Tahun 2013
sebenarnya bukan tahun yang menyedihkan bagi film animasi. Mike dan Sulley kembali
dalam Monsters University, Gru dan para Minion pada Despicable Me 2,
dan juga The Croods bersama tampilan
visualnya yang indah. Namun tidak ada satupun dari karya Hollywood itu yang
berhasil mengukuhkan dirinya sebagai front runners untuk meraih status terbaik
tahun ini. Penantian itu telah berakhir, Frozen (so far) adalah film animasi terbaik tahun ini, kemasan klasik yang sederhana, ringan, cerdas, dan indah. Adorable.
Anna (Kristen Bell), anak perempuan
berusia lima tahun dengan penuh semangat naik ke atas ranjang kakaknya yang
berusia tiga tahun lebih tua, Elsa (Idina
Menzel). Keinginan Anna sederhana, ingin menghabiskan waktu bersama,
bersenang-senang di ruangan istana dengan bermain salju hasil kekuatan sihir
yang dimiliki Elsa. Namun karena terlalu enerjik dan lepas kendali satu
kecelakaan terjadi, hanya terjatuh memang, namun ternyata sihir yang dapat
merubah segala sesuatu menjadi es itu tepat mengenai kepala Anna. Hanya ada
satu cara untuk menyelamatkan nyawa Anna, dengan menghapus semua memori kelam
dari ingatannya.
Akibat insiden
itu pula, dan juga sebagai upaya perlindungan, Elsa terpaksa harus terus berada
dalam satu ruangan dan di asingkan dari dunia luar, termasuk Anna. Hal tersebut
menyebabkan ketika dewasa disaat ia hendak dinobatkan sebagai ratu kerajaan Arendelle, rasa asing, cemas, dan takut
pada diri Elsa mulai pecah. Berawal dari sebuah kejutan yang bersumber dari Hans (Santino Fontana), Elsa mulai lepas
kendali, lari kehutan, dan meninggalkan kerajaan bersama bencana musim dingin
dadakan, hal yang kemudian memaksa Anna untuk bergerak menemukannya, bersama
dua teman barunya Kristoff (Jonathan
Groff) dan Olaf (Josh Gad).
Sejujurnya
selalu masih ada sedikit rasa kesal dan kecewa pada kegagalan Wreck-It Ralph meraih singgasana
tertinggi pada kategori film animasi di Oscar
tahun ini, sampai hari ini. Ya, sampai hari ini, karena Frozen mengobati rasa kesal tersebut, sebuah kemasan milik Disney yang berhasil
menutup kelemahan yang menjadi penyebab kegagalan kemasan kokoh dan menawan
yang mereka miliki tahun lalu itu dalam meraih singgasana tertinggi Oscar:
pesan utama yang harus fokus dan intim, serta karakter yang ikonik dan dapat
menjadi pahlawan serta idola baru. Frozen seperti menggabungkan Tangled bersama alur gerak cepat milik Wreck-It Ralph, yang kemudian ditemani
karakter dan konflik dengan tipikal Disney
klasik layaknya Beauty and the Beast.
Chris Buck dan Jennifer
Lee sejak awal memang terkesan memilih bermain aman tanpa berupaya keras
untuk menciptakan identitas baru yang kuat bagi film ini, mereka hanya melakukan
modifikasi pada pattern dan formula yang sudah pernah Disney lakukan, yang celakanya justru memberikan dampak yang manis.
Cerita yang mereka tulis ulang bersama Shane
Morris dari buku berjudul The Snow
Queen karya Hans Christian Andersen
ini bahkan dibentuk dengan cara konvensional, teknik bercerita yang familiar
bahkan terkesan kuno, namun sentuhan memikat dan efektif di banyak bagian
kemudian menjadikan berbagai hal klasik dan sederhana berubah menjadi sebuah
kesatuan penuh makna dan rasa gembira.
Frozen adalah film animasi yang berani, dan
cerdas. Secara mengejutkan ia mendorong unsur musikal ke baris terdepan, dimana
Disney yang sudah identik dengan
warna cerita pop kini muncul dengan nafas broadway
yang elegan, menghadirkan beberapa perbincangan antar karakter layaknya
panggung teatrikal seperti yang dilakukan oleh Les Misérables, penuh lirik yang catchy, jenaka, pintar, namun
tetap berada dalam struktur yang rapi berkat kinerja memikat dari Kristen Anderson-Lopez dan Robert Lopez. Kokoh, ia tidak hanya
berhasil menjadi arena buat para karakter berekspresi, namun juga membuat
penontonnya merasa semakin dekat dengan mereka, ikut menikmati irama ketika
lagu muncul, mencintai karakter, menaruh simpati, hingga ingin mereka berhasil
ketika kejutan lain muncul.
Frozen penuh kejutan klasik yang dibentuk
dengan manis. Ini bukan sebatas kisah tentang si baik melawan si jahat, bahkan
tidak ada tokoh antagonis utama dalam cerita, Frozen sengaja dibiarkan bergerak bebas bersama kejahatan yang
disuntikkan dalam bentuk personal, menghadirkan proses pembelajaran dari
karakter untuk tumbuh dan menemukan jati diri mereka, well, seperti Brave. Semua dibentuk dalam sentuhan
yang detail, tetap ringan, namun selalu terkontrol, dimana anda diajak
bersenang-senang namun tetap ingat fokus utama dari konflik yang ia tawarkan.
Hebatnya ia tidak rumit, sangat mudah di ikuti serta tidak membebani
penontonnya, dimana isu persaudaraan dan cinta sejati tetap dikemas seperti
sebuah dongeng anak-anak yang menjadi ciri khas Disney, indah dan sederhana.
Memang di
beberapa titik sedikit kurang intens, namun Chris
Buck dan Jennifer Lee tahu
bagaimana memainkan momentum untuk menciptakan dinamika yang menarik pada alur
cerita yang sejak awal terus bergerak halus. Akan ada kesan dimana cerita
bergerak mondar-mandir, dan berjalan sedikit terburu-buru, namun secara
kesatuan utuh ini solid. Tidak ada alur di sengaja yang konyol dan tidak
berguna, Frozen tahu bagaimana cara
yang tepat dan efektif untuk sedikit menjadi konyol dan lucu tanpa akhirnya
terkesan menjengkelkan dan overdo.
Bahkan sedikit paksaan dan pergeseran fokus yang ia suntikkan juga diselipkan
dengan rapi dan implisit sehingga tidak mengganggu, dan tetap tidak kehilangan
cengkeraman kompleksitas emosional dari karakter sehingga menciptakan kedalaman
yang memikat, unsur yang sebenarnya kurang begitu menjadi ciri Disney, fast & fun.
Tampilan visual
merupakan kekuatan lainnya. Dalam tiga kata: cerah, meriah, indah. Dari butiran
dan badai salju, permainan es, hingga bangunan dan kostum dari para karakter,
memikat. Mereka bukan hanya sebatas eye
candy yang berupaya menggoda penontonnya, namun juga menambah kekayaan dari
nyawa dan nafas cerita karena diolah dengan cantik dan detail. Saya sangat suka
pada ekspresi dari karakter, mereka tidak sederhana, movement yang kompleks
namun tetap tampak nyata, apalagi setelah berkombinasi dengan score karya Christophe Beck yang juga cantik. Yang
mencuri perhatian di bagian ini justru adalah sajian pendek pembuka, kartun
tradisional hitam putih Mickey Mouse
berjudul Get A Horse yang masih diisi
oleh suara Walt Disney, keren.
Departemen vokal
tidak kalah impresif. Tidak ada nama besar diantara mereka, karena Frozen ingin
benar-benar mendapatkan kualitas vocal yang kokoh untuk memikat penonton
ketimbang menggunakan reputasi para aktor untuk meraih atensi sesaat. Konsep
panggung teatrikal broadway berhasil dieksekusi dengan baik, Idina Menzel tampil cemerlang dan kuat,
menjadikan Let It Go, yang walaupun
kurang begitu powerfull layaknya A Whole New
World bahkan I See The Light
milik Tangled, berhasil menemani disaat bersenandung. Josh Gad juga mampu memanfaatkan bagiannya, baik itu pada eksekusi In Summer, juga membentuk Olaf menjadi
sangat menghibur tanpa menjadi menjengkelkan. Namun yang paling mengejutkan
adalah performa Kristen Bell, surprise.
Overall, Frozen adalah film yang memuaskan. Frozen adalah sebuah karya penuh materi
klasik yang dimodifikasi dengan gemilang. Masih dengan konsep fast & fun,
penuh tampilan visual yang eye candy, meriah dan indah, diiringi musik catchy
dengan sentuhan lirik yang cerdas, alur cerita yang ringan dan tidak sulit
untuk diikuti, namun tetap mampu menghadirkan kehangatan dari pesan utama
dengan tema cinta dan keluarga. Setidaknya untuk saat Disney
aman berada di posisi terdepan, dan akan menjadi sesuatu yang sangat sangat
mengejutkan jika kasus Wreck-It Ralph
(yang imo lebih baik ketimbang Brave)
tahun lalu terulang kembali, dan harus jatuh ditangan salah satu animasi
Hollywood sebelumnya. Well done Disney!
0 komentar :
Post a Comment