“You’ve
got to go your own way.”
Tentu
ada alasan dibalik banyak pernyataan yang mengatakan bahwa setiap manusia pada
level usia berapapun itu punya arti bagi orang lain disekitarnya. Orang dewasa
menjadi patokan para remaja untuk bertumbuh, sedangkan remaja menjadi objek
yang menjadi alarm bagi kaum dewasa untuk mempertahankan kualitas kedewasaan
mereka. Ya, itu siklus yang berlandaskan pemahaman untuk terus membawa setiap
manusia bertumbuh. Secara sederhana dan efektif itu coba digambarkan oleh The Way Way Back, coming-of-age dengan kombinasi putih dan hitam yang memikat,
bersinar sejak awal hingga akhir.
Canggung dan sulit berteman, bahkan dengan calon saudara tirinya, Steph (Zoe Levin), Duncan menemukan hal yang sama pada Susanna (AnnaSophia Robb) yang berkata "It’s like spring break for adults.” Ya, mereka membenci liburan yang dibalik tampilan penuh sukacita menyimpan sebuah drama keluarga yang pelik. Terdampar di sebuah water park bernama Water Wizz, Duncan bertemu pria yang menggantungkan potensi high-score permainan Pac-Man kepadanya, Owen (Sam Rockwell), menjadi sahabat baru sekaligus mentor, sosok yang membuka jalan bagi Duncan untuk merubah hidupnya, yang sayangnya tidak semuanya berjalan mulus.
Nat Faxon
dan Jim Rash kembali membuktikan
keahlian yang dua tahun lalu memberikan mereka piala Oscar. Masih sama seperti The
Descendants, anda akan bertemu dengan cerita dengan warna yang tenang dan
sendu, tahu kapan momen yang tepat untuk membuat penontonnya tertawa atau at
least tersenyum lucu, namun sejak awal hingga akhir tidak pernah kehilangan
nuansa depresif dalam bentuk tekanan dari konflik utama, yang kali ini
dijabarkan lewat gejolak batin, penuh karakter menarik, plot yang manis,
memberikan kecerdasan dalam sentuhan lembut yang jauh dari kesan menggurui.
Ini
menarik, bagaimana seorang anak dijebak dalam dua kondisi yang bertolak
belakang, di satu sisi ia harus berada dalam kehidupan penuh aturan sembari
menahan sakit dari emosi yang terpendam pada pacar baru ibunya yang dengan
jelas ia ketahui merupakan seorang dengan tipikal berengsek, di sisi lain ia
masuk kedalam kehidupan yang dapat dikatakan random, bebas tanpa aturan yang
menyiksa, namun ia mendapatkan sebuah kenikmatan hidup. Kedua dihubungkan lewat
cinta dalam balutan yang ringan dan manis.
Kesuksesan
The Way Way Back berasal dari
kemampuan Faxon dan Rash yang dengan sabar membangun karakter serta pondasi
utama cerita dalam lingkup gelap yang canggung, kemudian membaliknya bersama
cerita dengan nuansa kebebasan yang mengundang tawa. Dengan penerapan pola
dasar dari kisah coming-of-age yang
masih sama, materi yang predictable
dan beberapa terasa klise, The Way Way
Back tidak jatuh menjadi sebuah hiburan murahan berkat kemampuan Nat Faxon dan Jim Rash dalam menutupi hal tersebut dengan menciptakan
keseimbangan pada humor dan drama yang ciamik, ditunjang oleh semua karakter
yang punya sisi menarik, yang walaupun terkesan ditahan dan sedikit dibatasi
tapi selalu berada di posisi yang tepat dan memberikan dampak positif pada
cerita.
Karakter
adalah kunci utama keberhasilan The Way
Way Back menjadikan penontonnya terpaku sejak awal hingga akhir. Tidak
orisinil memang, Little Miss Sunshine
dan sedikit sentuhan Adventureland,
namun dengan cara sederhana Nat Faxon
dan Jim Rash tahu bagaimana
menjadikan cerita dan karakter secara bersamaan terus berkembang ke arah
positif, menggunakan script sempit yang tetap dijaga agar tampil padat dan
dipoles sedemikian rupa sehingga menghasilkan petualangan yang jauh dari
membosankan, karakter yang terasa real dalam kinerja yang efektif, persahabatan
yang jujur dan lucu, perjuangan lepas dari kegelapan, dan pemahaman pada sifat
manusia.
Ya,
pemahaman pada sifat manusia, The Way Way
Back adalah kemasan yang mampu tampil tajam dengan cara yang cerdas sebagai
sebuah film coming-of-age. Perjuangan
Duncan dan perjuangan ibunya seperti menjadi dua materi observasi implisit,
bagaimana karakter remaja yang justru tampak dewasa, sedangkan orang dewasa
sendiri berperilaku jauh dari kesan dewasa. Ada pertumbuhan emosional yang
walaupun kurang dalam tetap mampu membuat penontonnya tersentuh, serta dinamika
keluarga yang dijabarkan lewat perubahan warna cerita secara frequently. Ini
mungkin tampak ringan, namun dibalik itu tersimpan sebuah pelajaran bagi kaum
remaja dan juga dewasa untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Jika
berbicara divisi akting, mungkin The Way
Way Back layak diberikan label sebagai salah satu film dengan ensemble cast
terkuat di tahun ini. Liam James
tentu saja bintang utama, dengan karakter yang mengingatkan saya pada Paul Dano di Little Miss Sunshine, mampu terus mengundang rasa penasaran kemana
emosi yang ia miliki akan berjalan. Namun jika harus memilih senjata utama,
maka orang itu adalah Sam Rockwell,
penuh energi dan berhasil menjadi variabel pembanding konflik utama yang gelap
dengan suguhan keceriaan dan sarkasme yang menyenangkan dan juga stabil. Sulit
untuk membahas mereka satu persatu, semua menjalankan tugas dengan baik, dari Carell,
Collette dan Amanda Peet di sisi gelap, AnnaSophia
Robb sebagai pembuka jalan, Maya
Rudolph yang banyak membantu kesuksesan Rockwell di sisi romance, hingga Allison Janney dan River Alexander sebagai tetangga yang aneh, semua manis.
Overall,
The Way Way Back adalah film yang
memuaskan. Sebagai sebuah film komedi mungkin ini tidak begitu besar, begitu
pula ketika ia berdiri sendiri sebagai sebuah film drama, namun ketika keduanya
berkombinasi, The Way Way Back memang
tidak akan berubah secara otomatis menjadi sebuah kemasan yang besar, namun
akan memuaskan anda dengan keceriaan dan kesederhanaan yang ia punya, serta
menyentuh anda tanpa menjadi hiburan yang menjengkelkan.
0 komentar :
Post a Comment