Apakah anda tahu
bahwa Arab Saudi tidak memiliki tempat bersenang-senang yang biasa kita sebut
bioskop? Saya juga baru tahu beberapa tahun yang lalu dari seorang sahabat, dan
kala itu reaksi saya hanya sebuah kalimat, “Oh, oke,” karena pikiran saya
langsung terarah pada sistem yang mereka terapkan. Itu mengapa ketika muncul
berita bahwa Arab Saudi untuk pertama
kalinya memutuskan ikut serta dalam pertarungan Best Foreign Language Oscar, Wadjda seketika menarik atensi dengan
satu pertanyaan, apa yang ia miliki sehingga dapat meluluhkan salah satu negara
konservatif yang sangat religius dengan aturan ketat tersebut.
Perempuan itu
bernama Wadjda (Waad Mohammed),
remaja putri berusia 12 tahun dengan kepribadian tomboy dan sedikit jiwa rebel,
jiwa pemberontak. Banyak aturan ketat di lingkungan tempat tinggalnya yang
tidak ia lakukan, dari tidak menutup wajah secara menyeluruh, hingga bersahabat
dengan lawan jenisnya yang bernama Abdullah
(Abdullrahman Al Gohani). Jiwa yang pemberani itu pula kemudian menjadi
awal mula sebuah misi Wadjda untuk mencapai impiannya, memiliki sebuah sepeda,
walaupun disana anak perempuan mengendarai sepeda merupakan hal yang tabu
karena dirasa kurang pantas.
Bekerja keras
dari menjual gelang buatannya hingga menjadi jasa pengantar surat antar lawan
jenis, terus berhadapan dengan gurunya, Ms
Hussa (Ahd Kamel), Wadjda tidak perduli dengan hal tabu itu, dengan percaya
diri meminta pemilik toko untuk menyimpan sepeda tersebut untuknya, dan terus
fokus untuk menabung walaupun ia tahu Ibunya (Reem Abdullah) punya uang dalam jumlah yang ia perlukan, namun
berencana menggunakan uang itu untuk menarik kembali perhatian suaminya yang
perlahan mulai sirna.
Dibutuhkan waktu
selama lima tahun untuk menciptakan film berdurasi 98 menit ini, dimana kendala
pada izin dan dana menjadi faktor utama. Haifaa
al-Mansour mengalami kesulitan dana hingga akhirnya bergabung dengan
perusahaan produksi asal Jerman, namun yang lebih sulit adalah permasalahan
eksternal, izin untuk melakukan pengambilan gambar sepenuhnya di Arab Saudi, hingga tidak adanya industri
perfilman di Arab Saudi. Tidak sampai
disitu, Haifaa al-Mansour bahkan
katanya harus mengendalikan proses produksi Wadjda
dilapangan hanya melalui monitor dari dalam sebuah mobil akibat aturan yang
melarang wanita bekerja di kawasan umum bersama para pria. Ketat.
Yap, ketat, kita
sudah tahu bahwa beberapa negara semenanjung Arab masih menerapkan sistem
sedikit tertutup, yang justru menjadi topik utama yang ingin disampaikan oleh Wadjda. Dari luar memang tampak
sederhana, seorang gadis muda yang berjuang untuk memperoleh sebuah sepeda,
namun ternyata di balik itu tersimpan banyak kritik implisit yang jika
dicermati terasa cukup tajam dalam menyentil hal-hal konvensional yang
berlandaskan pada satu tema, kebebasan, dengan objek utama kaum wanita yang
sepertinya masih hidup dalam keterbatasan yang tidak mengijinkan mereka untuk
memperoleh kesetaraan derajat dengan kaum pria.
Sulit untuk
mengatakan ini sebagai sebuah film yang berniat untuk menghadirkan revolusi,
namun dengan menggunakan kekuatan dari optimisme film ini mampu menjadi sebuah
penggambaran fakta untuk mencoba menyadarkan, membuka mata, serta menjadi
inspirasi kaum hawa. Wadjda sangat berhasil dalam hal tersebut, sangat suka
dengan cara ia mengupas sistem ketat dalam lingkup moral pada masyarakat,
menggunakan beratnya kehidupan wanita di Arab
Saudi, hanya dengan bersuara keras dan tertawa bisa dianggap mengumbar
aurat, tapi cerdik dalam menggunakan hal-hal tersebut untuk menunjukkan harapan
yang mereka inginkan, dan hebatnya disisi lain tidak pernah membawa anda masuk
kedalam pemahaman untuk menilai bahwa pencipta sistem tersebut sebagai sosok
yang salah.
Benar, seimbang,
dan mungkin hal itu pula yang menjadi alasan dari Arab Saudi untuk pertama kalinya mengirim sebuah film menuju
kompetisi Oscar, karena di satu sisi
Wadjda mampu menjadi inspirasi dengan tampil berani, namun di lain sisi ia
tidak merugikan pihak lain karena tidak terkesan menghakimi. Moral, budaya,
semua diolah oleh Haifaa al-Mansour
dengan cerdas, mungkin sedikit terkesan bermain aman, namun secara efektif
berhasil menyampaikan banyak ide yang ada pada konsep yang ia susun, dari
tekanan, percaya, dan kerja keras yang merupakan bagian kehidupan untuk menuju
kebahagian, bahkan dengan cermat menyuntikkan isu gender dan poligami.
Tapi pilihan
untuk bermain sedikit aman dengan menjaga tiap konflik untuk tidak melewati
batas yang tampaknya sejak awal telah ia tetapkan itu pula yang menjadikan Wadjda pada akhirnya terasa kurang “boom”. Ini seperti kumpulan banyak ide
menarik yang merupakan percabangan dari tema utama, hingga bagian tengah cerita
tampil sangat memikat secara individual dan berhasil menjadi topik yang menarik
untuk dibahas, namun masuk kedalam bagian konklusi tanpa power yang lebih besar
dan lebih kuat, terlalu sederhana dan mengakibatkan after impact yang
sesungguhnya sangat potensial jika melihat cara ia dibangun itu tidak berhasil
mencapai titik tertinggi.
Overall, Wadjda adalah film yang memuaskan. Ini
sederhana, dengan beberapa gambar manis berhasil memberikan nyawa pada tema
kebebasan yang ia usung, menjadikan Waad
Mohammed yang tampil memikat hadir sama nyata dengan petualangan yang juga
sanggup tampil lucu, dengan cara yang cerdas dan cerdik berhasil menjadi
inspirasi maupun kritik yang memikat, walaupun sedikit terkesan bermain aman
dibagian konklusi. Wadjda adalah film dengan ide modern yang dikemas dalam sentuhan klasik. Oscar? Maybe.
wow keren......jadi penasaran siapa nanti yg menang Best
ReplyDeleteForeign Language Oscar :)
bakal keren kalau Wadjda yang menang, juara di percobaan pertama. :)
Delete