"There's something seriously wrong
with me."
Ada banyak cara untuk bertemu dengan
solusi ketika kita harus dihadapkan pada masalah yang berasal dari lingkungan
sekitar kita. Namun hal sebaliknya terjadi ketika masalah itu bersumber dari
diri kita sendiri, bahkan ia punya power yang lebih besar untuk memberikan dampak
destruktif skala ekstrim. Masalah, tekanan, dan mental, hal tersebut dibawa
oleh Filth, diadaptasi dari novel
ketiga creator Trainspotting, self
destruction adventure with a good surprise.
Seorang wanita dengan tampilan menggoda
bernama Carole (Shauna Macdonald) menjelaskan bagaimana ia punya sistem
hubungan yang cukup unik dengan suaminya, Bruce
(James McAvoy). Pasangan yang telah memiliki seorang anak ini telah hidup
berpisah, namun Bruce masih menyimpan asa untuk dapat kembali bersama, dan
langkah pertama yang ingin ia lakukan adalah dengan memperbaiki jabatannya yang
kini detektif. Kesempatan itu tiba, sebuah kasus dimana seorang mahasiswa
Jepang ditemukan tewas oleh segerombolan remaja preman.
Tapi ternyata bukan hanya Bruce yang
akan memanfaatkan kasus tersebut untuk mengincar peluang untuk mendapatkan
promosi, ia punya saingan empat orang detektif, diantarnya seorang rookie
bernama Ray Lennox (Jamie Bell), dan
wanita cantik bernama Amanda Drummond
(Imogen Poots). Uniknya bukan mereka yang ternyata memberikan tekanan kelas
berat pada Bruce yang memiliki sikap bebas dalam bekerja, karena masalah itu
muncul dari tekanan emosi dan mental dalam jiwa Bruce yang masih terus
terbelenggu dalam upaya untuk kembali meraih cinta istri dan anaknya.
Pada awalnya Filth akan tampak seperti sebuah upaya saling tipu antar karakter
untuk meraih posisi tertinggi. Ya, ekspektasi kita sebagai penonton secara
tidak langsung telah diarahkan kesana, diberikan sebuah konflik terkait
pembunuhan yang kemudian ditemani dengan sebuah fakta bahwa akan ada promosi
bagi para detektif selepas tahun baru. Namun hal tersebut pada akhirnya justru
hanya menjadi sebuah trik untuk membuka jalan bagi penonton untuk menuju sebuah
studi karakter (ya, saya juga terkejut ini pada akhirnya menjadi sebuah proses
mengamati tokoh utama) yang berjalan dengan materi sebuah isu yang sangat luas
terkait obsesi dan tekanan.
Aneh memang karena sepanjang film kita
justru akan dibawa masuk kedalam petualangan yang sangat bertolak belakang
dengan isu tadi, tidak akan pernah jauh dari gerak cepat narasi yang berani dan
penuh komitmen dalam mencampuradukkan komedi yang mayoritas cukup mampu
mengundang senyum, bersama hal-hal yang sesungguhnya secara kasar kerap kali
terlihat menyimpang terlalu jauh jika menilik misi utama yang sederhana itu.
Permainan kotor berisikan aksi vulgar, karakter yang sangat akrab dengan seks,
alkohol, hingga narkoba, perlahan mungkin akan muncul sedikit sikap meremehkan
namun dengan cara halus hadir transisi implisit yang sejujurnya dapat dikatakan
menjadi penyelamat utama Filth.
Ya, tanpa disadari setelah semua pesta
gila penuh hingar-bingar yang ia sajikan, bermain di tema sensitif seperti
rasisme dan homoseks, dari cara rumit dengan masuk kealam alam imajinasi hingga
hal sederhana seperti penggunaan mesin fotokopi, Jon S. Baird seperti paham betul bagaimana menggeser warna cerita
yang ia adaptasi dari novel milik Irvine
Welsh ini untuk menuju point utama terkait psikis dan mental ini. Ia
semakin beruntung karena tema tadi sesungguhnya sangat mudah untuk dijabarkan,
lepaskan karakter untuk menghancurkan dirinya sendiri, biarkan penonton
menilai, dan sistem tersebut berjalan dengan baik.
Tidak dapat dipungkiri memang sulit
untuk memberikan support pada tindakan yang dilakukan Bruce, namun anehnya ada
empati pada permasalahan utama yang ia emban, terlebih ketika pengungkapan itu
muncul. Yang menjadi masalah disini adalah sekalipun ia berpindah dengan halus,
perubahan itu tidak memberikan sebuah loncatan positif yang berarti, dan itu
semakin runyam karena dibagian itu pula Jon
S. Baird mulai kehilangan ritme, gerak cekatan itu hilang, Filth perlahan tampak
kehilangan power. Dampaknya cukup besar, setelah berupaya membangun dengan
sedikit nafas Trainspotting dengan
balutan soundtrack yang mengasyikkan, power point utama hanya berada di level
standard.
Cukup disayangkan memang karena walaupun diakhir ia tidak menghadirkan penjelasan saya suka dengan cara ia menuntaskan semuanya,
namun kurang kuat. Meskipun begitu petualangan Bruce punya power yang cukup
besar untuk melekat lama di memori penontonnya, terlebih dikarenakan performa
mumpuni dari James McAvoy, sanggup
menopang beban untuk menggerakkan cerita seorang diri, serta mampu menyuntikkan
karisma dan daya tarik dibalik materi dengan tema gelap yang ia punya. Beberapa
pemeran pendukung juga cukup mampu mencuri atensi dibalik keterbatasn gerak
mereka, Eddie Marsan dan istrinya
yang diperankan oleh Shirley Henderson,
serta Imogen Poots dan Jim Broadbent.
Overall, Filth adalah film yang cukup memuaskan. Dalam sekejap Filth akan mampu mencuri atensi jika
penonton klik dengan tujuan utama mereka, karena perpindahan halus yang juga
implisit itu pada awalnya akan berisikan proses penuh tindakan negatif yang sesungguhnya
sedang membangun jalan untuk menuju point utama yang ia usung, self destruction, bagaimana manusia
semakin mudah hancur jika selalu setia hanya berteman dengan tekanan.
huaaaaa.....ketinggalan byk film yg blom nntn :'(:'(*hiks min skrg kan udah masuk bln februari yg kata orang bln penuh cinta *eaaaaa review film2 yg romantis abiz dong min hehehe*plakk byk mau :) oya....satu lagi min mau nanya dong ending film remember me (2009) itu tokoh yg diperankan robert patison itu bunuh diri atau jadi korban bom WTC y??*maaf byk nanya :)
ReplyDeleteRomance sudah di buat list kok, tapi belum ada yang di eksekusi. :)
DeleteSeingat saya di remember me itu karakter R-Patz korban WTC, kalau gak salah waktu itu dia lagi nunggu di satu ruangan.