Film ini
sesungguhnya telah dijadwalkan akan dirilis pada akhir november tahun lalu. Ya,
bukan november tahun ini melainkan tahun lalu, didorong sedikit kebelakang menuju awal bulan februari 2013 dengan alasan terkait efek visual, namun kemudian
kembali ditunda hingga akhir bulan desember dengan alasan reshoots. Kemungkinannya cuma dua, upaya untuk menjadikannya tampak semakin megah, atau upaya
menyelamatkan ia dari jurang kehancuran. 47
Ronin, cukup rapi, stabil, namun monoton dan kurang bernyawa.
Karena statusnya
sebagai pria berdarah campuran antara British dan Jepang, Kai (Keanu Reeves) harus rela dipandang sebelah mata oleh para
samurai di kerajaan tempat ia bermukim, Ako. Ia dianggap seperti sebuah
masalah, namun celakanya sebuah tindakan licik dari seorang wanita bernama Mizuki (Rinko Kikuchi) kemudian membawa
Kai kedalam sebuah masalah yang jauh lebih besar, menyebabkan pemimpin mereka Lord Asano (Min Tanaka) memutuskan untuk
menebus kesalahan dengan memilih melakukan seppuku, dan Ako berada dibawah
kendali Lord Kira (Tadanobu Asano).
Namun walaupun
kini hanya menyandang status ronin, serta dihalangi sebuah perintah dari
pemimpin tertinggi, Kuranosuke Oishi
(Hiroyuki Sanada) tetap berniat untuk membalaskan dendamnya kepada Lord
Kira sebagai upaya untuk mengembalikan kehormatan mantan pemimpinnya. Ia
kemudian mengajak Kai untuk bergabung, bukan hanya karena Oishi tahu kemampuan
yang dimiliki Kai, namun ikut melibatkan nasib seorang wanita bernama Mika (Kou Shibasaki) yang akan dinikahi paksa oleh Kira, wanita
pujaan hati Kai.
Jika dijabarkan
dalam sebuah kalimat sederhana, 47 Ronin
adalah film yang sejak awal sudah tampak sangat cemas. Sumbernya adalah dana
melimpah yang ia miliki, kemudian memberikan dampak domino pada cerita yang
ditulis oleh Walter Hamada, Chris Morgan,
dan Hossein Amini, hingga merembes
pada kinerja Carl Erik Rinsch
dibangku sutradara. Ya, mereka tampak terbebani tentu saja oleh tuntutan agar
film ini dapat menjadi sebuah kemasan yang mewah dan megah, tapi celakanya hal
tersebut pula yang ternyata kemudian menyebabkan Rinsch dan rekan-rekannya
justru memilih bermain aman, bahkan cenderung setengah hati di tiap elemen
film.
Ini tidak total.
Dari segi cerita memang terasa rapi, kita seperti dibawa kedalam sebuah urutan
petualangan yang terangkai dengan baik, berhasil menghidupkan kembali salah
satu legenda masyarakat Jepang ini.
Namun jika mencoba menilik sedikit lebih kedalam anda dapat dengan mudah
menemukan sebuah rasa bingung yang dimiliki oleh 47 Ronin. Film ini tidak berani, beban diawal tadi seperti
menghalangi ia untuk bergerak lebih jauh dan lebih bebas, unsur sejarah ia
kemas secara umum tanpa pendalaman yang berarti, kemudian melakukan kombinasi
bersama sentuhan Hollywood.
Benar, tema
kehormatan dan pengorbanan itu memang berhasil tersampaikan, namun dengan cara
yang sangat biasa, standard dibanyak bagian, cerita terbangun dengan cara yang
biasa, begitupula dengan karakter, hingga berakhir pada permainan CGI. Ini terlalu
sederhana untuk sebuah legenda potensial yang kompleks, dan pada akhirnya
penonton hanya akan berpegang pada warna balas dendam ketimbang hal-hal rumit
yang tersimpan dibalik itu. Screenwriter
seperti sangat terbebani agar dapat menyusun sebuah kisah yang di satu sisi
tampil serius namun juga harus menciptakan ruang bagi “hiburan” yang
menyenangkan, memang rapi, namun ini monoton dan kaku.
Sumber utama
yang menyebabkan ia tampil monoton dan kaku adalah keputusan yang diambil oleh Carl Erik Rinsch sejak awal, 47 Ronin sudah ditekan sejak ia dimulai,
diatur sedemikian rupa agar dapat tampil seimbang di semua elemen. Berhasil,
namun gerak mondar-mandir yang ia hadirkan itu berada di level medium, jauh
dari mengesankan. Kurang bernyawa, sulit untuk menaruh simpati pada cerita dan
karakter yang sejak awal tidak diberikan karakterisasi dan kedalaman yang
mumpuni, padahal petualangan ini didominasi permainan dialog dalam gerak yang
sabar dan stabil. Penggunaan english juga memberi dampak berarti, sulit untuk melakukan
sinkronisasi pada karakter fiktif tersebut dengan kisah nyata, menghadirkan
sebuah rintangan untuk dapat terjerat lebih dalam.
Yang unik dari 47 Ronin adalah ia menghadirkan sebuah
proses panjang untuk mencapai finale di dua bagian, sisi emosional dari pesan
dan karakter, dan juga sisi tampilan visual. Visual berhasil, set yang
mengesankan, kostum yang memikat, efek visual yang cukup oke, ada nafas kuno
dalam sentuhan modern yang ia tampilkan. Namun dari segi emosional: kurang
memuaskan, kurang mencekam, daya tarik yang kurang kokoh dengan mudah tergerus
ketika hiburan visual mulai hadir menemani. Itu juga sering menjadikan Keanu Reeves terasa kurang berharga,
terlebih dengan kemampuan pemeran Jepang seperti Hiroyuki Sanada, Tadanobu Asano, dan Rinko Kikuchi memanfaatkan kesempatan yang mereka miliki dengan
baik.
Overall, 47 Ronin adalah film yang cukup
memuaskan. Ini menarik jika menilik struktur cerita yang ia tampilkan, walaupun
beberapa materi terasa kurang pas ia masih mampu untuk tampil cukup rapi,
bahkan berhasil menggambarkan kembali secara garis besar informasi terkait
perjuangan dan keberanian dari para Ronin. Yang menjadi masalah adalah ia tidak
punya dinamika cerita yang bernyawa, yang hidup, yang menyenangkan, ini terlalu
stabil di level yang sayangnya juga tidak tinggi, terasa kaku dan kerap kali
monoton.
0 komentar :
Post a Comment