"Don't play with a young girl heart."
Di awal
kemunculan berita bahwa akan diproduksi sebuah remake bagi Carrie muncul sebuah pertanyaan tunggal, “apa yang ingin mereka
capai?” Bahkan Stephen King, penulis
novelnya, berujar hal yang sama, dan banyak penikmat film yang juga pasti akan
sepakat bahwa Carrie edisi pertama karya Brian
De Palma yang rilis tahun 1976 itu sudah berada di level kualitas dan
kepuasan yang cukup tinggi. Carrie,
punya fokus yang berbeda, hadir bukan untuk menakut-nakuti penontonnya.
Ia lahir dari
seorang wanita bernama Margaret White
(Julianne Moore), sosok religius yang sejak awal sudah menganggap kehadiran
Carrie (Chloë Grace Moretz) sebagai
dosa yang harus dimusnahkan. Hal tersebut yang kemudian memberi bencana bagi
Carrie, ia hidup dalam sistem yang overprotektif, harus masuk kedalam sebuah
kamar kecil dan berdoa pada Tuhan ketika ia melakukan kesalahan, hingga tidak
boleh berpakaian sedikit saja terbuka karena Margaret menilai adalah sebuah
tindakan dosa menunjukkan sedikit saja sisi payudara yang ia sebut sebagai
bantalan kotor itu.
Jiwa yang
tertutup itu menyebabkan Carrie panik tingkat tinggi ketika mengira ia akan
mati saat mengalami haid pertama, menghasilkan insiden tampon yang kemudian
memperkuat status “buangan” padanya di seluruh lingkungan sekolah. Rasa
kesalnya pada sikap bully-ing yang berasal dari Chris Hargensen (Portia Doubleday) itu kemudian menuntun Carrie
menemukan kekuatan yang selama ini tidak ia ketahui. Celakanya akibat sikap
tertutup itu ia seketika berubah menjadi sebuah bom yang siap meledak akibat
salah persepsi yang berasal dari rencana Sue
Snell (Gabriella Wilde) dan Tommy
Ross (Ansel Elgort) di malam prom.
Hal yang sering
dialami calon penonton pada sebuah film remake yang memiliki pendahulu dengan
standard yang cukup tinggi adalah sikap skeptis. Hanya dengan satu pertanyaan,
“apakah film ini mampu kebih baik dari pendahulunya?” Sepertinya Kimberly Peirce sejak awal sudah sadar
bahwa walaupun masih punya potensi namun sangat sulit untuk membawa edisi
terbaru ini agar dapat melampaui atau setidaknya berdiri sejajar dengan film
pertamanya. Itu mengapa dari awal ia telah memilih mengisi film ini dengan cara
yang ringan khas konflik remaja, dan memilih menjauh dari permainan materi
muram seperti kesedihan mendalam yang penuh kegilaan, hal yang justru
menjadikan versi De Palma begitu
memorable.
Yap, untuk
menjadi sebuah paket hiburan horror yang akan dikenang dalam waktu lama ini
jelas tidak berhasil, namun jika itu bukan harapan anda maka Carrie punya potensi untuk tampil
menghibur. Sesungguhnya ini bahkan sedikit mengejutkan dibagian pembuka, adegan
pertama yang menjadikan penontonnya berpikir “wah, sepertinya ini akan
berbeda.” Sayangnya hanya sampai disitu, karena berikutnya ia menggunakan
struktur yang sama, hampir persis. Menceritakan hal yang sama tanpa disertai
dramatisasi yang lebih baik jelas akan terasa membosankan bagi yang sudah
menonton film pertamanya. Namun ada satu cara ampuh untuk itu, kesampingkan harapan untuk ditakuti, dan amati perkembangan karakter utama.
Tidak ada yang
baru atau berbeda yang diberikan Carrie
dalam konteks cerita, Lawrence D. Cohen
dan Roberto Aguirre-Sacasa seperti
tidak ingin mengambil resiko dengan melakukan improvisasi yang akan memperbesar
kemungkinan gagal, namun itu tidak terjadi dari sisi karakter. Peirce ingin
membentuk Carrie versi modern,
menggerus humor serta power dari isolasi lingkungan, tidak digali terlalu
dalam. Tidak begitu bermasalah dengan Carrie yang kini mungkin tampak terlalu
cantik (urutan yang saya punya adalah: novel, Carrie 76, Carrie 13, dan sejak
awal saya tidak pernah berimajinasi bahwa Carrie adalah sosok yang berwajah
kurang cantik), namun Peirce menjadikan Carrie
lebih kuat, lebih confident, dan bahkan lebih cerdas, serta memberi fokus yang
lebih pada hubungan ibu dan anak.
Hal tersebut
yang kemudian akan terasa menarik bagi mereka yang lebih menaruh harapan untuk
menyaksikan bagaimana karakter ikonik itu didaur ulang. Carrie seperti sebuah patung yang sama namun di cat dengan warna
dan gaya yang berbeda (meskipun sedikit kecewa kekuatan telepati Carrie tetap tidak muncul). Walaupun
merusak tekanan internal dan eksternal karakter, menggerus sisi tragis, Peirce
berhasil menjadikan penontonnya terpaku pada sosok Carrie. Proses menunggu itu tidak begitu membosankan karena langkah
aman yang ia tetapkan, membangun karakter dengan baik walaupun digerakkan
dengan tempo yang terkesan terlalu tergesa-gesa.
Yap, sebenarnya
dibalik kemampuan ia untuk menghadirkan pergerakan cerita yang cukup baik
disamping dinamika yang terlalu cepat dan kurang begitu hidup, Carrie punya beberapa kelemahan. Yang
paling sederhana adalah kurangnya power intimidasi dan penindasan dari sisi
antagonis, terasa hambar dan datar, yang sesungguhnya menjadi kenikmatan utama
kisah ini ketimbang pertumbuhan karakter utama bersama hal-hal telekinesis itu. Begitupula dengan
adegan prom yang di film pertamanya berhasil tampil menegangkan dan kemudian
menaikkan kelas dari hasil akhir, disini tampil dengan cara yang berbeda, tidak
buruk memang, namun terlalu simple dalam kadar emosi, kurang greget, sedikit
mengecewakan.
Chloë Grace Moretz mungkin dapat dikatakan menjadi
penyelamat film ini. Keputusan Kimberly
Peirce untuk memberi sentuhan yang sedikit lebih berbeda pada sosok Carrie
mampu dieksekusi dengan baik oleh Moretz. Tidak terjerat dibawah bayangan Sissy Spacek, anda bisa melihat wanita
ketakutan dalam dirinya, sosok empuk sasaran bullying, hingga energi terpendam
dari seorang dengan tekanan psikologis. Julianne
Moore mampu memberikan ambiguitas pada penonton apakah harus mendukung
sikap ia sebagai ibu, dibeberapa bagian sedikit menakutkan, namun porsi yang ia
miliki cukup terbatas. Diluar dua karakter utama hanya Judy Greer yang berhasil mencuri perhatian, karena karakter lainnya
dibentuk dengan cara klise khas remaja masa kini, tidak menarik.
Overall, Carrie adalah film yang cukup memuaskan.
Jika anda belum pernah menyaksikan film pertamanya, tidak menaruh harapan yang
begitu besar (walaupun itu akan sedikit sulit) akan mendapatkan sebuah sajian
horror yang menyeramkan, dan mencoba menaruh perhatian pada proses dari
karakter yang berisikan permainan supernatural dan psikologi yang faktanya
dibentuk dengan cukup manis oleh Moretz
dan Moore, ini akan menarik. Ini
bahkan mengejutkan, karena ekpektasi awal saya berada di level yang jauh lebih
buruk. Sejak awal ini tidak dibentuk untuk menjadi film yang menakutkan, jangan
berharap untuk ditakuti, maka akan ada hadir sedikit rasa puas bagi anda
diakhir cerita.
gw sendiri lebih intens pada karakter carrie dan ibunya. andai ceritanya bisa lebih kuat mungkin bisa sejajar lah dengan the prisoners.
ReplyDeleteitu si sue diakhir dikutuk sama carrie yap?
ReplyDeletekasihan si sue ya :D
DeleteIni film yg sangat bagus mnurut gue gan, ane blum liat film yg pertamanya
ReplyDeleteIni adalah film yang gue gk ngerti maksudnya. Bahkan gue gk bisa mengklasifikasikannya pada genre apa. Horror, romance, young adult, thriller, psichological semuanya tidak tersampaikan dengan baik. Alurnya berantakan, Cast yang payah, dan hal2 yang tidak menarik lainnya. Poor you...
ReplyDelete