Mengapa sebuah
film yang mengusung lebih dari dua genre tampak sangat menarik? Jawabnya
sederhana, karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka punya rasa percaya diri
yang kuat. Tidak perlu terlalu jauh, contohnya tahun lalu ada Silver Linings Playbook dan Moonrise Kingdom yang mampu melebur
komedi, drama, dan romance menjadi sebuah kemasan yang mengasyikkan. Film ini
punya tiga unsur tadi, dan menambahkan fantasi didalamnya, Mood Indigo (L'Écume des jours), when Michel Gondry lost in his fantasy.
Colin (Romain Duris) adalah seorang
pria yang sangat sangat beruntung. Ia kaya, tidak perlu bekerja, dan mengisi kesehariannya
dengan menikmati makanan lezat dan “aneh” yang dibuat oleh pembantunya Nicolas (Omar Sy), bermain pianocktail
(piano yang dapat membuat cocktail), dan bercengkrama bersama sahabatnya Chick (Gad Elmaleh), pria yang kemudian
menjadi sumber perubahan pada diri Colin lewat pengakuannya bahwa ia jatuh
cinta dengan Alise (Aïssa Maïga),
wanita yang punya kesamaan dengannya, Jean-Sol
Partre.
Colin merasa
iri, akhirnya bertekad untuk juga mencoba menemukan cintanya, dan lewat bantuan
Nicolas ia menghadiri sebuah pesta ulang tahun anjing dari sahabatnya. Disana
Colin bertemu dengan Chloé (Audrey
Tautou), wanita yang secara mengejutkan punya kesamaan dengan Colin, Duke Ellington. Kisah asmara penuh
kebahagian itu berlanjut hingga jenjang pernikahan, namun keindahan tersebut
menghadapi cobaan akibat suatu peristiwa yang berkaitan dengan bunga lily air.
Lagi dan lagi Michel Gondry kembali membuktikan bahwa
ia adalah salah satu insan perfilman dengan daya khayal yang mengagumkan. Ya,
Gondry adalah seorang pendongeng yang imajinatif, bahkan jika sedikit
dipersempit dan hanya berbicara unsur fantasi, Mood Indigo adalah hiburan yang spektakuler. Ini bukan hanya
fantasi pada sektor cerita seperti yang pernah ia berikan pada Eternal Sunshine of the Spotless Mind,
Mood Indigo juga menjadi arena dimana Gondry bermain dengan fantasi visual yang
dapat dengan mudah membuat penontonnya bergumam “sick”, “gila”, “keren”, dan
lain sebagainya.
Dari sisi
imajinasi Mood Indigo mengagumkan,
seperti menyaksikan dunia nyata yang kemudian berisikan berbagai hal aneh yang
jika menggunakan logika sangat tidak mungkin terjadi. Sebut saja ikan mati dan
telah matang namun dapat menari di atas piring, koki di acara televisi yang
dapat menjulurkan tangannya keluar, spider alarm, kendaraan berbentuk awan,
hingga perpanjangan kaki kala menari. Random, dipaksakan, namun mereka selalu
menjadi pemandangan yang bukan hanya berhasil menyihir dan membuat penontonnya
kewalahan, namun turut menyebabkan mereka bingung dan bertanya apa yang baru
saja mereka lihat diiringi senyuman.
Ya, paruh
pertama Mood Indigo bahkan dapat
dikatakan menjadi salah satu yang terbaik di tahun ini. Hal tersebut
dikarenakan pada bagian itu Michel Gondry
masih fokus memamerkan keahlian teknis yang ia punya, menghadirkan berbagai hal
aneh, dangkal, childish, dan tidak logis kedalam bentuk tipuan yang cantik dan
mengasyikkan, limpahan hal gila yang bergerak cepat. Penonton seperti diajak
untuk terbang tinggi dalam imajinasi, namun yang menjadi masalah ada sebuah
pergeseran warna yang punya peluang cukup besar untuk mengejutkan. Daya tarik
yang telah terbang tinggi itu kemudian harus terjun bebas, tampilan dangkal dan
penuh kegembiraan itu berubah menjadi melankolis, warna cerita menjadi gelap
(sama gelapnya dengan visual yang memilih tampil hitam putih), dan menekan unsur
drama untuk menggantikan komedi menemani romance.
Yang menjadi
masalah disini adalah Michel Gondry
tahu ia akan menghadirkan transisi dalam cerita, namun ia seperti lupa (jika
tidak ingin disebut tidak mau) membekali karakter yang ia miliki, yang di paruh
kedua memegang peranan penting, dengan kedalaman emosional yang mumpuni.
Akibatnya, setelah asyik bermain dengan fantasi, cerita yang ia tulis bersama Luc Bossi berdasarkan novel yang
berjudul Froth on the Daydream karya Boris Vian itu kemudian hanya sibuk
mengembangkan karakter yang dangkal, yang kemudian menjadikan tema kehidupan,
cinta, dan kematian terasa sangat tidak bernyawa ketika ia hadir dalam diam,
tidak ada depresi dan kehancuran yang meyakinkan.
Sederhananya
Gondry tidak mampu menciptakan keseimbangan yang kokoh antara fantasi dan
emosi. Ia sedikit ceroboh dan lepas kendali di paruh pertama, dan harus
berjuang keras di paruh kedua. Mood
Indigo mengalami apa yang hendak ia gambarkan, ia punya sisi terang yang
hidup, baik itu pada dinamika cerita, daya tarik, dan karakter, namun ia juga
punya sisi gelap, dimana daya tarik pada cerita dan karakter perlahan mati. Hal
yang sama dialami Romain Duris dan Audrey Tautou, karakter mereka seperti
kehilangan arah dan tujuan. Tugas mereka sebagai objek observasi cinta juga
kurang berhasil akibat chemistry yang tidak begitu kuat sejak awal.
Overall, Mood Indigo (L'Écume des jours) adalah
film yang cukup memuaskan. Ini seperti menyaksikan sebuah petualangan tentang
kehidupan yang dibagi secara frontal menjadi dua bagian. Visual penuh hal aneh
dan gila yang menyenangkan di paruh pertama, kemudian drama melankolis di paruh
kedua. Sayangnya Michel Gondry tidak
mampu menghadirkan transisi yang mumpuni diantara keduanya, sehingga daya tarik
di paruh pertama tidak ikut berpindah ke paruh kedua.
Screened at Festival Sinema Prancis 2013
0 komentar :
Post a Comment