“There’s a
difference between being lonely and being alone.”
Anda pasti tidak
asing lagi dengan kalimat-kalimat yang berisikan ajakan untuk mencoba keluar
dari zona aman yang anda miliki, bertemu dengan banyak orang baru, karena sesungguhnya
mereka punya banyak hal baru yang dapat memberikan ilmu serta hal positif baru
kepada anda, sekalipun pengalaman tersebut akan berakhir menjengkelkan. Prince Avalanche ingin bercerita tentang
hal tersebut, dalam cara yang sederhana, santai, dan standard.
Tahun 1988,
pasca kebakaran besar yang melanda hutan di area Texas, dua orang pria di tugaskan untuk kembali kedalam hutan
tersebut. Tugas mereka sederhana, hanya melakukan pengecatan ulang garis
lalu lintas pada jalan tersebut di siang hari, kemudian mendirikan tenda
menjelang malam, masak dan makan, dan kembali ke tugas awal ketika matahari
terbit. Namun rutinitas yang bergerak secara periodik itu secara perlahan mulai
memicu api, karena kegiatan yang mereka lakukan ternyata menjadi sesuatu yang menjemukan
bagi Lance (Emile Hirsch), pria muda
berjiwa bebas yang gemar mendengarkan musik dengan volume keras dari radio.
Sejak awal Lance
membenci rekan kerjanya, Alvin (Paul
Rudd), yang punya kepribadian bertolak belakang dengannya, sosok tenang dan
penyendiri yang justru lebih senang mendengarkan kaset yang mengajarkannya tata
cara berbahasa Jerman, yang dianggap Lance sebagai hal membosankan. Tapi itu
tidak satu arah, karena Alvin juga membenci Lance, anak muda yang ia anggap
sangat immature. Petualangan yang seharusnya dipenuhi kerja sama dan saling
bantu itu akhirnya berubah menjadi ajang penuh pertengkaran dan saling ejek,
sebuah ujian bagi kepribadian mereka yang masing-masing telah rapuh sejak awal.
Naskah yang
katanya memiliki tebal sebanyak 65 halaman itu nyatanya justru diolah dengan
cara konvensional. Tema persahabatan yang dibungkus bersama proses dari dua
individu yang mencoba belajar dan menemukan jati diri mereka dengan cara tumbuh
bersama dalam satu pekerjaan. Ini seperti menyaksikan bagaimana ketika sosok ekstrovert, yang dapat merasa tenang
jika berada dalam kondisi terus aktif, tipe yang memperoleh energi positif
orang lain, kemudian harus menjalani harinya dengan seorang yang introvert, tipe pasif yang justru
menemukan kenikmatan maksimal disaat ia berada dalam kesendirian, sosok yang
menciptakan energi positif. Dua sisi berlawanan arah layaknya negatif dan
positif dalam kekuatan yang begitu besar tersebut kemudian harus bertarung.
Ini terus
menarik, hingga akhir malah, namun sayangnya Prince Avalanche terus berputar dalam lingkup menarik, tidak pernah
tampil menghadirkan elemen-elemen yang memikat. Standard, penonton tahu apa
yang ingin mereka sampaikan lewat pergerakan cerita yang santai layaknya sebuah
mediasi spiritual bersama hamparan pepohonan dan konstruksi jalan, dengan
tampilan yang konstan serta sederhana terus menebar misteri yang mengundang
rasa penasaran, namun seperti tidak mau mengurai cerita menuju sisi yang lebih
terang. Prince Avalanche pada
akhirnya tampak seperti kumpulan ide klasik tentang karakter yang belajar dan
berkembang, yang sayangnya sudah sering kita temukan, tanpa disertai impact
yang mumpuni.
Ya, ini punya
tujuan, namun kurang fokus, dan tidak total. David Gordon Green juga seperti terlalu bergantung pada ide cerita yang ia adaptasi dari film
berjudul Either Way. Konsep dari jiwa
yang tersesat, kemudian bermain dengan unsur tanggung jawab serta kematangan
dua pria, berupaya memperbaiki kerusakan pribadi itu dengan melempar mereka
kedalam suatu lingkungan terisolasi yang baru saja mengalami kerusakan
geografis. Jiwa yang rusak dalam lingkungan yang masih rusak, memperbaiki jalan
raya sembari memperbaiki diri mereka. Ini menarik, potensial, namun sangat
stabil. Ketukan cerita tidak mampu menjadikan point-point penting yang
dihasilkan dua karakter utama untuk meninggalkan impresi yang kuat, terlalu
lemah, kurang dalam.
Studi karakter
ini kurang berhasil meninggalkan refleksi kehidupan yang kuat dan memikat.
Membagi sama besar unsur drama dan komedi, ketika berdiri sendiri mereka
menarik, namun transisi diantara keduanya kurang baik. David Gordon Green seperti menjahit setiap scene menjadi kesatuan
yang sesungguhnya tampak rapi, namun disisi lain kurang berhasil memanfaatkan
setiap momentum yang ia miliki dari gerakan mondar-mandir nan absurd itu. Ia juga seperti mengingkari “cara” mumblecore berjalan, pesan yang dikemas dengan
ringan, dan juga berjalan dengan cara yang ringan. Prince Avalanche sebaliknya, konflik kerap kali coba dibentuk agar
terasa sangat dalam tapi tidak terkesan natural, serta turut berupaya sedikit
memaksa agar unsur komedi dapat dijadikan tampak begitu lucu. Kurang seimbang.
Yang menarik
disini adalah dua pemeran utama. Paul
Rudd kembali mampu memanfaatkan materi tipis yang ia punya untuk menjadikan
Alvin secara stabil tampil mengundang rasa penasaran sejak awal hingga akhir.
Saat-saat lucu di eksekusi dengan cukup efektif, namun ketika unsur drama
bergerak mengambil alih layar Rudd tetap sanggup menggambarkan konflik personal
yang dimiliki oleh Alvin dengan cukup baik. Dan saya dapat melihat jiwa bebas
yang seperti berada dalam sebuah kurungan penjara di alam terbuka dalam diri
Lance, berkat kemampuan Emile Hirsch
yang tahu cara menjadi sosok menjengkelkan, walaupun kurang begitu kuat ketika
masuk kedalam warna yang lebih serius. Chemistry diantara keduanya juga menambah nilai positif film ini.
Overall, Prince Avalanche adalah film yang cukup
memuaskan. Tidak ada hal baru dari materi yang ia tawarkan, namun ide tentang
proses introspeksi dan penemuan jati diri itu dibangun dalam sebuah konsep yang
sangat menarik, bahkan memorable. Sayangnya beberapa kelemahan kecil pada
eksekusi memberikan dampak yang cukup signifikan pada daya tarik cerita, dan pada
akhirnya Prince Avalanche akan tampak
seperti sebuah proses tanpa tujuan yang kuat, karena gerak stabil dan santai
yang ia tunjukkan tidak disertai dengan kemampuan dalam menciptakan
impact yang memikat pada tiap pesan kecil yang ia sebar di sepanjang fim. Jauh dari kesan membosankan, namun tidak cukup untuk memberikan kepuasan yang kuat.
0 komentar :
Post a Comment