“I don't believe in bad luck.”
Apakah anda
pernah mengalami situasi seperti berikut, melakukan rutinitas berisikan
aktivitas yang secara berkala terus membuat anda merasa tenang dan nyaman,
namun suatu ketika harus menjauh dari hal tersebut, mulai kehilangan irama dan
merasakan hadirnya tekanan. Anda akan menemukan situasi tadi pada The Iceman, dimana seorang pria
berkeluarga yang berperawakan tangguh namun punya karakter yang dingin mulai
mengalami gejolak ketika ia harus menghadapi gejolak pada keahliannya, membunuh.
Mereka bertemu
di sebuah restoran, duduk bersama di satu meja dalam suasana yang canggung. Richard Kuklinski (Michael Shannon),
pria asal Polandia yang mengaku bekerja sebagai pengisi suara kartun Disney,
seperti kebanyakan pria dengan perawakan tenang berhasil menjadikan dirinya
tampak seperti sebuah misteri, hal yang kemudian menarik perhatian dari wanita
yang duduk didepannya, Deborah (Winona
Ryder), yang kemudian menjadi ibu dari kedua putri tercintanya yang Richard
sekolahkan di sebuah sekolah swasta Katolik, Anabel (McKaley Miller ) dan Betsy
(Megan Sherrill).
Celakanya
Richard telah terlanjur bergabung bersama seorang boss mafia bernama Roy DeMeo (Ray Liotta), dan bertugas
sebagai hitman. Profesinya sebagai
pembunuh bayaran berdarah dingin itu tidak Richard beritahukan kepada
keluarganya. Pria pemalu yang penuh karisma itu sangat yakin bahwa hal tersebut
bukan merupakan masalah yang besar, namun suatu ketika harus menelan pil pahit
karena hal tersebut akhirnya menjadi boomerang yang menyerang dirinya,
menghadirkan rasa takut dan cemas, mulai mengusik dirinya yang selama ini
dijuluki sebagai seorang pria yang sedingin es.
Michael Shannon
adalah salah dari deretan aktor yang bukan hanya mampu menjadikan karakter yang
ia mainkan tampak tangguh dan kokoh pada konflik bertemakan kekacauan, namun
juga sanggup membuat penontonnya yakin bahwa karakter itu bukan hanya tangguh
dari sisi luar saja, membentuk ia agar tampak hidup, hingga penonton akhirnya
terpaku. Hal tersebut merupakan kesuksesan terbesar yang dimiliki oleh The Iceman, dimana Ariel Vromen seperti tahu betul bagaimana menggunakan kelebihan
dari Shannon tadi untuk membangun script yang ia susun bersama Morgan Land dari sebuah kisah nyata
seorang hitman bernama Richard Kuklinski
ini.
Yap, awalnya ini
sangat menjanjikan, bagaimana dengan cara lugas tanpa mau mengulur terlalu
banyak waktu Vromen langsung membawa penontonnya kedalam kisah asmara yang
diulas singkat serta keluarga yang berjalan beriringan dengan suatu fakta yang
masih dibungkus rapat oleh Richard. Hebatnya disini adalah anda akan dengan
mudah mengetahui fokus apa saja yang ingin ia sampaikan, dari konflik personal,
konflik keluarga, dan konflik eksternal. Bahkan sempat timbul sebuah harapan
yang lebih besar ketika The Iceman
perlahan mulai menghadirkan sentuhan studi karakter kedalam cerita.
Akan tetapi hal
tersebut awal dari momen yang merusak. Ariel
Vromen terlalu fokus pada membangun karakter. Karakternya memikat, itu
pasti, namun dari sisi cerita film ini seperti hidup segan mati tak mau. Ia
sibuk melemparkan isu secara acak, kuantitas yang terlalu banyak, dan akhirnya
menumpuk tanpa penjelasan skala kecil sekalipun. Penonton seperti digantung,
menunggu dan menyaksikan aksi kejahatan, sedangkan ia sibuk dengan sisi studi
karakter (yang tidak digali lebih dalam), menjadikan misi isu yang ia tampilkan
lebih tampak seperti sebuah kemasan tanpa motivasi yang kuat.
Loncatan
peristiwa dan waktu juga menghambat kisah ini untuk menjadi sebuah kemasan
padat, dangkal. Banyak subplot lemah yang secara mendadak masuk kedalam cerita
namun mengganggu, kita tidak tahu ia datang dari mana, tidak mampu memberi
impact yang kuat pada cerita. Kehadiran mereka terasa dipaksakan, tanpa
motivasi yang jelas, sebut saja kehadiran James
Franco yang hanya digunakan untuk menunjukkan peran Tuhan dalam kehidupan.
Tidak lantas menjadi hancur memang, bahkan The
Iceman dari segi script tersusun cukup baik hingga akhir, namun bergerak
mondar-mandir bersama materi yang samar seperti itu menciptakan rasa monoton
pada konflik utama.
The Iceman perlahan berubah menjadi sebuah drama
kejahatan yang lembek, kurang total. Bergerak lambat, dibeberapa titik terkesan
random (editing yang payah), mulai bertele-tele dan bergerak jauh dari kesan
dinamis, dan ketika momen dimana sensasi itu harus hadir penonton hanya akan
bergumam, “oh, begitu.” Yap, ini terlalu tenang untuk sebuah film bertemakan
kejahatan, bukan berarti untuk tampil memikat ia harus menghadirkan adegan aksi
penuh keributan, namun untuk membuat para penontonnya terus merasakan keberadaan
tekanan yang menyelimuti cerita dan karakter saja ia tidak berhasil.
Titik terkuat
adalah divisi akting (sepertinya minggu ini saya mendapatkan film dengan
kualitas akting yang mumpuni). Michael
Shannon tetap mampu memikat walaupun materi yang ia punya sesungguhnya
sangat terbatas, dan ledakan yang ia hasilkan kurang memuaskan. Karakter yang
terluka pada emosional serta batin dan terus diselimuti rasa khawatir berhasil
dibangun dengan baik oleh Shannon. Begitupula dengan Winona Ryder, lewat seorang istri setia yang selalu mendukung
padahal ia adalah sosok yang rapuh. Ray
Liotta kurang mendapatkan kesempatan untuk menebar tekanan, dan Chris Evans sukses membuat saya tertipu.
Overall, The Iceman adalah film yang cukup
memuaskan. Sesuai dengan judul yang ia punya, The Iceman cukup mampu menggambarkan bagaimana sosok yang tenang
kemudian menghadapi tekanan dan perlahan meledak, dibantu dengan performa akting yang memikat. Sayangnya ledakan yang ia
hasilkan kurang memikat, kurang mempesona, terlalu datar, semua akibat
keputusannya untuk membagi fokus pada pertumbuhan karakter dalam masalah yang
sayangnya kurang dinamis dan akhirnya menggerus kualitas konflik utama.
0 komentar :
Post a Comment