Kalimat
dengan inti seperti ini pasti sudah sering anda temukan pada banyak film,
“tunggu aku, aku pasti kembali untukmu.” Kalimat yang sangat singkat itu justru
punya power yang begitu besar untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya kekuatan
yang dimiliki oleh cinta, berawal dari kisah yang manis, kemudian hadir
masalah, berkorban, dan akhirnya berjuang untuk kembali ke titik awal. Ain't Them Bodies Saints coba mengolah
sistem tersebut, lewat kisah kejahatan klise penuh gambar cantik.
Ruth Guthrie (Rooney Mara) dan Bob Muldoon (Casey Affleck), anda dapat
melihat gelora cinta dua insan muda dalam diri kisah asmara mereka, bermain
dalam petualangan cinta yang menyenangkan, bertengkar namun kemudian saling
rujuk kembali dengan cara yang manis, dan saling mendukung satu sama lain.
Disini celakanya, Ruth seperti buta akan cinta, dan kemudian mendukung
pekerjaan Bob sebagai penjahat. Tindakan itu yang akhirnya membawa mereka
kedalam bencana, dan perpisahan.
Dalam
sebuah aksi baku tembak dengan polisi, Bob berkata kepada Ruth, “I promise I'll come get you, just wait for
me.” Ia mendekam di penjara, sedangkan Ruth, dibawah pengawasan Skerritt (Keith Carradine), masih
tinggal di kota tersebut dan membesarkan anak mereka, Sylvie, anak perempuan
yang belum pernah melihat sosok Ayahnya secara langsung. Hal tersebut yang
menjadikan kehadiran polisi bernama Patrick
Wheeler (Ben Foster) terasa berbeda bagi Ruth, ia menunggu dalam
ketidakpastian, walaupun ia tahu Bob pasti berjuang untuk mewujudkan janjinya.
Konsep
yang dimiliki oleh Ain't Them Bodies
Saints sangat sederhana, ingin membawa penontonnya kedalam kisah romansa
lewat perpaduan perjuangan dan kesetiaan. David
Lowery berhasil memberikan sebuah impresi yang sangat memikat di bagian
awal, dengan singkat dan padat sukses membuat saya jatuh cinta pada dua
karakter utama, dan tentu saja menggantungkan harapan bahwa Ain't Them Bodies Saints tidak akan
menjadi sebuah hiburan visual semata (visualnya indah, itu pasti). Ya, harapan
itu salah, perlahan film ini berubah menjadi sebuah dramatisasi dari kombinasi
narasi dan puisi.
Inti
utama dari film ini adalah kesabaran, memasukkan dua sosok yang di awal saling mencintai kedalam konflik yang
memisahkan mereka, menyelimuti mereka bersama rasa rindu yang kemudian
bergesekan dengan rasa percaya dan prioritas. Sayangnya konflik emosi yang
sederhana itu dibentuk terlalu santai, terlalu hati-hati malah. Tidak masalah
dengan kualitas dari ancaman, begitupula sedikit nafas Terrence Malick didalamnya, namun kekuatan dari perjuangan karakter
utama untuk bertemu dan menunggu terasa terlalu stabil, padahal ia sudah
menaruh standar yang menarik pada bagian pembuka.
Plot
yang sejak awal sudah terlalu ringan itu tidak dijaga agar terus tampil intens,
menjadikan banyak momen tragis dari sisi hitam dan putih cerita tidak berada
dalam tempo yang menarik serta kurang mampu menghadirkan sensasi yang memikat.
Cukup sulit pula untuk menaruh simpati pada karakter, David Lowery ingin penontonnya agar dapat merasakan tragisnya cinta
namun memilih tidak membuat anda agar merasa dekat dengan karakter. Yap, Ain't Them Bodies Saints sesungguhnya
punya sedikit sentuhan warna studi karakter, tapi sayangnya sebagian besar
cerita Lowery kurang menaruh prioritas utama pada kedalaman karakter.
Hal
utama yang menyebabkan film ini tidak mampu mengemas semua potensi yang ia
miliki adalah keputusan dari David Lowery
yang menggerakkan cerita seperti dalam tempo satu ketukan lebih lambat (bahkan
beberapa bagian terasa terlalu lambat), bergerak sedikit mondar-mandir, tampak
sebagai upaya untuk memberi ruang bermain bagi kombinasi cinta, frustasi, ragu,
dan perjuangan agar mampu menemani perasaan penontonnya. Di beberapa bagian
keputusan itu memang berhasil, namun itu minor, Ain't Them Bodies Saints lebih banyak menciptakan situasi yang
dengan jelas hanya memberikan momen menunggu bagi penontonnya.
Yap,
menunggu. Tema dari cerita romansa berbalut crime klise itu berubah menjadi
proses mengamati yang kerap kali terasa kurang mengalir. Ain't Them Bodies Saints perlahan
seperti lupa dengan tujuan utamanya, terlena dan terbuai, mulai asyik bermain
dengan gambar yang mungkin berpotensi untuk menghibur bagi beberapa penonton.
Perlahan ia berubah layaknya sebuah kereta api uap yang hanya membawa
persediaan kayu untuk lima stasiun, padahal rute yang akan ia tempuh adalah
tujuh stasiun dalam tempo tujuh jam, ia sadar akan hal itu di stasiun kedua,
dan mulai bergerak lambat sehingga tidak mampu meraih sasaran yang tepat.
Divisi
akting merupakan sisi terkuat film ini, secara individual, karena chemistry
antar karakter terasa lemah. Rooney Mara
sukses menghadirkan rasa sakit dalam diam, frustasi yang kemudian mempengaruhi
opsi yang ia miliki. Casey Affleck
juga berhasil menghadirkan perjuangan dan kegigihan dari cinta kepada
penontonnya, sedangkan Ben Foster
secara mengejutkan selalu mencuri perhatian lewat perawakan lembut yang
menghadirkan kebimbangan. Performa mereka berada dalam level memuaskan, hal
tersebut mengingat karakter yang mereka punya sesungguhnya tidak begitu
menarik.
Overall,
Ain't Them Bodies Saints adalah film
yang cukup memuaskan. Ini seperti menyaksikan sebuah premis sederhana dan
potensial yang harus terjebak dalam pergerakan plot cerita kurang dinamis dan
terlalu stabil. Tidak hancur memang, bahkan sama sekali tidak membosankan, namun Ain't Them Bodies Saints
dapat menjadi proses pengamatan karakter yang lebih mengasyikkan andai saja David Lowery
sedikit menaikkan tempo dan memperpadat tensi cerita, karena konflik yang ia lemparkan
sudah sangat sederhana. Performa memikat dari divisi akting menjadi penyelamat.
0 komentar :
Post a Comment