"We are like two flowers in one pot."
Tidak heran
zaman sekarang banyak orang yang memilih tidak menikah terlalu muda, karena
jika dahulu kala pernikahan ibarat sebuah kewajiban, sebuah garis finish penuh
sukacita yang menandakan seseorang tinggal menyisakan satu kewajiban lagi di
dunia, sekarang ini banyak orang tidak hanya berpikir bahwa pernikahan adalah
petualangan terakhir yang hanya memerlukan tanggung jawab, namun juga perlu mental yang
kokoh, karena akan banyak misteri yang mereka jumpai. Cutie And The Boxer bermain di isu tentang misteri tersebut, marriage, struggle, loyalty.
Semasa mudanya Ushio Shinohara adalah salah satu sosok
seniman asal Jepang yang sangat terkenal. Pria ini punya jiwa yang kuat dan
penuh energi, semangat yang ia miliki dapat dengan mudah terlihat dalam lukisan
di kanvas besar yang mengesankan, namun ternyata di balik itu Ushio ternyata
adalah sosok yang, well, cukup buruk. Ushio adalah tipikal pria yang selalu
mengandalkan pride di baris terdepan. Ia sombong, ia merasa sebagai sosok yang
jenius dan semua orang harus membantunya. Itu pula yang ia terapkan dalam
pernikahan, sebuah sistem yang selalu punya jawaban sederhana, “karena aku
adalah suami.”
Wanita kurang
beruntung itu adalah Noriko Shinohara,
berusia 21 tahun lebih muda dari Ushio, juga seorang seniman. Noriko jatuh hati
pada Ushio karena sikap terbuka yang ia tunjukkan padanya, dan kemudian rela
membantu Ushio, tetap setia bahkan ketika harus diusir oleh orang tuanya. Namun
sayangnya Noriko yang sebenarnya berasal dari keluarga yang kaya, perlahan
harus kehilangan kesempatannya dalam mengekspresikan seni setelah bersama
Ushio, bahkan ia perlahan mulai merasa bukan lagi sebagai seorang istri namun
sebagai free assistant, free secretary,
hingga free chef.
Anda pasti akan
memiliki penilaian yang sama dengan saya ketika melihat poster yang ia usung, dua
sosok lanjut usia yang ternyata merupakan pasangan suami istri, ini pasti
adalah sebuah dokumenter tentang seni melukis. Itu benar, dimana sepanjang film
kita akan berputar di sekeliling materi penuh seni artistik pada sebuah studio
yang berantakan di kawasan kumuh Brooklyn
, New York, dari motor raksasa yang diciptakan menggunakan bubur kertas,
kumpulan cat dengan komposisi liar dalam kanvas hasil pukulan dari Ushio
seperti sedang bertinju, hingga rangkaian gambar hitam putih hasil curahan
perasaan seorang Noriko. Ini dangkal di kemasan luar, namun ada sesuatu yang
jauh lebih dalam dibaliknya, potret sebuah pernikahan yang dingin dan hangat
secara bersamaan.
Menyaksikan Cutie And The Boxer seperti menyantap
dua makanan dengan rasa yang bertolak belakang. Pertama, hadir sebuah hubungan
manis yang hampir berusia satu dekade, saling memahami, penuh perhatian, sebuah
kisah cinta yang dengan mudah sanggup membuat penontonnya mengagumi cinta dari
dua tokoh utama sejak awal hingga akhir. Namun disisi lain kita akan disajikan
sisi pahit dari kisah cinta sebagai variabel pembanding, lewat sebuah tampilan
animasi yang justru menguak fakta sesungguhnya dari Ushio dan Noriko, perpaduan
sikap sabar istri, arogansi suami. Sulit untuk menggabungkan hitam dan putih agar
tidak saling membunuh, namun Cutie And
The Boxer berhasil melakukan itu.
Penuh dengan cat
berwarna yang membuai hingga akhir, Cutie
And The Boxer justru menyimpan sebuah warna gelap dari kisah cinta yang
telah berjalan dalam periode yang sangat lama. Zachary Heinzerling dengan cermat membawa penontonnya masuk kedalam
sistem sebuah asmara yang klasik, saling membutuhkan, saling mendukung, namun
tahu menempatkan sudut pandang pada betapa rumitnya cinta kedalam cerita.
Disini sangat jelas terlihat perjuangan dan pengorbanan dalam sebuah
relationship, kita melihat bagaimana seorang artis kini hidup sederhana,
diberikan gambaran dari kesuksesan yang pernah ia capai lewat arsip rekaman,
kemudian dibalut bersama fakta dari tampilan penuh ketenangan dari Noriko yang
selama ini merasa tidak diberikan kesempatan untuk dapat berdiri sejajar dengan
suaminya.
Cutie And The Boxer adalah
observasi pada kompleksitas sebuah hubungan dengan cara yang lucu, jujur, namun
juga provokatif. Bukan hal yang baru memang, namun yang menarik adalah
kemampuan Zachary Heinzerling untuk menggambarkan misteri dari sebuah
pernikahan secara seimbang. Biografi memilukan ini bukan hanya semakin membuat
penontonnya menghargai pekerjaan seniman, namun juga semakin mempertebal
pandangan penonton pada apa arti sesungguhnya dari kombinasi antara kehidupan
dan cinta. Hal tersebut berhasil karena Zachary
Heinzerling seperti memberikan kesempatan pada kita untuk seolah menjadi
anggota keluarga lainnya didalam apartement yang sempit itu, perlahan seperti
terjebak dalam konflik, semakin simpati pada tokoh, semakin intim dengan
mereka.
Ya, ini sangat
intim, namun juga bergerak cekatan, ada dinamika cerita yang penuh energi. Itu
menyebabkan isu tentang persamaan gender yang telah ia tetapkan sejak awal tidak
pernah kehilangan atensi, dimana kasih sayang bersama Noriko terus menjadi
pusat ditengah kepungan rasa bahagia, sedih, kesal, hingga kecewa. Semakin
menarik karena keputusan Zachary
Heinzerling untuk bermain aman semakin membuat kemasan ini terasa padat,
kekejaman yang dibentuk dengan halus itu tidak terkesan overdo, begitupula
dengan sisi mellow. Tidak adanya rasa canggung antara Noriko dan Ushio untuk
mengekspresikan perasaan mereka di depan kamera juga patut di apresiasi, yang
menjadikan jawaban Noriko atas pertanyaan “Cutie
hates Bullie?” seperti kombinasi gula dan garam, senyum dan sedih.
Overall, Cutie And The Boxer adalah film yang
memuaskan. Ini adalah salah satu film paling mengejutkan di tahun ini, tidak
megah memang, namun Zachary Heinzerling
berhasil menghadirkan kombinasi hitam dan putih dari sebuah pernikahan dengan
seimbang dan kuat, dan hebatnya tetap mampu menyampaikan sebuah pesan sederhana
yang ia usung dengan efektif, beside
love, you can make your small marriage became a royals with just using one
simple thing, loyalty.
0 komentar :
Post a Comment