“Life is a
journey you never have to take alone.”
Apa yang anda
lakukan ketika sedang dirundung masalah yang begitu berat? Mungkin ada yang
memilih untuk tidur, berlari sambil mendengarkan musik, nonton film, bermain
game hingga membaca, semua berupaya untuk mengalihkan pikiran dari masalah.
Namun itu adalah pilihan tipe satu arah, tanpa memberikan feedback yang dapat
membuka pilihan baru, untuk lepas dari masalah, seperti yang diberikan oleh
sharing. Thanks for Sharing, a dramedy
about 12-Step for Hulk to stab Iron Man from behind and go out with Pepper Potts.
Adam (Mark Ruffalo), Mike (Tim Robbins), dan Neil (Josh Gad), adalah tiga pria
berbeda generasi, namun memiliki satu hal yang menjadikan mereka serupa, sex addict. Adam, sudah lima tahun
sober, perlahan mulai beradaptasi dengan 12 tahapan dalam upaya menyembuhkan
hal yang ia sebut penyakit dan ia anggap lebih memalukan ketimbang pecandu
alkohol dan narkotika sekalipun. Namun
ternyata kehadiran Phoebe (Gwyneth
Paltrow), wanita bergaya hidup sehat setelah lepas dari penyakit,
menjadikan Adam mulai kehilangan irama yang justru menjadikan hal yang awalnya
hanya sebatas saran dari sponsornya Mike itu berubah menjadi beban.
Mike juga punya
masalah, tidak ada kaitannya dengan istrinya Katie (Joely Richardson) dan unsur seks, melainkan anak laki-laki
mereka Danny (Patrick Fugit) yang
mendadak muncul kembali setelah lama hilang, sosok yang Mike anggap merupakan
masalah karena tidak sesuai dengan sistem yang ia terapkan, sistem yang ia
anggap selalu benar. Sedangkan Neil merupakan dokter muda gila seks yang baru
berada di tahap awal proses penyembuhan, tidak menaruh serius dari tiap
pertemuan para pecandu seks yang ia hadiri karena merasa itu hanya sebuah
kewajiban, namun berubah setelah berteman dengan sesama anggota baru bernama Dede (Alecia Moore/Pink).
Ada Ruffalo, ada
Paltrow, namun sesungguhnya yang menjadi daya tarik paling besar dari Thanks for Sharing adalah penulis dan
juga sutradara, Stuart Blumberg, sosok yang tiga tahun lalu bersama Lisa Cholodenko berhasil menjadikan The Kids Are All Right sebagai sebuah
hits tak terlupakan, lesbian, affair, bertumpu pada anak-anak, lucu, tulus, dan
semua terasa hangat. Kala itu tidak ada ekspektasi yang begitu besar, tapi
perlahan potensi itu berubah menjadi kualitas yang terus tumbuh dan berakhir
manis dengan pelukan perpisahan dan senyum. Hal tersebut juga dimiliki oleh Thanks for Sharing, sayangnya hanya
sampai potensi.
Sebenarnya ini
menjanjikan, tiga (atau dua) pria mellow, punya goal yang jelas, berjuang
sekuat tenaga untuk sukses lepas dari kecanduan yang menyiksa psikologis
mereka. Sumbernya adalah keputusan Stuart
Blumberg yang masih menawarkan warna cerita yang santai, tampak natural,
namun masih mampu dengan mudah menyampaikan detail pondasi awal cerita kepada
penonton, paham pada tujuan utama film secara keseluruhan, paham apa positif
dan negative dari masing-masing karakter. Ya, bagian awal Thanks for Sharing terasa sangat ringan, menyenangkan, momen ketika
ambisi yang besar itu belum mengganggu.
Momen itu hadir
disaat Blumberg berupaya merubah warna cerita. Thanks for Sharing seperti menggabungkan warna cyan, magenta, dan
yellow, tiga warna yang ketika berdiri sendiri tampak cerah, bersinar, dan
mudah menarik atensi, tapi ketika berkombinasi menghasilkan warna gelap seperti
hitam dan cokelat tua. Tujuannya memang benar, menciptakan ruang untuk
menyampaikan misi utama dari cerita, namun berada pada timing yang kurang tepat
karena kala itu Thanks for Sharing
masih melayang di dua tema, drama dan komedi, apakah saya harus serius dibalik comedy yang terlalu renyah, atau justru
merasa lucu dibalik konflik serius, bukan hanya menjadikan cerita tampak
bingung juga menjadikan penontonnya ragu pada warna utama dari cerita yang
sejak awal sudah terasa cukup dangkal itu.
Dangkal, dan ia
kurang klik dengan tugas yang ia emban untuk menopang ambisi besar tadi. Pelajaran
tentang hidup dan cinta dikemas dalam script yang kaku, tidak berdiri kokoh,
dan menjadikan ide-ide tentang kecanduan yang sesungguhnya manis itu seperti
tidak terjalin dengan menarik, menumpuk, dan perlahan monoton. Yap, film ini
tidak membawa anda sebagai penonton kedalam sebuah cerita yang pada akhirnya
menjadikan anda mendapatkan pelajaran yang mengasyikkan dari sebuah ruang
layaknya diskusi, dimana dia melempar, dan anda menangkap. Ini lebih terasa seperti
menyaksikan tiga orang guru yang jenaka namun bercerita didepan kelas tentang
kisah personalnya yang kelam dalam upaya membuat anda bersimpati padanya dengan
cara yang kurang tepat.
Editing yang
berantakan merupakan sumber utama sisi hitam yang film ini miliki. Thanks For Sharing seperti berupaya
menyampaikan semua materinya yang tampak gemuk itu secara total, coba ia bagi
sama rata pada tiga bagian, hasilnya banyak terjadi lompatan cerita diantara
ketiganya. Itu memang bukan hal yang tabu, asalkan tidak mengganggu, hal yang
terjadi pada film ini. Anda mendapatkan sketsa, kemudian berpindah ke sketsa
lainnya, menciptakan ruang yang terlalu singkat untuk memperdalam cerita hingga
karakter, padahal tema utama yang ia lempar sangat membutuhkan hal terakhir itu
untuk dapat menarik simpati penonton.
Sederhananya Thanks for Sharing adalah film yang
bermain terlalu aman untuk tema yang punya peluang sangat besar untuk menjadi
kemasan provokatif yang menarik. Thanks for Sharing penuh dengan hitam putih,
ambisi besar namun pondasi dangkal, cinematography yang mumpuni, namun score
kerap menjadi sumber hilangnya irama cerita. Sayang memang, padahal Ruffalo dan Paltrow, serta Josh Gad
dan Tim Robbins tampil baik, namun
tidak dapat digali lebih dalam akibat materi dan kesempatan terbatas yang
mereka dapatkan.
Overall, Thanks for Sharing adalah film yang
kurang memuaskan. Tujuan utama dari kehadirannya sangat mudah dipahami, namun
ia tidak mampu membangun tujuan tersebut menjadi sebuah hiburan yang membagikan
pelajaran yang bermakna kepada penontonnya. Berdurasi 112 menit, hampir dua
jam, ia gemuk namun kurang padat, ini terlalu datar untuk cerita yang menaruh
fokus pada konflik batin.
0 komentar :
Post a Comment