"I don't want to survive. I want to live."
Rasisme
sebenarnya bukan sebuah masalah, melainkan suatu budaya yang sudah lahir sejak
ratusan tahun yang lalu, sebuah penyakit yang tidak bisa hilang dalam sekejap.
Butuh proses, butuh alarm yang berfungsi untuk terus mengingatkan kita pada
betapa kejinya tindakan tidak manusiawi tersebut. 12 Years a Slave sukses besar dalam menjadi alarm paling baru,
seperti menyaksikan Django Unchained
dalam warna yang lebih gelap, dengan cara sederhana menghadirkan pengamatan yang
intens dan mengerikan dari isu kemanusiaan. Oscar?
Pada tahun 1841,
ketika bangun dari tidurnya, Solomon
Northup (Chiwetel Ejiofor) mendapati ia telah terkurung pada sebuah ruangan
gelap gulita dalam kondisi terikat. Itu mengejutkan, karena ia tahu persis
bahwa kedatangannya ke Washington
(setelah sebelumnya melepas istri dan dua anaknya yang juga keluar kota
meninggalkan kediaman mereka di Saratoga,
New York) untuk menerima tawaran pekerjaan. Northup kini menjadi tawanan,
siap diperjual belikan menjadi budak, menyandang nama baru “Platt”, dan berakhir
ditangan William Ford (Benedict
Cumberbatch) yang membelinya dari pedagang bernama Theophilus Freeman (Paul Giamatti).
Northup selalu
mengatakan bahwa ia berstatus sebagai seorang free man, sebutan bagi kaum kulit
hitam yang bukan budak. Memang benar, Northup bahkan merupakan seorang pria
yang cerdas, hal yang kemudian memicu rasa benci dari John Tibeats (Paul Dano). Namun sayangnya ketika perlahan mulai
mendapatkan atensi dari Ford, Northup harus berhadapan dengan sosok baru
bernama Mary Epps (Sarah Paulson)
serta Edwin Epps (Michael Fassbender),
seorang pengusaha perkebunan kapas yang sangat kasar dan rasis, sosok yang
menilai bahwa ia punya hak untuk menyiksa budak yang ia miliki karena hal
tersebut tertulis dalam kitab suci.
Film dengan tema
perbudakan yang mencoba menggambarkan bagaimana kejamnya perlakuan yang
diterima kaum kulit hitam memang tidak akan pernah mati. Itu mengapa diawal
tadi saya menyebut 12 Years a Slave
sebagai “Django Unchained dalam warna yang lebih gelap”, karena tujuan utama mereka
sebenarnya sama saja, ingin mencoba membawa penontonnya mengamati isu yang pada
dasarnya sama, tentang kemanusiaan dalam petualangan penuh siksaan dan
tekanan. Namun apa yang menjadikan 12
Years a Slave terasa lebih menarik adalah ia memilih untuk mengolah isu
tadi dengan cara yang jauh lebih serius, yang kemudian membuat film ini sangat
sulit untuk diberikan label sebagai sebuah kisah yang menyenangkan.
Ini jelas
menarik, bagaimana isu yang sebenarnya sudah terlalu umum tersebut berhasil
ditulis ulang oleh John Ridley dari
sebuah autobiography berjudul Twelve
Years a Slave karya Solomon Northup,
dalam struktur yang tidak hanya halus namun juga berani. Ridley tidak ingin
membuat penontonnya lepas dari cengkraman tekanan yang di miliki cerita, ini
seperti masuk ke dalam sebuah ruangan gelap dan kemudian terus ditekan dalam
permainan psikologis penuh rasa takut yang tidak hanya membuat sakit mata
penontonnya, namun terus berjalan hingga mencapai pikiran dan perasaan. Ia
bahkan sengaja bergerak mondar-mandir untuk memberikan ruang observasi, yang
kemudian di eksekusi dengan baik oleh Steve
McQueen.
Steve McQueen kembali melakukan apa yang ia berikan
pada Hunger dan Shame, berupaya menjadikan penonton semakin tenggelam dalam konflik
utama. Dengan penuh rasa percaya diri McQueen sukses membentuk hal-hal
mengerikan dengan cara sengaja melepas mereka untuk berjalan lambat dan sedikit
berlama-lama agar penindasan yang ia hadirkan secara perlahan mencuri rasa
bahagia penonton dan menggantinya dengan situasi yang jauh lebih gelap. Ini
memang sedikit terkesan dipaksa, namun anehnya tidak berubah menjadi sesuatu
yang menjengkelkan karena ia dibentuk dengan cara yang cerdas, ditemani score
karya Hans Zimmer yang menghantui, ia tahu bermain dengan
dinamika serta memanfaatkan momentum cerita, secara bertahap membuat penonton
terperangkap dalam kisah penuh kebrutalan torture porn tanpa henti, dari
pukulan, cambuk, digantung di pohon, hingga cara paling halus dengan
menggunakan lagu.
12 Years a Slave seperti sebuah proses dari studi
psikologis. Terus bergerak stabil dengan irama yang terkendali, ia sangat
menuntut penonton untuk setidaknya bersedia menaruh sedikit investasi emosi
mereka bersama karakter, seolah ikut merasakan apa yang karakter rasakan, bukan
hanya sekedar mengamati. Ya, karena McQueen tidak menggunakan teknik bercerita
yang menjelaskan dan mengurai secara mendetail, bukan sekedar menghadirkan
pertanyaan dengan dua opsi benar atau salah, melainkan bagaimana penontonnya
menilai aib sosial ini jika hal tersebut terjadi pada mereka, dari rasa putus
asa, perjuangan mempertahankan harga diri, rasa takut melakukan tindakan benar
karena berada dalam sisi minor, hingga kombinasi rasa takut dan nafsu yang
dapat memberi dampak kehancuran emosi.
Cukup riskan untuk
mengurai film ini terlalu jauh, karena pada dasarnya konflik yang ia miliki
sangat sempit, seorang pria yang menjadi budak selama 12 tahun. Perputaran
cerita bahkan hanya berisikan kekejaman demi kekejaman yang saling menyambung,
di bentuk dengan teliti, intens, dan sangat stabil. Sedikit kehabisan kata-kata
memang untuk menggambarkan film ini, ketika ia hadir dilayar ia mampu membuat
saya terdiam selama dua jam lebih, dan ketika berakhir kekacauan menawan yang
ia tampilkan itu masih terus menghantui. After
effect yang ia berikan sangat kuat, sama kuatnya dengan totalitas Steve McQueen dalam membangun kisah ini,
ia seperti ingin menunjukkan penderitaan dengan cara tunggal, benar-benar
membuat karakter merasa menderita. Itu mengapa ketika penontonnya telah menaruh
simpati pada karakter, ending yang terkesan netral itu justru terasa seperti
sebuah grand prize yang membahagiakan.
Divisi akting
menjadi kekuatan utama lainnya, salah satu ensemble cast paling memikat tahun
ini. Bintang utamanya tentu Chiwetel Ejiofor,
melalui ekspresi mata dan wajah ia mampu menghadirkan kegigihan dan kehancuran
dengan sama baiknya. Oscar? Titik tertinggi mungkin belum pasti, namun sekedar
nominasi Chiwetel Ejiofor berada di posisi terdepan. Cerita yang berjalan
stabil juga selamat berkat kemampuan cast lain mencuri atensi, dari Benedict Cumberbatch, Brad Pitt, Alfre
Woodard, Paul Giamatti, Paul Dano, mereka menarik, hingga Sarah Paulson dengan sikap kurang manusiawi. Lupita Nyong'o muncul
sedikit berada didepan mereka, bagian dari sebuah scene memilukan. Namun sosok
selain Ejiofor yang terus memukau setiap kali ia muncul ialah Michael Fassbender, aksi gila penuh
obsesi yang sangat meyakinkan. Quvenzhané Wallis hanya tampil sesaat.
Overall, 12 Years a Slave adalah film yang
memuaskan. Ini adalah Lincoln tahun
2013, menghadirkan proses berisikan pengamatan yang sangat mudah untuk di
cintai, punya divisi akting yang kuat serta tatanan produksi memikat, totalitas
yang berkualitas, serta eksekusi powerfull dan kokoh pada pesan utama. Mudah
untuk mengatakan bahwa 12 Years a Slave
pasti akan menjadi salah satu bagian terkuat pada Oscar tahun depan, namun yang menjadi pertanyaan apakah ia mampu
meraih tampuk tertinggi, karena sama seperti Lincoln ia tidak punya kejutan
yang mengagumkan, menghadirkan siksaan secara stabil sejak awal hingga akhir,
beresiko besar tergusur oleh film yang memperoleh ledakan buzz dari faktor x
yang mereka miliki dalam perlombaan menuju garis finish, layaknya Argo tahun lalu. Segmented.
Screened at
2013 Jakarta International Film Festival
0 komentar :
Post a Comment