Apakah hal
sederhana ini pernah terlintas di pikiran anda, sebuah kondisi dimana kelak
ketika berada pada usia senja anda sudah tidak lagi memiliki pasangan hidup,
semua anak anda sudah hidup mandiri, menikah dan menjalani kehidupan
masing-masing, mulai kekurangan perhatian dan perlahan merasa kesepian.
Mengerikan bukan? Wakil dari negara Chile
pada pertarungan Best Foreign Language
Film Oscar 2014 ini mencoba menggambarkan konsep tersebut, sebuah studi
karakter yang dipenuhi dengan observasi mengasyikkan, Gloria.
Gloria Cumplido (Paulina García), wanita tua ini
punya jiwa yang sebenarnya kurang cocok untuk menggambarkan usianya yang telah
58 tahun itu. Gloria bernyanyi didalam mobil dengan riang gembira, hingga
menari yang kerap ia gunakan sebagai sarana untuk menarik perhatian para pria.
Ya, wanita yang menyandang status janda ini merupakan sosok yang kesepian,
semua merupakan dampak dari ironi dimana ia tidak lagi memperoleh feedback dari
perhatian yang ia berikan pada kedua anaknya, Pedro (Diego Fontecilla) dan Ana
(Fabiola Zamora), yang kini telah hidup mandiri.
Suatu malam Gloria bertemu dengan Rodolfo Fernández (Sergio Hernández),
seorang mantan perwira angkatan laut yang kini harus terus menggunakan korset.
Hubungan intim dengan cepat dan singkat terbangun diantara mereka, namun
celakanya Rodolfo yang juga merupakan seorang duda masih belum mampu lepas dari
jeratan ketergantungan anak dari pernikahannya terdahulu. Hubungan mereka
bahkan masih dijadikan sebuah rahasia oleh Rodolfo, hal yang kemudian semakin menghadirkan
rasa ragu pada Gloria terkait komitmen dari Rodolfo. Namun uniknya petualangan
tersebut juga menjadi kesempatan bagi Gloria untuk memahami dirinya sendiri.
Gloria bukanlah sebuah film yang rumit, ini
hanya kumpulan isu-isu menarik yang mayoritas berada dalam level umum, dengan
menggunakan cara mencoba mengeksplorasi hasrat dari seorang wanita tua kesepian
yang belum mampu lepas dari semangat muda yang ia miliki, yang juga menjadi
penyebab dari upaya ia untuk lepas dari kurungan batin yang menyakitkan
(Skeleton dance yang menyayat hati itu). Sederhana, bagaimana ketika wanita
yang kerap kali digambarkan sebagai sosok yang menggunakan perasaan dalam
mengambil tindakan harus menghadapi gejolak pada kehidupan seorang diri di hari
tuanya.
Benar, sederhana,
namun script yang ditulis oleh Sebastián
Lelio bersama Gonzalo Maza ini
justru terasa berat di dalam. Ini seperti menyaksikan kombinasi antara drama
dan sedikit komedi yang dijalankan dengan nafas tragedi penuh ironi. Tampak
ringan di luar, namun kompleks didalam. Sebastián
Lelio berputar pada konsep kematangan dan konsistensi individu, dikemas
dalam narasi yang padat dan efisien, menciptakan intimitas yang kuat dari
sebuah studi karakter yang dijalankan dengan cermat. Anda diajak bergembira
dalam tawa dan lagu mengasyikkan, kemudian masuk ke momen penuh rasa kecewa,
kombinasi memikat keduanya akan membuat penonton berakhir pada proses
membandingkan yang hebatnya selalu meninggalkan pesan menarik.
Film ini bahkan
sebenarnya tidak punya sebuah jalur yang jelas dengan garis finish di
penghujung cerita, ia juga punya banyak bagian yang mungkin akan terkesan
bertele-tele dan tidak menciptakan perkembangan yang berarti pada cerita. Namun
di situ justru kunci dari kenikmatan yang Gloria
berikan, Sebastian Lelio ingin
menciptakan ruang agar penontonnya dapat dengan seksama mengamati pertumbuhan
dari karakter utama, memahami setiap tindakannya yang uniknya berhasil
menggambarkan sisi gelap dan terang dari banyak fakta yang punya peluang cukup
besar untuk berputar pada pikiran setiap orang.
Gloria semakin terasa nikmat karena semua hal
tadi di bangun dengan cara yang ringan, bahkan untuk konflik berat sekalipun.
Petualangan singkat yang bergerak dalam tempo yang dinamis itu dengan cerdas
berhasil menciptakan begitu banyak isu lewat pertanyaan, contohnya seperti
“apakah dua orang yang masing-masing pernah gagal dalam pernikahan mereka dapat
bersatu dalam kebahagian?” atau “apakah anda harus memiliki pasangan untuk
merasa bahagia?” Ia bahkan sanggup memprovokasi kaum muda dengan cara implisit
yang memikat perihal seberapa besar kasih dan cinta mereka kepada orang tua,
apakah mereka pernah merasa khawatir sama seperti apa yang orang tua mereka
selalu rasakan pada mereka.
Ya, Gloria berhasil menggambarkan bagaimana
kehidupan setiap manusia tidak sesederhana yang mereka pikirkan, kompleks, dan
terus belajar dengan bermain bersama sensitifitas pada opsi serta kehancuran
yang muncul dari tindakan ceroboh. Ini bahkan mampu menjadi alarm bagi kaum
muda lewat penggambaran masa tua yang tidak indah dan mungkin akan mulai
menyusun rencana masa depan, namun juga tidak lupa menyentil kaum lanjut usia
contohnya dengan satu pernyataan sederhana, “anda tidak dapat selamanya merasa
muda.” Semua disampaikan lewat proses mengamati, jauh dari kesan menggurui, dan
dikemas dengan lembut, jujur, cerdas, lucu, dan menyenangkan.
Elemen lain yang
membuat film ini terus hidup dan menarik hingga akhir padahal isu dan konflik
yang ia bangun tidak begitu megah adalah kemampuan Paulina Garcia membentuk sosok Gloria
menjadi sangat-sangat menarik. Ia berhasil membuat penonton terus menaruh
simpati dan empati pada konflik dan gejolak batin yang dialami oleh Gloria,
menyampaikan perasaan yang ia miliki hanya dengan cara sederhana seperti
ekspresi wajah dan tawa kecil, dan tidak ada satupun bagian dimana ia tampak
overdo dalam membangun karakternya. Memukau.
Overall, Gloria adalah film yang memuaskan. Ketika ia berakhir, film ini terasa seperti sebuah
hiburan yang biasa, namun ketika mencoba mengulas kembali semua pesan tentang
kehidupan bagi kaum muda dan tua dalam skala kecil yang ia tinggalkan di banyak
bagian, menyatukan mereka dengan konsep utama, saya merasa penilaian awal tadi
adalah sesuatu yang memalukan. Gloria
bukanlah sebuah petualangan dimana anda akan memperoleh angka sepuluh yang utuh
di garis finish, namun sebuah proses mengumpulkan banyak point kecil di
sepanjang cerita melalui observasi karakter utama, kemudian merangkai mereka di
akhir cerita. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment