Wanita ini
pernah menjadi primadona di era tahun 70-an, dalam waktu singkat langsung
menggebrak industri perfilman dengan menggunakan paket yang tidak lazim, porn
movies. Linda Susan Boreman,
menyandang nama panggung Linda Lovelace,
merupakan porn queen pada era itu, namun anehnya dia hanya punya rentang karir
yang begitu singkat, empat tahun. Ya, ternyata ada sesuatu yang menyedihkan
dibalik kesuksesan tersebut, kisah yang kemudian coba di gambarkan oleh film
ini, Lovelace, sebuah kemasan
biography yang tidak percaya diri, tanpa misi dan ambisi yang mumpuni, it's like making a war movie without the fighting.
Ayah dan ibunya,
John Boreman (Robert Patrick) serta Dorothy (Sharon Stone), merupakan dua sosok
yang sangat religius, namun Linda Boreman
(Amanda Seyfried) justru menemukan cara menikmati hidup yang bertolak
belakang dengan sistem yang dianut kedua orangtuanya. Linda adalah wanita
dengan jiwa bebas, berjemur dibawah sinar matahari, hingga menjadi sukarelawan
untuk menari diarena roller skating bersama sahabatnya Patsy (Juno Temple). Aktivitas terakhir itu menjadi momen dimana
Linda bertemu dengan Chuck Traynor (Peter
Sarsgaard), yang kemudian menjadi suaminya.
Namun Chuck
ternyata bukan sosok pria yang sehari-hari bermain di area bersih. Suatu ketika
Chuck masuk penjara, dan harus berhadapan dengan krisis finansial. Celakanya
ide pertama yang dimiliki oleh Chuck adalah memanfaatkan apa yang selama ini
telah ia kuasai, pornografi dan istrinya. Linda dipaksa untuk menjadi bintang
porno dengan menggunakan nama Linda
Lovelace, dan secara mengejutkan berhasil memberikan penampilan yang
impresif dan membuat sutradara serta produser (Bobby Cannavale, Hank Azaria, Chris Noth) jatuh hati padanya, tenar
dalam sekejap berkat Deep Throat,
namun tetap tidak membuat ia lepas dari sisi hitam kehidupan.
Tujuan utama
dari semua film biografi pasti sama, sebagai media yang mencoba mengurai atau
menjelaskan kembali kisah kehidupan dari seseorang, berisikan analisa dari
fakta serta pengalaman tokoh tersebut. Hal itu tampaknya coba di pegang dengan
erat oleh tiga sosok utama dibalik layar, Andy
Bellin di bagian script, dan kombinasi Rob
Epstein dan Jeffrey Friedman di
bangku sutradara. Mereka seperti ingin menjadikan film ini seutuhnya sebagai
media yang menjabarkan secara detail rekam karir dari Linda Lovelace, bahkan dalam durasi 15 menit anda sudah dapat
menemukan banyak konflik kecil. Jangan buang waktu, mari bergerak cepat, cara
konvensional itu mendominasi Lovelace.
Tampak percaya
diri bukan? Namun sesungguhnya di balik kemasan padat yang ia hadirkan di
bagian awal tersebut Lovelace pada
akhirnya harus jatuh menjadi sebuah kisah yang sejak awal hingga akhir terus
bercerita, namun tidak mampu menunjukkan bahwa ia punya rasa percaya diri pada kisah
yang usung. Caranya dalam menghadirkan sudut pandang pada kasus utama memang
menarik, terlebih dengan keputusannya yang tampak akan mencoba menggambarkan
sosok Linda secara detail. Tapi itu adalah batas dari nilai positif yang dimiliki
Lovelace, selebihnya ini berubah
menjadi rangkaian dari tumpukan cerita yang gagal pada tahap eksekusi.
Sederhananya ini
adalah sebuah tontonan yang hambar. Dengan penuh keyakinan mencoba membagi
kisah kedalam sisi terang dan gelap, kesalahan utama Lovelace bersumber pada keputusan Rob Epstein dan Jeffrey
Friedman yang sejak awal sepertinya memilih untuk tidak bermain terlalu
jauh. Mungkin berupaya untuk menghormati mendiang Linda, namun bukan penilaian
tersebut yang muncul, Rob Epstein dan Jeffrey Friedman justru tampak takut
untuk mengekplorasi lebih dalam materi yang sebenarnya punya potensi yang
sangat sangat besar untuk dapat menjadi sebuah tontonan penuh isu provokatif.
Ini datar, terasa terlalu manipulatif, kurang dinamis, kurang hidup, malah
terasa seperti membaca informasi yang dapat anda tanyakan pada google.
Lovelace adalah film yang harus menderita akibat
efek domino yang sudah ia ciptakan sejak awal. Pertama ia tidak punya ambisi
yang tinggi, memberikan efek pada misi utama yang sejak awal tidak tampil
kokoh, kemudian memilih bermain aman dengan tidak bergerak terlalu jauh di
semua area, menjadikan struktur cerita terasa sangat kaku dan kerap
menjengkelkan akibat lompatan cerita yang kurang begitu penting, dan membuat
kisah perjuangan dari Linda itu harus berakhir terlalu standard. Banyak bagian
yang tidak dibentuk dengan baik akibat terlalu dangkal, tidak dalam, tidak
kompleks, sehingga kunci lain pada simpati terhadap karakter utama juga terasa lemah.
Permasalahan
utama lainnya yang dimiliki Lovelace
adalah apa misi utama yang ia usung? Sepanjang film tidak ada isu yang diolah
dengan baik, ada sedikit pandangan pada sisi kemanusiaan dan kekerasan terhadap
wanita, namun itupun tidak dibentuk dengan kokoh. Pada akhirnya Lovelace hanya tampak sebagai sebuah
upaya untuk membuat penontonnya menaruh simpati pada Linda Boreman (yang kemudian juga gagal), bukan sebagai media untuk
melempar banyak pesan yang mampu menghadirkan isu provokatif pada lingkup
sosial, politik, hingga budaya. Ya, kembali lagi ke bagian pembuka, ini kemasan
yang tidak percaya diri, terlalu berlebihan dalam keputusan bermain aman agar
tidak menjadi sebuah kemasan yang berlebihan.
Satu-satunya hal
yang mengejutkan dari Lovelace adalah
penampilan dari Amanda Seyfried, yang
dengan ruang dan kesempatan begitu sempit, serta materi yang tidak begitu kokoh,
at least masih mampu mempertahankan daya tarik dari tokoh utama sejak awal
hingga akhir. Peter Sarsgaard juga
cukup baik, terutama pada ekspresi layaknya seorang psikopat yang terus ia
hadirkan. Robert Patrick dan Sharon Stone juga mampu menunjukkan
dilema dari cinta dan benci pada sisi orang tua, bahkan andai saja keterlibatan
mereka sedikit lebih besar cerita mungkin akan sedikit lebih menarik, ketimbang
berputar-putar pada proses syuting yang monoton. Sedangkan James Franco adalah pilihan yang kurag tepat untuk Hugh Hefner.
Overall, Lovelace adalah film yang kurang
memuaskan. Lovelace adalah sebuah
dongeng dimana anda hanya duduk dan mengamati tanpa harus berpikir terlalu
jauh. Cara tersebut memang tidak salah, asalkan mampu terus tampil dinamis dan
intens, hal yang tidak dimiliki Lovelace.
Ini dibuka dengan aman, ditutup dengan aman, namun keduanya dihubungkan dengan
kekacauan yang cukup dangkal akibat rasa ragu yang sudah ia tunjukkan sejak awal.
ngk tau siapa itu linda lovelace sampe nntn film ini :-P yep...film ini seharusnya lbh mengangkat isu KDRT dan exploitasi terhadap perempuan tapi sayang cuma dibahas sedikit diakhir film :-(
ReplyDelete