Apa makna hebat dari sebuah relationship? Pasti akan
banyak jawaban dengan inti sebuah hubungan yang selalu mampu tampil harmonis.
No, karena salah satu pencapaian terbesar dari sebuah relationship adalah
ketika anda masuk kedalam cobaan dalam skala yang sangat besar, berhasil
bertahan, dan keluar dengan senyuman. Film ini memang tidak mencakup semua hal
dari tahapan tadi, namun Blue Is The
Warmest Color (La Vie d'Adèle – Chapitres 1 & 2) akan membawa anda
kedalam menuju problema kisah cinta bersama balutan proses pertumbuhan jiwa dan
emosi yang memikat.
Dia tomboy dan cuek dari luar, namun Adèle (Adèle Exarchopoulos) ternyata
menyimpan sebuah problema pribadi yang masih terus menghantui batinnya. Adèle
masih belum mampu merasakan getaran cinta dari lawan jenisnya, ia bahkan sudah
mencoba berpacaran dengan teman sekolahnya yang bernama Thomas (Jeremie Laheurte). Rasa ragu tersebut terus berputar
didalam benak Adèle, hingga sebuah peristiwa bersama teman wanita disekolahnya
semakin meyakinkan Adèle bahwa ia adalah seorang lesbian, yang juga menjadi
titik awal dari upayanya menemukan Emma.
Emma (Léa
Seydoux), adalah seorang wanita berambut biru berjiwa seni
yang bertemu Adèle saat hendak menyeberang bersama pacar wanitanya. Ya, Emma
juga merupakan seorang lesbian. Sebuah club, percakapan, dan hubungan
persahabatan itu mulai terjalin. Hubungan cinta itu semakin dalam dan telah
diikat dengan komitmen yang begitu kuat. Namun hal wajib yang selalu menjadi
bagian dari relationship kemudian muncul, berawal dari rasa ragu hadir sebuah
gelombang cobaan dari sebuah hubungan jangka panjang.
Dalam kalimat sederhana Blue Is The Warmest Color adalah kombinasi antara erotis dan
romantis. Ya, sesungguhnya kalimat tadi bahkan masih kurang mampu untuk
menjabarkan secara luas apa yang coba digambarkan oleh kisah yang diadaptasi
oleh Abdellatif Kechiche dan Ghalia
Lacroix dari novel karya Julie Maroh.
Pondasinya adalah sebuah kisah coming-of-age terkait seorang gadis muda dan
cinta pertama, namun dibalik itu tersimpan berbagai konflik kecil terkait
relationship dalam lingkup yang sangat umum. Ini bukan sekadar film yang
mengandalkan nudity dan seks seperti yang selalu menjadi topic utama
pemberitaan sejak kemunculan pertamanya, karena Blue Is The Warmest Color punya sebuah proses dari pertumbuhan
cinta dari kecil menjadi besar lengkap dengan segala keindahan serta kehancuran
yang menemani.
Blue Is The
Warmest Color adalah proses dari
terbentuknya jiwa seorang manusia dalam lingkup asmara. Sederhananya ini adalah
sebuah representasi makna cinta dunia modern dari seorang Kechiche, kedalaman
emosi dalam gerak lambat cerita penuh kesabaran, observasi rumit yang terus
berputar, mencampur berbagai elemen variatif dengan nafas keluarga, sahabat,
personal, hingga politik kedalam sebuah drama romantis yang tampil berani pada
upaya mengekspresikan rasa gembira, sedih, hancur, tertekan, marah, hingga
gelora nafsu yang menggebu lewat adegan seks eksplisit dalam durasi panjang.
Mereka semakin menarik karena dibentuk oleh Kechiche kedalam sebuah proses
panjang yang selalu mampu meyakinkan penontonnya lewat komitmen memikat.
Ya, ini adalah proses panjang, dimana durasi hampir
tiga jam itu seperti dibagi secara gamblang oleh Kechiche menjadi dua bagian
seperti judul asli yang ia miliki, La Vie
d'Adèle – Chapitres 1 & 2. Yang menarik adalah terdapat sisi hitam dan
putih. Kompleksitas cinta dapat dipahami dengan cara sederhana lewat pengamatan
fokus yang juga menjadi alasan dari banyaknya ia menghadirkan scene-scene dalam
durasi panjang, karakter utama tidur, hingga close-up pada bibir dan gigi.
Namun bagaimana bagi mereka yang tidak memerlukan waktu sepanjang itu untuk
memahami hal sederhana tadi? Cukup kesal, karena banyak diantara mereka dapat
dikemas menjadi sama padatnya dengan durasi lebih singkat. Keindahan itu
perlahan bergeser menjadi proses yang sedikit berlarut-larut.
Memang tidak sampai berujung pada rasa lelah dan
bosan, namun sikap yang sedikit memaksa tersebut menghasilkan celah yang cukup
menggerus power momentum cerita untuk bertahan. Sulit untuk menemukan
kenikmatan yang sama besar pada dinamika cerita ketika kisah ini telah bergeser
pada bagian kedua, memang masih stabil, intim, fokus, dan dalam, namun gejolak
jiwa yang menarik itu mulai ditemani warna melodrama tanpa gairah yang sama
kuatnya, apalagi ketika ia mulai menghadirkan kembali pertanyaan seputar
lesbian dan biseksual pada diri Adele. Pematangan dan penemuan jati diri itu
mulai membawa masuk konflik psikologisnya kedalam proses menunggu ledakan yang
sudah dapat diprediksi.
Untung saja keputusan Kechiche untuk tidak mau
menggali terlalu dalam narasi dan lebih mengandalkan dua senjata utamanya untuk
mempertebal pandangannya terhadap sisi tragis cinta berakhir manis berkat
kemampuan Adèle Exarchopoulos dan Léa Seydoux tampil total dan ekpresif,
dari halus dan kasar, tenang dan kemudian meledak. Léa Seydoux berhasil menjadikan Emma tampak menarik tanpa
kehilangan sisi rentan. Sedangkan bintang utamanya adalah Adèle Exarchopoulos, gembira, hancur, panik, kecewa, selalu ada wujud
dari sebuah emosi yang begitu hidup dari Adèle, begitupula dengan kepiawaiannya
dalam menciptakan ruang observasi menarik pada karakter Adèle. Memukau.
Overall, Blue Is
The Warmest Color (La Vie d'Adèle – Chapitres 1 & 2) adalah film yang
memuaskan. Hanya perlu dua hal untuk dapat menikmati film ini, bukan anti LGBT,
dan siap untuk menginvestasikan emosi bersama karakter utama, karena ini adalah
sebuah proses pertumbuhan jiwa dan emosi yang dihadirkan oleh Abdellatif Kechiche dengan berbagai
konflik kecil implisit yang menarik namun selalu fokus pada tujuan utama dalam
upaya menggambarkan salah satu sisi penting yang harus dimiliki cinta di jaman
modern: bersikap dewasa dan tidak dangkal.
0 komentar :
Post a Comment