"Every revolution begins with a spark."
I am a Tribute, that’s for sure. Namun anehnya
antusiasme pada film kedua dari TheHunger Games ini sejak awal sesungguhnya tidak begitu besar, karena imo Catching Fire adalah buku paling lemah
di antara dari tiga novel karya Suzanne
Collins. Catching Fire hanya berisikan pengulangan dengan bumbu trik
politik, ibarat sebuah jembatan yang menghubungkan The Hunger Games dengan
ledakan besar pada Mockingjay. Hal
tersebut juga akan dihadirkan oleh The
Hunger Games: Catching Fire, sebuah memorable popcorn movie yang di
eksekusi dengan penuh rasa percaya diri, surprisingly
become a solid and full enjoyment ride, nearly awesome.
Tindakan Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) yang
seperti berupaya untuk menunjukkan cintanya pada Peeta Mellark (Josh Hutcherson) saat babak akhir The Hunger Games ke-74 lalu mungkin
telah berhasil mengaduk-aduk emosi penduduk Capitol,
namun hal tersebut tidak berlaku pada Presiden
Snow (Donald Sutherland). Sebuah upaya terselubung untuk menghidupkan
kembali pemberontakan, itu penilaian Snow pada aksi Katniss, yang kemudian
mencoba untuk mencegah semakin besarnya api yang telah tersulut itu dengan
memerintahkannya menunjukkan pada seluruh Panem
bahwa ia benar-benar mencintai Peeta pada parade pemenang yang diadakan
mengelilingi negeri.
Tidak cukup
sampai disitu, dengan mengganti gameskeeper
yang kini ia berikan pada Plutarch
Heavensbee (Philip Seymour Hoffman), Snow memanfaatkan momentum perayaan
The Hunger Games setiap 25 tahun sekali (Quarter Quell) sebagai jalan lain, mengumpulkan
kembali para pemenang dari tiap distrik kedalam arena. Masih dibawah bimbingan Haymitch Abernathy (Woody Harrelson) dan
Effie Trinket (Elizabeth Banks),
serta support dari Cinna (Lenny Kravitz),
Katniss dan Peeta kembali ke arena, namun kali ini bukan hanya mengusung misi
untuk sekedar bertahan hidup, tapi sebagai simbol dalam sebuah indirect fight dengan Presiden Snow
untuk memperebutkan api yang telah tersulut, padam atau terbakar semakin besar.
Sulit untuk
berupaya agar terus dapat bersikap objektif secara mendetail dalam menilai The Hunger Games: Catching Fire, karena
sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri pasti akan ada kepuasan tersendiri
ketika apa yang selama ini anda baca berhasil di transfer secara tepat sasaran
kedalam bentuk visual yang menyenangkan, membuat anda kembali membuka memori
dari tiap lembar yang pernah anda baca. Itu yang berhasil diberikan oleh The Hunger Games: Catching Fire (THG: CF).
Francis Lawrence yang kini mengambil
alih kendali utama berhasil menjadikan petualangan kedua ini sebagai sebuah
blockbuster yang straightforward, bermain dengan materi klasik tanpa terkesan
bodoh (ups, sorry).
Ini seperti
menyaksikan dua paket dalam satu kemasan. Francis
Lawrence masih menggunakan formula standard dari cara menjual kisah cinta
khas Hollywood, cinta segitiga,
termasuk di dalamnya kissing scene yang kuantitasnya cukup mengejutkan, hingga tidak meninggalkan permainan ambiguitas. Namun apa yang menyebabkan THG: CF tidak jatuh menjadi sebuah
kemasan murahan adalah ia tetap fokus pada misi utama, menghadirkan sebuah
propaganda tentang kejamnya sistem dan tatanan sosial saat ini, yang dikemas dengan dominasi nada suram. Francis
Lawrence pintar memanfaatkan karakter yang ia miliki untuk menyampaikan
semua pesan kecil, menjaga momentum dan dinamika pergerakan cerita, memberikan
sentuhan humor yang tepat dan kemudian menghujam penontonnya dengan kejutan,
baik itu pada visual dan cerita.
The Hunger Games: Catching Fire memperoleh
keuntungan dari keputusannya untuk setia pada novel. Ini bertumbuh,
menghadirkan perkembangan dari pendahulunya. Dasarnya masih sama (sekali lagi,
Catching Fire adalah sebuah pengulangan dengan sentuhan aksesoris baru), namun
semua materi yang sudah ada kini terasa semakin dalam dan kompleks. Dibiarkan
berjalan lambat oleh Francis Lawrence,
ia ingin penontonnya terjerat semakin dalam pada konflik dengan penindasan sebagai
tema utama itu, arena pertarungan sebagai penggambaran dunia yang mengerikan,
kegembiraan bersama kemewahan dibalik kematian jiwa miskin tak berdosa, rasa takut
yang justru menghambat terjadinya hal yang benar, gotong-royong, sebuah
perjudian dan investasi jangka panjang untuk dua film selanjutnya.
Memang pasti
akan ada yang menilai film ini terasa underwhelming, terlalu sibuk membangun konflik
(satu jam lebih) dan kurang peduli pada bagian pertarungan. Hal tersebut akan
membuat elemen pertarungan seperti kurang padat, kurang kompleks, dan terkesan
terlalu cepat. Namun seperti yang saya singgung sebelumnya, The Hunger Games: Catching Fire sendiri
hanya punya satu tugas utama, dan itu tunggal, sebagai sebuah jembatan
penghubung antara film pertama dengan dua bagian finale, yang menurut saya
merupakan bagian terbaik dari trilogy ini. Jika menaruh tugas tersebut
sebagai fokus utama, sebagai sarana untuk menjalankan upaya mereka membawa
penontonnya masuk kedalam sebuah pertarungan besar, THG: CF berhasil
menjalankan tugasnya pada level yang memuaskan.
Script menjadi
salah satu kunci utama kesuksesan THG: CF. Ya, gold will always be a gold, film
ini sangat terbantu oleh kombinasi dua sosok kelas Oscar yang pernah berada
dibalik kesuksesan film semacam Slumdog
Millionaire, 127 Hours, Little Miss Sunshine, Toy Story 3, dan Brave. Simon Beaufoy dan Michael
Arndt kembali membuktikan kepiawaian mereka, berhasil menerjemahkan novel
dengan sedikit modifikasi namun tidak kehilangan irama cerita, pintar memilih
setiap point penting yang perlu digali sedikit lebih dalam, menjadikan narasi
dan alur cerita terus bergerak halus sehingga sangat mudah dipahami bagi
penonton umum. Mereka juga tahu bagaimana menciptakan
ruang bagi karakter untuk bermain dengan sisi emosional dan romantisme, elemen
yang meskipun kurang kuat namun semakin memperkokoh tema utama dan menambah
kekayaan karakterisasi.
Cukup satu kata
untuk menyederhanakan performa dari divisi akting yang dimiliki The Hunger Games: Catching Fire,
gemilang. Jennifer Lawrence berhasil
memanfaatkan kondisi dari karakternya yang sudah terbentuk, kemudian membangun
Katniss agar semakin kuat, terasa dekat dengan penonton, rebellion dan
heroism yang memikat, serta menjauhkan manipulasi romansa agar tidak terlalu
overdo. Kinerja pemeran dibelakang J-Law tidak kalah cemerlang, bahkan sulit
untuk memilih posisi kedua. Walau minim Josh Hutcherson dan Liam Hemsworth masih berhasil menjaga nafas cinta segitiga, dan ada
sekurangnya delapan karakter sekunder yang selalu mampu memanfaatkan bagian
mereka untuk mencuri perhatian dan tetap berkontribusi pada pergerakan cerita, Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Donald Sutherland,
Sam Claflin, Jeffrey Wright, Jena Malone, Philip Seymour Hoffman, dan tentu saja Stanley Tucci.
Overall, The Hunger Games: Catching Fire adalah
film yang memuaskan. Film ini dengan penuh rasa percaya diri berhasil menghadirkan eksekusi yang menjauhkan
pengulangan dari materi miliknya dari jurang kehancuran, memang tidak memberikan
sebuah loncatan dalam skala yang sangat besar pada sektor kualitas, namun
berhasil menciptakan sebuah pertumbuhan yang memikat, semakin provokatif lewat
cara implisit dan menawan, semakin memperdalam kekuatan dari karakter serta
konflik sebagai persiapan bagi dua hidangan penutupnya. Oh, Catnip, Mockingjay!!
membuat anda kembali membuka memori dari tiap lembar yang pernah anda baca , maaf tanpa tanda petik karena keyboard saya error hehe, tapi ini memang bener, sesuai judulnya sayapun jadi lapar juga meskipun udah tamat baca novelnya. benar2 apik!!! percintaanya gak dipaksakan ,benar2 pas, dan aktingnya brilian! entah kenapa saya sangat PUAS! dengan catching fire!
ReplyDeleteatas segala keterbatasan saya yg baru benar2 menonton film ini atau bahkan belum pernah membaca novelnya ini adalah sajian yg sulit dimengerti, meskipun cukup menggugah pada level pertarungan tp down kembali d penutupan,
ReplyDeletePada novelnya juga memang ending seperti di putus paksa, jadi ketika di terjemahkan ke film bagi penonton umum akan terasa antiklimaks, karena tujuan bagian kedua sejak awal memang hanya untuk memperdalam karakter dan konflik untuk masuk kedalam Mockingjay. Mereka sukses jika penonton semakin mengerti alur konflik umum yang akan dihadapi karakter utama nantinya. :)
DeleteYap, ini persis sekali seperti novelnya. Pengembangan karakter paling berasa diantara kedua film ini sebenernya Prim. Prim di film pertama dan prim di film kedua jauh sekali. Overall saya lebih suka katniss di film CF daripada di novelnya. Di novel CF katniss terasa lebih 'galau' dan g tentu arah. Can't wait for the sequel!
ReplyDeleteAh iya, sampai lupa bahas Prim, banyak membantu emosi Katniss juga secara gak langsung. Benar, di film Katniss terasa lebih tangguh, “galau” itu yang bikin novel kedua jadi sedikit lemah. :)
Deleteawesome.....thanks min :)
ReplyDeleteLook at this blog! Getting crowded eh? Still got room for me, min?
ReplyDelete:))))
A lot bro. :)
DeleteGood review. Good Job, bro!
ReplyDeleteYa ampun. Hunger Games ini film paling boring y pernah gw tonton. Malah sejak saat itu, jadi semacam cambuk bwt gw untuk berhenti berekspektasi sama film yang hypenya tinggi. Mungkin faktor para die hard fansnya JL waktu itu yang bikin semangat empatlima buat ikut nonton, apalagi HG pertama lumayan meyakinkan. Yah, sudahlah. Maaf y min, komen ini ga nyinggung siapa2 kan
ReplyDeleteSetuju...antiklimaks..alias gak mudeng...
DeleteDari internal ngak ada yang tersinggung kok, saya pribadi belum melabeli diri sebagai die hard fans J-Law, tapi ngak tahu kalau dari eksternal, mungkin ada. Hehehe.
DeleteCatching Fire ini emang agak risky sih, karena pendekatan yg dipakai tidak super mainstream, jadi sedikit menjurus ke take it or leave it, mereka yang klik bakalan makin terjebak lebih dalam, tapi pasti ada juga yang tidak/kurang klik dan mulai mundur perlahan.
Dijelaskan secara detail sulit ya, karena untuk film adaptasi seperti ini bohong banget kalau menilai ngak pakai sisi subjektif sedikitpun, terlebih untuk yang baca novelnya.
Oh iya, saya ada buat penjelasan sederhana untuk keluhan semacam antiklimaks dll di paragraf tujuh, silahkan di cek kembali mungkin aja terlewatkan. Thanks. :)