Coba anda
perhatikan poster di atas, dua wanita dalam usia yang belum begitu dewasa,
memiliki paras yang manis, menggenggam permen lollipop dengan warna merah
kontras yang mungkin menjadi perumpamaan dari jiwa mereka yang ceria. Benar,
mereka ceria, namun yang menjadi fokus utama ternyata adalah latar gelap yang
berada di belakang mereka, sebuah kehidupan kelam dari dua gadis muda yang
terjerat tindakan kriminal. Violet &
Daisy, ketika crime, action, comedy,
dan drama mencoba untuk bersekutu dalam
sebuah dunia fantasi.
Violet (Alexis Bledel) dan Daisy (Saoirse Ronan), berhasil
melakukan tugas mereka untuk menyelamatkan nyawa seorang pria dengan melakukan
penyamaran dan masuk kedalam markas para penjahat. Ya, mereka masuk, dan aksi
penuh keberanian itu sudah cukup menjelaskan bagaimana kehebatan dua sahabat
ini dalam melakukan pekerjaan yang justru tampak seperti sebuah arena
bersenang-senang bagi mereka. Namun setelah tugas tersebut ternyata Violet
& Daisy memutuskan untuk berhenti sementara dan kemudian memilih berlibur.
Sebuah belokan
terjadi, bermula dari "Barbie
Sunday", majalah yang menjadi sumber kegilaan yang membuat Violet dan
Daisy jatuh cinta pada sebuah gaun. Sayangnya dana mereka terbatas, dan
terpaksa kembali menemui Russ (Danny
Trejo), orang yang memberikan mereka pekerjaan. Tapi ternyata korban mereka
yang berikutnya itu tidak semudah biasanya, dari terjebak permasalahan batin
yang menggoyahkan, hingga fakta bahwa sosok Michael
(James Gandolfini), pria yang sedang punya permasalahan dengan putrinya,
ternyata tidak takut untuk mati.
Violet & Daisy dapat dikatakan sebagai sebuah
upaya hit and miss dari Geoffrey S.
Fletcher, yang tiga tahun lalu meraih Oscar
lewat screenplay adaptasi pada film Precious.
Fletcher dengan berani mengambil resiko, memutuskan untuk bermain di dua warna
cerita, hitam dan putih, ia menghadirkan dua gadis lucu dan imut dari tampilan
luar, namun kemudian memberikan mereka tugas yang berkaitan dengan dunia
kriminal. Tapi anehnya hal tersebut justru berhasil dan menjadikan Violet & Daisy berhasil mencuri
perhatian di bagian awal, seperti menjanjikan sebuah petualangan di dunia
fantasi penuh warna dengan suguhan kisah manis dan pahit yang potensial.
Ya, cukup sulit
untuk tidak jatuh hati pada karakter dengan sifat kontras, manis namun bertindak
brutal, menembaki musuh layaknya sedang beraksi di permainan simulasi, sampai
melakukan penyamaran dengan hal-hal unik dari pizza hingga sepeda roda tiga. Itu belum menghitung banyak plot
lucu yang dihadirkan oleh Fletcher untuk memberikan arena show-off bagi dua
tokoh utama, namun tanpa melupakan keputusan awalnya tadi. Dari black comedy yang ringan, anjing hitam
yang bernama whitey, bermain patty cake,
berseluncur di atas darah, hingga hal ekstrim yang berkaitan dengan pendarahan
internal dan mandi, ringan dan menyenangkan, memang sedikit childish, sayangnya
juga menjadi batas dari nilai positif yang dimiliki Violet & Daisy.
Ada satu hal
yang saya antisipasi sejak awal, film ini akan masuk ke dalam lubang yang
menjerat mati sebuah film korea berjudul Jackal
Is Coming. Mereka punya konsep yang sama, bermain dalam satu ruang,
eksekutor yang hendak menjalankan tugasnya, namun kemudian terjebak dalam
konflik personal dengan korbannya. Jackal
Is Coming mati dibagian tengah, dan Violet & Daisy juga mengalami hal
tersebut, cerita mulai bergerak berputar seperti berada didalam sebuah labirin
sederhana dan hendak mencari jalan keluar, mencoba melakukan pergeseran tema
yang justru menjadikan ia kehilangan irama cerita.
Menyaksikan Violet & Daisy seperti mengamati
penjelasan dari sepuluh bab yang bukannya menjadi satu kesatuan utuh dan kuat
namun mayoritas terlihat berdiri sendiri. Maksud yang ia ingin sampaikan dari
tiap bagian itu sederhana, konflik batin, coming-of-age,
ada pula sedikit sentuhan persahabatan, hingga dua tokoh yang menemukan hal
yang selama ini tidak ia peroleh dari diri satu sama lain. Tapi Geoffrey S. Fletcher berupaya mengganti
fokusnya pada drama emosional, ia bentuk dengan sederhana dan mudah dimengerti,
namun justru di sisi lain menghadirkan sebuah kesulitan bagi penonton untuk
tetap menilai mereka masih stabil, karena walaupun tidak mati namun misi utama
seperti tidak memiliki sebuah kepastian.
Sederhananya
anda akan diberikan konflik A oleh Violet
& Daisy, kemudian masuk ke dalam konflik baru yang didalamnya kemudian
menghadirkan beberapa konflik baru lagi dalam skala lebih kecil, yang walaupun
berhasil menjalankan tugasnya namun tidak mampu tampil sama menariknya dengan
bagian pembuka. Ya, bahkan performa yang mumpuni dari Saoirse Ronan dengan konflik batin yang menawan, Gandolfini sebagai objek penguat konflik
personal, serta Bledel sebagai sosok
yang menjadi variabel pembanding masih tidak mampu menciptakan stabilitas daya
tarik karena mereka tidak dituntun dengan maksimal, tidak diberikan sebuah
jalur yang kuat untuk bergerak.
Overall, Violet & Daisy adalah film yang
cukup memuaskan. Di awal anda seperti dijanjikan sebuah tontonan perpaduan
antara Tarantino dan Wes Anderson, kontras dan cantik, namun
sebuah pergeseran fokus menjadikan ia terjebak. Ini tidak hancur sejujurnya,
namun masalahnya Geoffrey S. Fletcher tahu
bahwa konflik utama yang ia angkat tidak sekuat apa yang pernah ia miliki di Precious, tapi ia justru membentuk tema
disfungsional yang sederhana dan sempit itu kedalam satu ruang bermain yang
sama sederhana dan sempitnya, dan berakhir dengan kehilangan irama dan daya
tarik, meskipun masih terselamatkan oleh black
comedy yang beberapa masih bekerja cukup baik. Boomerang.
min request review romeo & juliet 2013 please.....*rilis 11 oktober nnt
ReplyDeletedouglas booth (´ε` )♡ ♥(ノ´∀`)
@kate ryder jamieson: sudah ditaruh di list. Thanks.
ReplyDeleteNice review. kadang setuju kadang tidak tp banyakan yg setujunya. Good job.
ReplyDelete@SeNO: Thanks. :)
ReplyDelete