Salah satu dari
sekian banyak kalimat yang terkenal sekarang ini adalah “hukum dapat dibeli.”
Sebenarnya miris, karena tidak peduli betapa lemahnya hukum tersebut
setidaknya masih ada garis pembatas antara keadilan dan ketidakadilan. Nah,
bagaimana jika tindakan kriminal dilindungi hukum, walaupun itu digunakan
dengan dalil untuk menyelamatkan bangsa. The
Act of Killing (Jagal) akan bercerita tentang sistem keadilan tersebut
dengan cara dokumenter, menaruh moral sebagai atensi utama, salah satu film
paling provokatif tahun ini.
Pada tahun 1965,
Jenderal Suharto berupaya
menggulingkan Presiden Sukarno dengan
menggunakan operasi militer G30S PKI
sebagai alasan utama. Hal tersebut menyebabkan para pendukung Sukarno, dari
partai komunis, buruh dan tani, hingga penduduk etnis Tionghoa secara tidak langsung ikut dilabeli terlibat dalam aksi
G30S. Dalam satu tahun satu juta penduduk yang dianggap komunis tewas terbunuh.
Anehnya hingga kini masih ada bagian dari operasi tersebut yang masih hidup
dengan bebas.
Salah satunya
adalah Anwar Congo, yang menyebutkan
ia telah membunuh lebih dari 1000 orang dengan menggunakan kawat dan metode
mencekik. Anwar, yang juga merupakan pendiri dari sebuah organisasi sayap kanan
paramiliter Pemuda Pancasila,
ternyata bangga dengan tindakan mereka dahulu karena menganggap perbuatan
tersebut sebagai sebuah tindakan heroik. Bersama temannya Herman Koto, dan rekannya sesama eksekutor 38 tahun yang lalu, Adi Zulkadry, ia mencoba melakukan reka
ulang adegan tentang pembunuhan tersebut.
Ini adalah
hiburan horror yang nyata, bagaimana ketika kita harus menyaksikan sosok yang
dahulu dengan mudah dapat membunuh ratusan hingga ribuan jiwa manusia
menggunakan tindakan ekstrim dan keji, namun sekarang masih dapat berjalan
dengan bebas di lingkungan masyarakat, bahkan mendapatkan perlindungan dari
kalangan yang menganggap dirinya adalah seorang pahlawan yang menyelamatkan
Indonesia. Ya, film ini seperti mempertanyakan apa arti sebenarnya dari sebuah
keadilan dengan mengandalkan unsur moral bekerja di baris terdepan, dengan misi
utama menghadirkan penyesalan lewat upaya merubah perspektif pelaku
sesungguhnya dalam cara yang cerdik dan licik.
Bukan hanya
cerdas, namun Joshua Oppenheimer
adalah seorang yang cerdik. Ini bukan sebuah dokumenter yang hanya berisikan
wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan baku, bersama dua co-director Christine Cynn dan Anonymous, Joshua mencoba mencapai misi utama mereka dengan
melakukan kombinasi antara interview klasik yang dibentuk kasual bersama sebuah
panggung teatrikal yang diperankan langsung oleh pelaku asli. Mereka diberi
kesempatan untuk melakukan reka ulang dari tindakan keji yang pernah mereka
lakukan dahulu, mencampur berbagai unsur favorit mereka seperti musikal penuh
tarian, hingga gangster seperti menggunakan kawat dan hutan.
Ya, hal tersebut
yang kemudian menjadi kejutan. The Act of
Killing seperti sebuah rasa yang segar bagi film dokumenter. Saya kurang
yakin apakah para pemeran mengerti pada maksud dan tujuan "lain" dari
Joshua Oppenheimer serta
rekan-rekannya, namun dengan menyaksikan mereka turun langsung berakting, yang
hebatnya berhasil tampil menyenangkan di depan kamera, hadir sebuah kejujuran
yang sangat murni, mereka santai, mereka tenang, mereka lepas, seperti penuh
totalitas pada tujuan utama untuk ikut membantu merubah pandangan masyarakat
terhadap tindakan mereka dahulu, padahal di sisi lain ada isu provokatif
bertemakan immoralitas yang jauh lebih kuat.
Upaya untuk
menghidupkan kembali kisah pembantaian itu memang berhasil, namun isu tentang
moral justru terasa jauh lebih menarik bagi saya, bagaimana arogansi ternyata
telah menjadi budaya di Indonesia
sejak lama. Sangat miris ketika menyaksikan Anwar tanpa rasa bersalah
menunjukkan cara halus pembunuhan agar dapat mengurangi bekas darah yang
tertinggal, bahkan ia menari bahagia di lokasi yang ia sebut merupakan tempat
dimana paling sering dilakukan eksekusi. Menariknya Joshua Oppenheimer seperti tidak lupa untuk menghadirkan
perbandingan dengan present day, menghadirkan Ibrahim Sinik sebagai komparasi
peran surat kabar, hingga beberapa pemimpin masa kini yang sebenarnya juga
tidak lepas dari kritik moral yang ditampilkan secara eksplisit.
Keputusan
tersebut memberikan dampak yang kuat pada perspektif yang Joshua gunakan untuk
menggambarkan kejahatan yang tak tahu malu. Ikut tersenyum ketika Anwar Congo dan Adi Zulkadry yang sejak awal terus diberikan pertanyaan-pertanyaan
ringan pada akhirnya terjebak akibat sikap terlalu terbuka yang mereka berikan.
Reaksi seolah tak bersalah itu juga perlahan berubah, mulai melakukan
pertahanan pada aksi tidak bermoral mereka dahulu, yang celakanya telah mereka
hidupkan kembali. Proses yang awalnya hanya berupaya sebagai sebuah media
renungan pada akhirnya berubah menjadi aksi introspeksi pelaku berisikan
pertanggung jawaban moral. Ya, terkadang anda memang tidak dapat memperoleh
kejujuran yang utuh jika hanya mengandalkan kejujuran. Nice.
Namun disini
masalahnya, The Act of Killing terasa
kurang padat. Saya menyaksikan versi extended dengan durasi 159 menit, dapat
terlihat dengan jelas mengapa pada akhirnya versi teater hanya memiliki durasi
115 menit. Banyak bagian yang kurang penting, pengulangan yang tidak memberikan
pergerakan pada cerita. Lepas dari paruh pertama The Act of Killing mulai tampak seperti berputar dalam sebuah
lingkaran. Pergerakan abstrak yang awalnya sangat menyenangkan itu perlahan
sedikit berantakan dan menggerus intensitas konflik utama. Memang ia masih
kokoh berada dijalur utama, namun film ini seperti mulai lelah dan akhirnya
kehilangan irama, terlebih dengan timing yang terlambat ketika ia menghadirkan
proses sadarnya tokoh utama, yang juga terasa terlalu singkat.
Overall, The Act of Killing (Jagal) adalah film
yang memuaskan. Ini adalah salah satu film paling provokatif di tahun ini, dan
dua jempol untuk Joshua Oppenheimer
dan rekan-rekannya yang dengan berani menghadirkan isu moral ini kedalam media
yang dapat di konsumsi publik. Walaupun perlahan sedikit kehilangan irama di
paruh akhir, The Act of Killing tetap
memberikan kesuksesan yang sangat besar pada upaya penggambaran bahwa masih ada
bahaya kekuatan yang masih eksis hingga sekarang, dengan cara yang unik dan
sederhana, membuat penjahat melakukan sendiri eksploitasi kejahatan yang pernah
mereka lakukan. Nice.
Suprise, film ini kenapa disebut tahun 2013 ya?
ReplyDeleteRasanya saya sudah punya soft copy film ini tahun lalu :))
Ada yg bilang bahwa sebenarnya film ini di banned dari Indonesia, makanya masuk lebih lama.
Di website resmi act of killing bahkan orang indonesia bisa mendownload film ini secara gratis.
And FYI, para 'aktor' di film ini tidak tau filmnya bakal jadi dokumenter. :)))
Oh iya, salah ternyata 2012. :)
DeleteWah, soft copy nya sudah dari tahun lalu ya? Karena setahu saya film ini baru available enam bulan yang lalu, dan baru bisa di unduh di website resmi tepat akhir september silam, saya salah satunya.:)
oiya mas, memangnya kalau mau download film resmi itu dimana? makasih mas sebelumnya hehe
ReplyDeletehttp://actofkilling.com
Delete