"Some people, they don't put things behind so easily."
Sesungguhnya
kita tidak selayaknya mengeluh pada setiap cobaan dan kesulitan yang kita
alami, karena dibalik beban berat tersebut terdapat sebuah kekuatan yang
menempa pribadi kita menjadi lebih kuat. Ya, kalimat klasik mengatakan anda
akan semakin menghargai sebuah kenikmatan sekecil apapun jika anda pernah
merasakan kegagalan, dan juga kehancuran. Penggambaran dari sistem tersebut
yang coba dihadirkan oleh film ini, Blue
Jasmine, when Cate Blanchett stole
your attention for one and half hours.
Jeanette Francis (Cate Blanchett),
kini telah merubah namanya menjadi Jasmine, tiba di San Francisco untuk tinggal sementara bersama saudara perempuannya,
Ginger (Sally Hawkins). Alasan utama
dari keputusan tersebut ternyata adalah sebagai upaya melarikan diri yang
diambil oleh Jasmine paska runtuhnya pernikahan yang ia bangun bersama mantan
suami, Hal (Alec Baldwin), yang
terjerat sebuah kegiatan illegal, dan meninggalkan Jasmine dalam kemiskinan,
tanpa rumah, tanpa uang.
Pikiran
yang kacau, bahkan ia terkadang sering berbicara sendiri, masalah yang dihadapi
Jasmine tidak berhenti sampai disana. Jasmine dan Ginger, yang keduanya
merupakan anak adopsi, ternyata memiliki selera yang tidak sama. Perbedaan
tersebut yang kemudian bukan hanya menjadi penghalang niat utama Jasmine untuk mencari kedamaian sejenak, namun ikut menambah beban dari upaya yang
telah ia susun untuk membangun kembali kehidupannya yang telah hancur.
Blue Jasmine adalah kemasan
klasik yang bekerja sangat efektif dari seorang Woody Allen. Benar, klasik, tidak ada sesuatu yang benar-benar
baru dari cara yang digunakan oleh Woody Allen dalam bercerita, sering
terputus-putus dalam gerak mondar-mandir sebagai upaya kilas balik ke masa lalu
yang coba suntikkan dalam menunjang cerita utama, hingga narasi tanpa tujuan
yang kerap goyah pada ritme serta fokusnya. Namun kali ini Woody Allen memperoleh keuntungan yang sangat besar lewat
kesuksesan dari karakter miliknya yang hanya ia lemparkan begitu saja bersama
konflik sederhana.
Ya,
dari sana Woody Allen mulai beraksi.
Skenario yang sesungguhnya tidak begitu kuat dengan berisikan beberapa materi
yang mungkin juga sudah terasa basi itu justru berhasil dibentuk dan diolah
menjadi kemasan yang memikat. Semua berkat keputusan Allen yang terus menekan
konflik utama dengan tema kerapuhan serta kehancuran itu agar tidak pernah
hilang sebagai fokus dari aksi mengamati yang dilakukan para penontonnya.
Dengan gerak cekatan studi karakter ini terhindar dari jeratan nafas murahan,
berbagai materi klasik melakukan kombinasi untuk menyajikan sebuah petualangan
dari kerusakan emosional yang memikat.
Yang
menarik disini adalah Woody Allen
mampu menghadirkan sesuatu yang kompleks hanya dengan hal sederhana. Tidak ada
yang rumit dalam cerita, hanya pernikahan yang rusak, tapi dibalik itu ada
keputusasaan yang begitu kuat berkat penggunaan yang efektif dari materi
psikologi klasik, wanita yang sedih, putus asa, hingga depresi karena masih
dihantui kenangan indah di masa lalu. Mereka kemudian dibalut dalam teknik
bercerita yang menghadirkan dinamika cerita yang terasa hidup bersama kuantitas
eksplorasi di tiap elemen yang efisien, sehingga konflik kecil terpapar dengan
baik serta berfungsi dengan semestinya terhadap tema lainnya.
Blue Jasmine bukan hanya
tentang wanita paruh baya yang terjatuh kedalam kehancuran, karena dibalik itu
ada sebuah kritik terhadap politik dan sosial dengan nafas satir yang terasa
tajam. Ya, ini adalah penggambaran yang kuat dan simple tentang gejolak yang
terjadi jika seorang kaya harus jatuh miskin, mereka yang selalu hidup dengan
dipenuhi kemudahan harus menghadapi berbagai kesusahan. Mereka ditampilkan
secara implisit dalam kisah penuh keindahan empati yang berjalan paralel ini,
bersama sinematografi klasik, dialog yang cerdas, karakterisasi yang kaya dan
kuat, namun tidak overdo sehingga lelucon yang ia tampilkan tidak membunuh
drama di posisi utama yang kali ini tampil serius minim bumbu romantis.
Keberhasilan
Woody Allen dalam mempermainkan
cerita menggunakan dramatisasi juga sangat sangat banyak terbantu berkat
kegemilangan Cate Blanchett.
Blanchett memberikan kinerja yang fenomenal, dari rasa hancur, sakit, hingga
gelisah, mereka mudah dimengerti, semudah sikap arogan yang ia tampilkan. Tanpa
sekalipun terjerat dalam kesan mellow, Blanchett berhasil menarik simpati
sehingga penonton perlahan menjadi peduli dengan cerita. Begitupula dengan
kinerja mumpuni dari Sally Hawkins,
yang sebenarnya juga ikut menjadi objek studi karakter, dibantu penggunaan yang
efektif pada pemeran lain, Alec Baldwin, Peter
Sarsgaard, Bobby Cannavale, Louis C.K., Andrew Dice Clay, dan Michael Stuhlbarg.
Overall,
Blue Jasmine adalah film yang
memuaskan. Woody Allen berhasil
mengolah formula standard yang ia miliki menjadi sebuah penggambaran yang sukses
bercerita mengenai kehancuran memilukan tanpa menghadirkan tragedi, kemudian
membungkusnya kedalam proses observasi yang tidak menaruh fokus pada plot,
namun pertumbuhan kearah negatif dari karakter yang terus fokus memegang isu
yang ia emban, dibantu dengan performa yang kuat dan memukau dari Cate Blanchett dan kinerja efektif
pemeran lainnya.
film yang menarik sebagai kritik sosial nih.
ReplyDeleteWoody Allen emang jagoan laah bikin alur maju mundur~
All the "happy ending movie" lovers will hate this movie tho. :)))