Apa konsep dari
sebuah film animasi bagi anda sekarang ini? Mayoritas pasti akan menyertakan
hal ini, visual yang hangat dan memanjakan mata, lelucon yang menghibur,
kemudian kombinasikan mereka dengan cerita yang ringan. Film ini justru
merupakan kebalikan dari tiga faktor tadi, visual kontemporer yang sangat
ringan, lelucon yang cukup menghibur, namun ia berhasil pada elemen yang kurang
mampu di eksekusi dengan baik oleh semua film animasi pada tahun 2013 sejauh
ini, cerita yang hangat. Ernest &
Celestine (Ernest et Célestine), a
heartwarming traditional animation, simple, loveable.
Setiap malam
menjelang tidur sekelompok tikus muda yatim piatu harus merelakan sedikit waktu
mereka untuk mendengarkan cerita dari ibu penjaga, situasi yang selalu mereka
anggap sebagai sesuatu yang menakutkan, padahal hanya berisikan pengulangan
cerita mengenai betapa berbahayanya beruang bagi eksistensi habitat mereka.
Sayangnya doktrin mengenai sistem takut pada beruang yang tinggal pada kota
tepat diatas mereka tersebut tidak berlaku bagi Celestine (Pauline Brunner), menganggap cerita itu adalah sebuah
dongeng yang membosankan.
Benar, tidak
seperti sahabatnya, Celestine lebih
memilih menggunakan waktu tersebut pada hobby menggambar miliknya yang timbul
karena rasa penasarannya pada dunia luar. Suatu ketika ia bersama dua temannya
masuk kedalam kota yang dihuni para beruang, untuk menjalankan misi yang
berkaitan dengan gigi. Akan tetapi perjalanan pulang Celestine tidak berjalan
mulus, yang kemudian menjadikan ia bertemu dengan Ernest (Lambert Wilson), pengangguran yang setiap harinya bermain
musik di tengah kota, seekor beruang yang selalu kelaparan.
Dia mungkin
adalah sebuah film animasi, namun Ernest
et Célestine termasuk salah satu film di tahun ini yang berhasil membangun
keberanian yang ia miliki dengan cara yang cerdas. Seperti yang disebutkan pada
bagian pembuka film ini mengambil langkah berani dengan tampil lewat cara
tradisional, tidak ada efek kelas berat, ia mencoba membuat anda berimajinasi
dengan cara yang mungkin akan mulai terasa kurang familiar bagi penonton
sekarang ini. Lembut, itu kata kunci untuk film ini, dimana polesan cat air
dalam proses ilustrasi yang awalnya akan terasa sedikit canggung itu perlahan
melangkah dengan kokoh membawa penontonnya kedalam petualangan singkat yang
menyenangkan.
Yap, kokoh,
empat tokoh kunci dibalik layar, Stéphane
Aubier, Vincent Patar, Benjamin Renner, dan Daniel Pennac sepertinya sejak awal telah sepakat dengan konsep
yang akan mereka usung, mencoba membentuk cerita, yang berlandaskan sebuah buku
anak-anak karya Gabrielle Vincent,
menjadi layaknya sedang membaca buku dongeng. Ini seperti menyaksikan lukisan
yang bergerak, berisikan kekacauan konflik dibangun dengan narasi yang manis,
bergerak mondar-mandir dalam tempo yang dinamis, namun sepanjang penampilannya
selalu mampu membuat penonton tersenyum dan terpaku kagum sembari bergumam,
“wah, ini cantik, ini elegan.”
Sederhana
memang, konsepnya bahkan hanya sebatas bagaimana dua sosok yang dapat dikatakan
berbeda dan tidak mungkin bersatu, berada dalam zona buangan, namun dengan jiwa
mereka yang bebas justru menemukan cara menikmati hidup agar terasa
menyenangkan. Yang menjadikan Ernest et
Célestine menarik justru ia tetap memegang teguh esensi utama dari sebuah
film animasi, mengajarkan nilai positif pada penonton muda yang menjadi sasaran
utama, dengan cara yang ringan, sederhana, tidak membosankan, namun berimbang.
Ya, hal terakhir itu yang terasa kurang kuat pada film animasi tahun ini,
mayoritas justru terasa seperti sebuah kumpulan lelucon yang dibungkus bersama
visual mewah.
Sebenarnya hanya
dengan mengandalkan visual saja film ini sudah dapat menyampaikan ide yang
mereka punya, akan menjadikan ia sebagai kemasan sangat renyah bagi penonton
yang sangat muda sekalipun. Tapi kuartet tadi tahu bagaimana melakukan mix
visual yang jujur saja cukup menghipnotis dibalik kesederhanaannya itu bersama
dengan cerita yang berkualitas. Pola dua dunia, kemudian dipertemukan dengan
konflik menggunakan gigi, Ernest et
Célestine mencoba menggambarkan pentingnya toleransi di atas perbedaan,
fanatisme berlebihan yang tidak menguntungkan, cara intimidasi yang justru
menghambat pertumbuhan pribadi, sistem hukum yang tidak selamanya benar, hingga
hal sederhana betapa pentingnya menggosok gigi.
Semakin menarik
ketika hal-hal tadi di sampaikan tanpa terkesan menggurui. Ya, sekali lagi, ini
seperti membaca dongeng, yang akan menjadikan ia sebagai sebuah film keluarga
yang sesungguhnya, sederhana namun punya pesan yang kuat, berkombinasi dengan
visual yang pasti akan menghibur anak-anak, namun tetap mampu tampil
mengasyikkan bagi orang dewasa. Benar, penonton dewasa tidak akan bosan, karena
walaupun minim lelucon yang dapat mengundang tawa skala besar Ernest et Célestine akan membuat anda
jatuh hati padanya, dari score menyenangkan serta pergerakan yang mulus karena ia cermat dalam cara
bercerita, hingga karakterisasi yang memikat.
Ernest dan Celestine
adalah penopang tunggal keberlangsungan film ini karena tidak ada karakter lain
dengan kontribusi sama besarnya yang membantu mereka menggerakkan cerita.
Untungnya kombinasi mereka berhasil, keduanya seperti tidak coba dibentuk
terlalu dalam yang menyebabkan petualangan serta konflik yang mereka bawa
terasa ringan namun efektif. Mereka memang karakter binatang, namun saya
melihat dua dunia nyata dalam sosok Ernest dan Celestine. Hal tersebut
merupakan hasil kinerja suara yang memikat dari Pauline Brunner dan Lambert
Wilson, cantik pada warna hitam dan putih situasi.
Overall, Ernest & Celestine adalah film yang
memuaskan. Walaupun ia tidak berhasil berada di level yang sama seperti Wreck-It Ralph pada tahun lalu, namun
jika anda meminta saya mencari kelemahan dari film ini maka jawabannya adalah
tidak, bukan tidak ada, namun tidak peduli, karena ia berhasil tampil
memuaskan. Ini sederhana, indah, cerdas, lembut, efektif, dan mengasyikkan.
0 komentar :
Post a Comment