“Who cares about our stupid family?
Tidak seperti Diablo
Cody yang masih memiliki riwayat yang menodai kinerjanya di Juno dan Young Adult, Sarah Polley
sejauh ini selalu berhasil tampil impresif di bidang yang sama, screenwriter.
Pertama mengenalnya lewat Take This Waltz,
kemudian berpindah ke Away from Her,
sekali lagi Sarah menunjukkan salah satu kemampuan terbaiknya, bercerita. Stories We Tell, dokumenter, berhasil
menghadirkan petualangan tentang makna sebuah keluarga dengan cara yang menyenangkan.
Pada tahun 1990, ketika ia masih berumur 11 tahun, Sarah Polley telah kehilangan ibunya
tercinta yang meninggal dunia, Diane Polley. Sejak saat itu Sarah harus mengisi
masa kecilnya bersama sang ayah, Michael
Polley, karena saudaranya yang lain telah menetap diluar kota dengan
berbagai keperluan. Namun dibalik tawa bahagia dan hubungan yang sangat
harmonis bersama ayahnya kemudian hadir sebuah pertanyaan, hal yang juga selalu
menjadi bahan lelucon saudaranya, mengapa Sarah tidak tampak seperti ayahnya?
Pertanyaan tersebut kembali mengusik Sarah ketika ia telah
dewasa, karena ternyata ada sebuah fakta yang semakin memperkuat rasa bimbang
yang belum memiliki jawaban tersebut. Semasa mudanya Diane Polley pernah memutuskan untuk menerima tawaran untuk
melakukan pertunjukkan akting di luar kota, berkeliling Kanada dari Toronto hingga Montreal. Nah, di kota terakhir tadi Diane sempat dicurigai
terlibat hubungan asmara bersama rekan kerjanya, dari aktor, hingga produser
film bernama Harry Gulkin.
Mungkin pada awalnya akan hadir satu pertanyaan di pikiran
anda, “so what?” hingga “who cares?” Hal tersebut sesungguhnya juga dialami
oleh saudara-saudara Sarah yang ia minta untuk ikut berkontribusi pada film
ini, “who cares about our stupid
family?”, tanya mereka. Ini memang personal, bahkan sempat hadir sedikit
rasa bimbang di awal bahwa semakin jauh ia berjalan Stories We Tell akan berubah menjadi sebuah dongeng yang monoton,
karena sejak awal isu yang ia tawarkan sudah sangat personal. Ya, sebaiknya
anda jauhkan pemikiran tersebut jika tidak ingin bernasib seperti saya diakhir
cerita, merasa ekspektasi awal tadi sebagai sesuatu yang bodoh.
Mengejutkan, ini berbeda, Stories
We Tell seperti sebuah hiburan non-fiksi dalam sentuhan fiksi. Anda tahu
ini dokumenter, anda tahu apa yang ia ceritakan merupakan kisah nyata, namun
sejak awal hingga akhir anda tidak akan berhenti untuk ikut terbuai pada cara
Sarah Polley menceritakan kisahnya, kombinasi narasi yang dibacakan oleh Michael Polley, interview klasik, hingga
rekaman super 8. Kita tidak hanya mendengarkan keluarga dan kerabat
menyampaikan pandangan mereka terhadap isu utama, mengamati pergerakan cerita
seperti apa yang dilakukan Sarah, namun ikut meneliti kebenaran yang ada.
Sesederhana itu? Ya, sederhana, tapi dibalik itu Stories We Tell menyimpan banyak misteri berisikan
kepingan-kepingan kecil yang memikat dengan tema cinta dan keluarga.
Stories We Tell adalah sebuah kemasan yang menggambarkan kompleksitas dari
cinta. Kisah yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mencoba mencari tahu
asal-usul sebenarnya dari seorang Sarah
Polley justru berputar ke arah potret dari makna keluarga yang
sesungguhnya. Temanya masih sama dengan apa yang ia berikan pada Take This Waltz tahun lalu, masalah yang
tersimpan dalam sebuah hubungan yang telah berlangsung lama, yang kemudian
bermain dengan sisi kebenaran sesungguhnya. Namun disini anda akan menemukan
warna yang jauh lebih variatif, dari orang tua yang bermasalah, perbedaan,
perselingkuhan, hingga demokrasi, semua di bangun dengan sentuhan dramatisasi
yang tepat dan sangat terkendali.
Benar, sangat terkendali, bergerak lincah dan terus
mengundang rasa penasaran. Disitu uniknya, karena terasa aneh ketika anda
secara bertahap mulai merasa tertarik dengan permasalahan yang tercipta tanpa
terasa dipaksa, padahal materi yang hadir hanya pandangan berbeda dari banyak
orang terkait Diane dan Sarah. Kita sebagai penonton yang awalnya berpikir “ah,
ini sederhana” justru perlahan mulai masuk kedalam jeratan godaan pada apa yang
akan terjadi selanjutnya, karena ia terasa jujur, kisah itu tidak terasa
manipulatif walaupun dari cara ia dibangun ada beberapa bagian yang “manipulatif”, anda dapat
melihat rasa cemas, gugup, dan khawatir dari storyteller dalam memberikan pendapat, terlebih dengan beberapa
“kejutan” yang, well, mengasyikkan.
Apakah ini sempurna? Tidak. Ini minor, ada moment dimana ia
tampak bertele-tele dan cerita tidak menghadirkan pergerakan yang baik, namun
sekali lagi hal tersebut sangat minor, dan mudah terlupakan. Mengapa, karena
hal tadi tidak mampu tinggal dan bermain di pikiran anda yang sudah berisikan
misteri dari Sarah Polley, serta
isu-isu yang sebenarnya sangat umum. Ada kerapuhan yang bergerak tenang, dengan
sentuhan drama bahkan humor yang memikat, meskipun kurang begitu kokoh pada
bagian emosi. Storyteller juga patut mendapatkan apresiasi pada kontribusi
mereka menyampaikan pendapat pribadi, cara mereka mengemas kisah itu bervariatif,
sehingga proses ekplorasi itu tampak berwarna dan terus penuh energi.
Overall, Stories We
Tell adalah film yang memuaskan. Dari pertanyaan sederhana “siapa ayah dari
Sarah Polley yang sesungguhnya”, Stories We Tell akan membawa anda
kedalam sebuah penggambaran dari kompleksitas cinta yang modern, makna dari
keluarga hingga sahabat, semua dikemas dengan cara yang ringan dan renyah,
screenplay yang memikat, storyteller yang berkualitas, kreatifitas yang
dimanfaatkan dengan tepat guna, dibalut bersama kombinasi dramatisasi dan unsur
humor yang pas. So, what is your next project
Miss Sarah Polley?
0 komentar :
Post a Comment