"I fought 'til the end, I'm not sure what this worth, but know that I did."
Jangan menyerah. Ya, anda pasti sudah sangat familiar
dengan kalimat tadi, sebuah ajakan sederhana yang mampu menghadirkan semangat
tidak peduli darimana ia berasal, eksternal maupun internal. All Is Lost mencoba menggambarkan power
dari kalimat tadi yang berasal dari internal, satu jalur, satu tokoh, a
segmented and solid survival stories.
Tidak sesederhana itu karena disaat bangun pagi ia
telah menemukan aliran air yang masuk kedalam kabin kapalnya. Penyebab dari
robekan di lambung kapal itu adalah sebuah peti kemas, yang dengan akal yang ia
miliki berhasil diatasi dengan mudah oleh Our Man. Yang menjadi masalah utama
adalah peristiwa tersebut merupakan awal dari berbagai rintangan yang telah
menanti Our Man, membawa ia masuk kedalam pertarungan antara manusia dan alam,
dari navigasi, sistem komunikasi, hingga hanya mengandalkan naluri.
All Is Lost adalah sebuah kemasan mentah yang terasa
nikmat. Film ini tidak mencoba untuk keluar dari formula film tipe serupa
layaknya Cast Away, 127 Hours, Life of Pi,
hingga Gravity, namun hal utama yang
menyebabkan ia terasa seperti sebuah kemasan segar ditahun ini adalah keputusan
J. C. Chandor untuk mengurung
karakter utama seutuhnya. Ya, seutuhnya, sejak awal hingga akhir kita hanya
disuguhkan upaya bertahan hidup dari seorang pria tua, yang di titik awal sudah
memberikan sebuah clue, tanpa ditemani karakter lain. Tidak ada ancaman seperti
Richard Parker, atau hiburan kecil
seperti yang diberikan oleh Mr. Clooney di Gravity,
penonton hanya dilemparkan sebuah objek observasi tunggal yang celakanya bahkan
hanya dibekali dialog yang minim.
Mungkin lebih tepatnya sangat minim, karena Robert Redford lebih banyak bermain di
ekpresi tubuh dan wajah untuk membawa penonton masuk kedalam proses survival
bertahap yang ia hadapi, dan celakanya hal tersebut berhasil bekerja dengan
baik. Semangat, tekad, rasa sakit, hingga frustasi, semua berhasil tergambarkan
dengan cantik oleh Redford, dan kemudian berpadu dengan kemampuan J. C. Chandor dalam mengendalikan
cerita. Ya,seperti yang pernah ia lakukan pada Margin Call, Chandor kembali membuktikan kemampuannya dalam
mengubah konflik sederhana menjadi sebuah petualangan kompleks yang padat dan
tidak overdo.
Padat, dalam satu jalur lurus ide yang simple itu
dibangun dengan cermat dan cekatan. Ada sebuah tempo yang memikat dari dinamika
cerita yang ia tampilkan, ketegangan tingkat tinggi yang kemudian diselingi
dengan kelembutan dari proses merenung karakter utama. Memang sedikit kacau,
namun ada nafas kehidupan yang menawan dari irama yang ia suntikkan pada kisah
isolasi ini. Ya, kesuksesan terbesar yang berhasil diciptakan All Is Lost adalah kemampuan dari
Chandor mengeksekusi upaya utama dari tipe film seperti ini, membuat
penontonnya terjebak bersama karakter, semakin dalam rasa terjebak yang anda
rasakan, semakin besar kenikmatan yang anda peroleh.
Yang menarik disini adalah seperti yang disebutkan
sebelumnya ada sebuah kompleksitas dibalik tampilan sederhana yang All Is Lost miliki. Dengan cara yang
berani film ini mampu menghadirkan sebuah pertumbuhan yang mumpuni, intens, dan
intim dari perjuangan inspiratif. Petualangan emosional bersama kedalaman
karakter sukses menghantarkan semangat untuk tanpa lelah mencoba berbagai upaya
untuk bertahan hidup hingga harapan terakhir dengan disertai pergeseran warna
cerita yang terasa halus, dari penuh energi menuju lelah, kemudian rasa sabar
hingga putus asa. Andai saja Chandor mau sedikit menambahkan monolog dari
karakter utama kisah ini akan terasa semakin mematikan.
Benar, semakin mematikan, bahkan All Is Lost imo punya potensi yang sama besar jika dibandingkan dengan
Gravity pada sektor cerita dasar. Hal tersebut yang menjadi penyebab kurangnya
rasa klimaks dibagian akhir, walaupun sangat suka dengan keputusannya untuk
tampil ambigu, sama halnya dengan cinematography mumpuni dari G. DeMarco dan Peter Zucarini, visual yang tepat guna dan berhasil menyuntikkan
sisi lain terkait sang pencipta, serta scoring dari Alex
Ebert yang banyak membantu mempertebal makna dari ekspresi menawan yang
ditampilkan Robert Redford. Ya,
menawan, hanya dengan mengandalkan dominasi ekspresi tubuh dan wajah untuk
bercerita Robert Redford berhasil menampilkan salah satu performa yang
memorable di sektor actor pada tahun ini.
Overall, All Is
Lost adalah film yang memuaskan. Sebuah pembuktian terbaru dari J. C. Chandor, menghadirkan kompleksitas
terselubung dibalik tampilan sederhana yang berani, minim dialog, performa kuat dari Robert Redford, sukses
menghadirkan semangat kehidupan dan sikap pantang menyerah. Ini adalah film
yang sangat menuntut penontonnya untuk melakukan investasi emosi bersama karakter,
karena kepuasan utama bersumber dari sana. Segmented.
Baru nonton filmnya kemarin di HBO, ikut membayangkan betapa sulit si karakter berjuang keras tetap hidup melawan alam
ReplyDeletewow."..
ReplyDeletebaru nonton td di hbo. film ini perenunggan sy ketika menghadapi kondisi yg sukar apa tetap berahan at menyerah, di sini sy di lihatkan sebagai manusia sy sangat kecil tiada arti.. terus berjuang bahkan di saat yg paling tersulit pertolongan Tuhan sedang menguji iman ku
ReplyDelete