"Memory is the scribe of the soul."
Bukan sesuatu yang asing lagi jika kemudian hadir
kabar bahwa akan di produksi sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel
best- seller, itu sebuah peluang yang harus dimanfaatkan, tidak heran insan
perfilman Hollywood berlomba-lomba untuk mendapatkan hak mengadaptasi berbagai
novel terkenal, meskipun pada dasarnya hal tersebut belum tentu menjanjikan
hasilnya kelak akan otomatis menuai kesuksesan yang sama. The Book Thief, failed attempt from the studio that brought you Life of
Pi.
Pada tahun 1938, seorang gadis muda bernama Liesel Meminge (Sophie NĂ©lisse) harus
menjadi korban dari aksi Nazi dimana ia harus berpisah dengan ibunya, yang
merupakan seorang komunis. Untuk menjauhkan Liesel dari bahaya, ia kemudian di
titipkan kepada sepasang suami istri pasangan kelas menengah, Hans Hubermann (Geoffrey Rush) dan Rosa Hubermann (Emily Watson). Walaupun
menghadapi beberapa rintangan, Liesel dengan mudah beradaptasi di lingkungan
barunya, terlebih dengan bantuan tetangga barunya, Rudy Steiner (Nico Liersch).
Namun kebebasan ruang gerak keluarga Hubermann berubah
pada sebuah malam ketika kristallnacht
sedang berlangsung. Penyebabnya adalah Max
Vandenburg (Ben Schnetzer), pria muda Yahudi yang ayahnya pernah
menyelamatkan Hans ketika bersama berada di medan tempur pada perang dunia
pertama, dipaksa pergi oleh ibunya untuk menyelamatkan diri, dan memilih
kediaman Hans sebagai destinasinya. Dengan keberadaan Max di basement, mereka
mulai semakin waspada, yang celakanya justru berbanding terbalik pada Liesel
dengan minatnya pada membaca dan juga buku.
Merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama
karya Markus Zusak, sangat sangat
mudah untuk memberikan label kurang memuaskan kepada upaya dari Brian Percival selaku sutradara, serta Michael Petroni sebagai screenwriter, dalam menerjemahkan kisah
yang mampu bertahan selama 230 minggu menyandang status best seller ini. Saya
memang tidak membaca novelnya, namun menilik tema yang ia usung, perang dunia
ke 2, keterlibatan Nazi dan Hitler didalamnya, unsur keluarga,
mudah untuk mengerti apa tujuan utama yang diusung Zusak pada novelnya,
menjalani kehidupan dalam tekanan. Celakanya, point utama yang tunggal dan juga
penting itu tidak hadir di film ini.
Apakah The Book
Thief sekacau itu? Sebenarnya tidak, ada sebuah awalan yang sesungguhnya
mampu membentuk sebuah potensi menjanjikan untuk kisah bertumpu pada sisi
manipulasi emosi, terlebih dengan cara Brian
Percival membangun cerita dalam gerak lambat sehingga konflik perlahan
berkembang dan tertata dengan baik, seperti apa yang juga dialami karakter
dalam menebar daya tarik pada konflik yang ia bawa. Ya, pada bagian ini anda
dapat merasakan dinginnya ancaman yang tersebar, aktivitas warga yang masih
bisa tertawa walaupun terus berada dalam tekanan yang harus siap mati karena
kapanpun bom dapat mendarat di pemukiman mereka.
Tidak sampai disitu sebenarnya, divisi desain produksi juga
patut mendapat apresiasi, terlebih dengan score dari John Williams yang terus membalut penontonnya dengan situasi muram
yang terasa nyaman. Lantas apa yang menyebabkan film yang juga sempat menjadi
oscar-bait ini tampak kacau? Sederhana, sisi buruk dari Hollywood style. Tidak
begitu mempermasalahkan penggunaan bahasa Inggris yang kerap kali kurang klik
dengan aksen Jerman, yang menjadi masalah utama adalah The Book Thief seperti dipaksa untuk bermain di zona aman, hal yang
kemudian menghambat atau bahkan mematikan potensinya, berubah dari sebuah film
provokatif dengan isu terkait Nazi menjadi dongeng loyo yang perlahan terasa
basi.
Ya, basi, kita memang akan terus merasa seperti
dijanjikan sesuatu yang besar dibagian akhir seiring semakin jauhnya ia
berjalan, satu persatu dihadirkan isu yang kemudian coba dirangkai, namun
sayangnya Brian Percival kurang
waspada dan asyik melemparkan konflik, sehingga ketimbang menyatu mereka justru
tampak seperti sebuah tumpukan masalah tanpa jawaban yang penting. Disini
kelemahan utama The Book Thief,
subplot dengan potensi besar gagal dirangkai dengan mumpuni, sehingga meskipun
saya tidak tahu pasti apa point penting dari novel namun mudah untuk menilai The Book Thief tetap gagal dalam hal
tersebut, karena pada akhirnya ia tidak mampu menunjukkan sebuah point penting
yang menarik.
Memang tidak serta merta menjadikan secara umum tidak
ada yang menarik dari The Book Thief,
tapi ibarat grafik ini mengalami pergerakan yang terus menurun dengan gerak
lambat. Ini harus lembut mengingat ikut menyasar penonton muda, namun cara ia
dibangun terlalu lembut, Brian Percival
terlalu asyik merangkai cerita sehingga lupa mengatur dinamika tensi cerita.
Andai saja ia berhasil pada fokus lain untuk meraih emosi penonton mungkin akan
sedikit lebih baik, tapi celakanya itu juga gagal. Kisah predictable itu terasa
hambar, ia seperti terus berjuang untuk menopang beban sehingga pertunjukkan
yang ia sajikan justru terasa seperti memaksa anda sebagai penonton untuk
tertarik pada mereka.
Ya, The Book
Thief seperti terus mengemis atensi, memang mayoritas ia berhasil, namun tidak dengan simpati karena ia bermain
pada materi tipis yang tampil kasar tanpa eksplorasi yang mumpuni. Sulit,
sekalipun itu dikombinasikan dengan kemampuan divisi akting membentuk daya
tarik dari karakter mereka. Ia memang kerap mencuri posisi utama, namun tugas Geoffrey Rush adalah yang paling mudah,
dan ia berhasil menjadi sosok yang lembut. Emily
Watson juga impresif, wanita kompleks dan keras yang berada dalam tekanan.
Bintang utamanya adalah Sophie Nelisse,
meskipun tampak datar ia masih mampu menggerakkan potensi cerita, termasuk
kemampuan berbahasa Inggris dalam aksen Jerman (di Monsieur Lazhar ia berbahasa Perancis).
Overall, The
Book Thief adalah film yang kurang memuaskan. The Book Thief tidak layak menyandang status hancur, karena dibalik
gerak lambat dan hambar dalam pilihan bermain aman itu ia masih mampu
menghadirkan potensi yang membuat penonton terus terpaku mengikuti. Masalah
utama terletak pada Brian Percival, ia pernah menjadi bagian dari Downton Abbey, sehingga cukup
mengejutkan ketika Brian Percival
kurang mampu mengendalikan dan merangkai kisah yang sesungguhnya masih bermain
pada warna yang sama.
Thanks review-nya
ReplyDeletebagaimanapun saya baper nonton film ini, berharap rudy dan liesel life happily ever after ��
ReplyDelete