kesepian akibat beban yang terus menghantui,
namun didalamnya tersembunyi materi menggelitik terkait perbandingan implisit
antara manusia dan teknologi.
Unik memang, masih
dengan formula yang masih sama dimana ia kembali menjerat penonton bersama
karakter kedalam sebuah ruang isolasi berisikan permaianan psikologis, Spike Jonze berhasil menyampaikan
sindirannya terhadap budaya masa kini, budaya dimana manusia terlihat sudah
mulai memperlebar jarak pada sosialisasi penuh interaksi langsung, karena telah
lebih akrab dengan teknologi yang mereka miliki, padahal mereka tidak bisa
sempurna menggantikan peran manusia, salah satunya pada sisi emosional lewat sebuah hubungan
asmara. Ironi tersebut di eksplorasi dengan cantik tanpa gimmick yang mengganggu, ia menghormati cerita, menghormati
karakter, dan menghormati penontonnya.
Ya, ini yang
menjadikan Her terasa menarik ketika
menjalankan misinya, ia tidak memaksa, ia mengalir. Bermain di warna pastel
pada visual, sinematografi yang mumpuni, sentuhan score indie dari Arcade Fire, dengan segala kecanggihan
masa depan pada akhirnya kita akan tersenyum kecil ketika sadar bahwa Spike Jonze tenyata ingin memprovokasi
penontonnya dengan merenung apa arti sebenarnya dari menjadi manusia?
Menariknya disisi lain kisah cinta itu tetap mampu memperdaya, semakin intim,
berjalan bersama karakter rentan dalam cinta posesif yang sensitif, dibalut
materi klasik percintaan seperti pengorbanan, suka cita bergairah, hingga rasa
takut penuh keraguan.
Lantas apakah
ini sempurna? Tidak. Konsep cemerlang dengan menggunakan kebodohan cinta itu
tidak mampu meraih potensinya untuk tampil spektakuler. Ada sedikit masalah
pada ritme, alur yang dibeberapa bagian kecil terasa kurang hidup karena
terlalu tenang, serta beberapa pengulangan. Ya, Her seharusnya dapat sedikit lebih padat, disini terlihat jelas
bahwa rintangan utama yang dihadapi oleh Spike
Jonze sejak awal adalah pace, ia mengaku punya versi panjang dengan durasi
150 menit, bahkan itu pula alasan ia mengganti Samantha Morton dengan Scarlett
Johansson. Sangat minor memang, bahkan dengan mudah pasti akan tertutupi
oleh script yang halus, namun selalu ada rasa kesal ketika sebuah film tidak
mampu meraih potensi tertingginya.
Namun kekecewaan
itu tidak akan tinggal lama di memori anda, karena disamping segala keunikan
yang Spike Jonze tawarkan tadi masih
ada satu hal impresif lain yang mungkin akan selalu anda kenang. Joaquin Phoenix kembali tampil gemilang
ketika memerankan karakter dengan permasalahan batin, berhasil menyeimbangkan
sisi hitam dan putih, canggung namun manis, berkarisma namun sensitif.
Begitupula dengan tiga wanita cantik, Amy
Adams, Rooney Mara, Olivia Wilde, menghantarkan kepahitan dari sebuah
kegagalan. Namun yang selalu mencuri perhatian walaupun ia tidak pernah hadir
di layar adalah Scarlett Johansson, berhasil membantu pertumbuhan emosional pada cerita dengan suaranya yang impresif.
Overall, Her adalah film yang memuaskan. Spike Jonze berhasil membangun konsep
dan ide berani serta kontroversial dari fantasi liar miliknya dengan cara
cerdas dan cantik. kombinasi antara romansa percintaan lengkap dengan materi klasik
yang manis bersama eksplorasi kritik implisit lewat sebuah penggambaran yang
sangat akurat terkait problema pada hubungan antara manusia dan teknologi,
semua dikemas dengan halus, efektif, dan menyenangkan.
anjriitt suara neng Scarlett emang seksih dah... serak2 gimanaaa gitu~
ReplyDeletebikin betah nungguin film sci-fi romance ini sampe abis..
meskipun celana si Theodore ini agak ganggu, tapi film ini asik banget deh. banyak quote2 bagus dan endingnya pas.
well score, dude.
“Her” is a little bit of everything. For anyone looking for a good laugh, a tear-jerking romance, and a science fiction fable all in one, “Her” is the perfect solution.
ReplyDelete