“In the moment
when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him,
then in that very moment I also love him.”
Tentu saja bukan merupakan hal yang tabu jika sebuah film
memiliki begitu banyak ide yang ingin ia tampilkan, itu justru menarik, namun
dengan satu syarat mutlak dimana ia harus di eksekusi dan dikombinasi dengan
tepat. Ender’s Game adalah contohnya,
punya banyak ide dan isu dan yang cantik, dari unsur politis, sosial,
peperangan, hingga hal sederhana seperti bullying. Ender’s Game, seperti terjemahan baku, adalah permainan milik
Ender. This is not a game!! Really?
Pada tahun 2086 satu spesies bernama Formics berhasil masuk kedalam bumi dan melancarkan misi untuk
mengambil alih kontrol pada umat manusia. Untungnya kala itu ada seorang pilot
bernama Mazer Rackham (Ben Kingsley)
yang mengambil langkah heroik dan menjadikan ia sebagai seorang legenda. Tepat
50 tahun kemudian sistem pelatihan militer mulai diterapkan, sebagai upaya
antisipasi. Konsepnya adalah mengumpulkan semua anak-anak yang dianggap
berbakat dan cerdas dalam menghadapi perang. Salah satu dari mereka adalah Andrew Wiggin (Asa Butterfield), anak
muda berperawakan tenang yang lebih dikenal dengan nama Ender.
Bermula dari permainan game, ia kemudian harus menerima
fakta bahwa alat pengawas yang tertanam dalam tubuhnya harus dicabut. Ender mengira
hal tersebut adalah sebuah hukuman, namun dibalik itu ternyata selama ini ia
telah berada dalam pengawasan Kolonel
Graff (Harrison Ford) dan Major Gwen
Anderson (Viola Davis), dua sosok dari International
Fleet, yang kemudian menawari Ender untuk bergabung dengan Battle School. Alasannya sederhana,
Ender punya karakter yang selama ini mereka cari, sosok yang mereka percaya
punya kemampuan untuk memimpin pasukan menyelamatkan dunia.
Sedikit terkejut di bagian awal dimana Gavin Hood seolah berbisik kepada anda
bahwa film ini akan menjadi sebuah hiburan yang jauh lebih menarik dari
ekpektasi awal yang anda pasang. Sumbernya adalah kemampuan Gavin Hood dalam mengemas konsep cerita
yang ia adaptasi dari novel berjudul Ender's
Game, karya Orson Scott Card,
rilisan tahun 1985. Yap, uniknya disini, dimana ide yang sudah berumur hampir
tiga dekade itu ternyata berhasil diolah agar tetap menjauh dari kesan usang
dan kuno. Menggunakan inti pada tema kepemimpinan, seeking leaders, hadir
dengan warna cerita yang sedikit gelap dan serius, berkombinasi dengan visual
yang mumpuni, ini adalah sebuah permainan yang menyenangkan, pada awalnya,
bahkan singkat.
Yap, ini sangat sangat menarik pada awalnya karena saat
itu anda hanya akan diberi sebuah skema sederhana dari A menuju B, mengumpulkan
anak-anak muda untuk menyelamatkan dunia. Hal yang berbeda justru terjadi
setelah lepas dari bagian tersebut, mulai ditemani oleh ide-ide serta isu-isu
yang menarik, tapi celakanya tidak di eksekusi dengan cara yang sama menariknya.
Mereka menumpuk, pertanyaan dan pernyataan seperti dipaksa masuk namun tidak
mampu disajikan dengan tepat bersama alur cerita dan karakter. Dampaknya bahaya
yang mengancam dunia tidak terasa, ketegangan berada di level yang tidak
memikat, ya ini benar-benar seperti menyaksikan sebuah permainan, anda dapat
pause dan resume sesuka hati tanpa memberikan efek yang merusak.
Kelemahan utama Ender's
Game adalah sejak awal ia tidak mampu menciptakan pondasi yang kokoh pada
alasan dibalik pemilihan serta betapa pentingnya kumpulan anak-anak yang di
latih untuk menjadi prajurit itu bagi dunia, padahal kita juga diberi tahu
bahwa disekitar mereka masih eksis pahlawan dewasa yang secara logika masih
dapat melakukan pertarungan tanpa kontak fisik tersebut, bahkan salah satu dari
mereka juga menjadi sumber dari ide yang digunakan oleh Ender. Hal tersebut
secara tidak langsung menjadikan para karakter muda tersebut terasa kurang
berharga, sehingga momen hitam dan putih yang mereka alami terkesan biasa,
tidak ada dinamika emosi bernada serius yang memikat sehingga sulit bagi
penonton untuk ikut bersimpati pada aksi yang sebenarnya secara implisit coba
dijadikan sarana untuk menginspirasi.
Nilai minus tadi belum menghitung sikap dari tim produksi
yang sepertinya sejak awal ingin memberikan status gantung pada film ini. Tidak
begitu jauh dari garis start Ender’s Game
sudah tampak layaknya sebuah paket umpan, terkesan seperti pembuka jalan
semata bagi potensi kehadiran film kedua. Itu menjadikan film ini terkesan
kurang total baik di bagian cerita dan karakter, sering kali menahan dengan
sangat kuat materi yang ia punya, menghadirkan alur yang memang bergerak cepat
namun tidak mengembangkan luas cerita, mencoba memperluas waktu durasi dengan
mengisi beberapa bagian menggunakan ide-ide tentang strategi dan manipulasi
tapi sayangnya menjadikan porsi mereka terasa sedikit over.
Hasilnya, sangat mudah menilai Ender’s Game sebagai film yang tidak seimbang, hampir 80% durasi
dipakai untuk membangun cerita dan karakter utama. Ini menjadikan bagian
konklusi yang dihadirkan seperti dikebut, padahal sejak awal ia sudah gagal
dalam menghadirkan tekanan dari sisi hitam dengan absennya sosok antagonis
yang tampak seperti coba dijadikan sebuah misteri namun tidak dibentuk dengan
menarik. Ketidakseimbangan itu juga hadir akibat keputusan memberi atensi yang
sedikit banyak pada subplot yang sebenarnya hanya menyandang status pedukung,
cukup menyita durasi dengan fokus pada saudara Ender yang bernama Valentine (Abigail Breslin), bukan hanya
hadir dan memadatkan konflik namun ikut menggerus kualitas dari dua konflik
utama.
Nilai plus Ender's
Game secara mengejutkan muncul dari divisi akting. Asa Butterfield memang tidak memukau, namun kembali memberikan
performa yang cukup solid, walaupun
kurang mampu membangun chemistry multi arah yang memikat bersama Abigail Breslin, Hailee Steinfeld yang
berperan sebagai Petra Arkanian,
serta Harrison Ford. Harrison Ford
sendiri sepertinya harus lebih cermat memilih project karena disini ia tidak
dapat ruang ekspresi yang besar dan bebas. Film ini juga menyadarkan saya
betapa besar pengaruh The Kings of Summer
bagi Moises Arias, setiap kali ia
muncul saya selalu bergumam Biaggio,
bukan Bonzo.
Overall, Ender's
Game adalah film yang kurang memuaskan. Sebuah sci-fi dasar dengan warna cerita yang gelap, punya efek CGI yang cukup manis, akting yang
mumpuni, namun rusak akibat script yang kurang mampu membangun konsep yang
sesungguhnya sangat menarik. Ini mungkin akan mengasyikkan jika sejak awal anda
hanya mengharapkan sebuah sajian yang mengupas proyek dengan basis militer,
bukan sebuah misi menyelamatkan bumi dari kehancuran. Tidak ada dinamika cerita
yang memikat, terlalu stabil, hampir membosankan, menjadi petualangan
menyenangkan ia tidak mau, menjadi kisah yang inspiratif ia tidak mampu.
gw juga udah mengira film ini ngga begitu memikat. thanks min,
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTadi abis nonton, saya sendiri belum pernah baca novelnya.
ReplyDeleteSetelah menyaksikan filmnya,IMO cerita endler game sangatlah menarik dan kompleks. Ceritanya punya sangat banyak unsur, banyak moment moment yang seharusnya bisa sangat menyentuh.
Cuman sayang terkesan filmnya tidak digarap dengan serius, pelatihan remaja (anak-anak?) tidak begitu terasa, masih terasa kayak pramuka saja.
Ikatan emosi antara Ender dan Valentine terlihat sekedarnya.
Benar banget, emosi dan tensi dari cerita kurang hidup, twist yang seharusnya mengejutkan malah terasa datar.
DeleteThanks kunjungannya Ahmad. :)