Apakah anda
pernah mengalami hal ini, menyaksikan sebuah film yang di setiap adegan baru
yang ia tampilkan selalu tersirat upaya untuk terus menerus menjadikan anda
melihat ia sebagai sesuatu yang impresif, atau setidaknya menjadi semakin
tertarik pada cerita yang ia bahas. Runner
Runner masuk kejalur tersebut, namun celakanya justru terjerumus menuju
arah negative dari upaya tadi yang ia coba terapkan, bekerja keras namun gagal,
an uncompelling crime drama thriller.
Richie Furst (Justin Timberlake), seorang
mahasiswa di Princeton University, menghadapi fakta bahwa ia terancam untuk di
keluarkan dari kampusnya karena menggunakan uang kuliahnya pada permainan yang
semakin marak sekarang ini, poker online.
Berawal dari jiwa pemberani Richie yang dengan penuh keyakinan menggunakan
semua uangnya pada sebuah situs bernama Midnight
Black justru berakhir bencana, walaupun pada akhirnya Richie tetap
bersikukuh bahwa ia tidak salah, melainkan telah ditipu oleh website tersebut,
yang kemudian membawa ia masuk kedalam misi yang lebih besar.
Menuju Kosta Rika, melalui bantuan Rebecca Shafran (Gemma Arterton), Richie
bertemu dengan Ivan Block (Ben Affleck),
seorang jutawan kaya raya pemilik bisnis poker. Tapi bukannya kesal, Ivan
melihat ada sesuatu dalam diri Richie yang dapat membawa ia menuju kesuksesan
yang lebih besar, dan kemudian menawarkannya pekerjaan dengan tanggung jawab
dan keuntungan yang berdiri sejajar. Ya, singkatnya Richie sukses, namun tanpa
ia sadari ia adalah pion yang berada diantara dua kubu, antara Ivan dan seorang
pria bernama Shavers (Anthony Mackie).
Premis diatas
cukup menarik bukan? Ya, bahkan sulit untuk mengatakan bahwa pondasi yang ia
lemparkan tidak memiliki potensi sedikitpun untuk dapat menghibur. Dan tidak
seperti biasanya, sulit untuk mengisi bagian pembuka ini dengan kelebihan
ataupun keunggulan yang dimiliki oleh Runner
Runner, karena ia tidak memiliki hal tersebut dalam skala besar yang mampu
tinggal di memori anda ketika ia berakhir. Semua itu akibat komposisi hambar
dan datar yang ia berikan kepada anda sepanjang 91 menit, sebuah audisi yang
membosankan. Benar, audisi, seperti yang saya katakan di bagian awal tadi,
ibaratkan saja anda seorang juri, dan setiap kepingan materi yang dimiliki Runner Runner sebagai peserta yang
mencoba membuat anda tertarik pada mereka.
Celakanya,
setiap peserta tampil dengan lagu yang sama, dengan cara penyampaian yang
semuanya tetap saja standard. Bukankah itu membosankan? Tidak, namun
menjengkelkan, sebuah penantian pada sesuatu yang lebih menarik namun sayangnya
tidak kunjung tiba. Ada mobil mewah, kapal-kapal yang impresif, hingga jet
pribadi, Brad Furman justru
menjadikan script lemah dan berantakan dari Brian
Koppelman dan David Levien
menjadi kemasan dengan nafas Ocean’s film tapi berakhir menjadi versi yang
lebih bodoh.
Oke, sedikit
nilai positif mungkin terletak pada setting yang cukup mampu membuat mata anda
terhibur dengan memanfaatkan pemandangan, tapi selain itu ini adalah kemasan
berantakan yang membingungkan, bahkan tanpa nyawa. Premis menarik itu diolah
dengan cara yang dangkal, dari alur yang predictable, hingga karakterisasi yang
tumpul dan tidak mampu menjadikan anda tertarik pada tokoh dalam cerita yang
terasa tak bernyawa. Namun masalah utamanya berasal dari Brad Furman yang tampak tidak percaya diri, dan uniknya tidak mampu
menutupi rasa bingungnya pada cerita yang kemudian menjadikan Runner Runner perlahan kehilangan nafas
dan mati.
Ide yang ia
miliki sama dangkalnya dengan premis yang ia punya. Anda akan sering menemukan
cerita stuck di banyak bagian, narasi loyo yang tampak bingung untuk meneruskan
petualangan itu dengan cara apa, dan kemudian menghadirkan elemen-elemen yang
bukannya membuat ia tampak cerdas tapi sebaliknya. Satu pertanyaan yang kerap
muncul selama menonton adalah, “apakah ini thriller?” Datar, dan itu dominan.
Ketika party tidak tampak kebahagian, ketika mencekam tidak hadir suasana
tegang, bahkan adegan seks saja tidak memiliki gairah yang mumpuni.
Ya, bagaimana
bisa suatu film menjadikan penontonnya perlahan semakin merasa tertarik jika
untuk membangun antusiasme pada diri
sendiri saja ia tidak mampu. Tidak perlu menunggu hingga akhir, sebelum paruh
pertama saja film ini sudah mati. Yang tersisa hanyalah sebuah penantian
bagaimana ia akan berakhir (yang celakanya juga tidak menarik, walaupun hal tricky itu punya potensi besar),
menyaksikan seorang mahasiswa yang dengan penuh rasa bingung dan kurangnya
percaya diri berjalan-jalan dalam masalah yang dikelilingi materi mewah dan
uang berlimpah.
Justin Timberlake adalah pilihan yang tepat jika
ia ditempatkan pada tugas sebagai sosok scene
stealer, namun hal sebaliknya berlaku jika ia bertindak sebagai tokoh utama
yang berjalan dalam cerita tanpa fokus utama pada elemen romantisme. Jangankan
untuk menuntun penontonnya keluar dari misteri, ia menjadikan Richie justru
tampak bingung dengan misteri yang ia miliki. Saya adalah fans Gemma, tapi
disini ia tampil tidak memuaskan. Sedangkan Ben
Affleck justru menimbulkan pertanyaan, apa tujuannya ikut serta dalam
proyek ini jika pada akhirnya performa yang ia berikan lewat karakter Ivan
tampak jauh dari kesan totalitas yang mumpuni.
Overall, Runner Runner adalah film yang tidak
memuaskan. Kita mungkin akan mengalami hal yang sama, terkecoh dari pemeran
yang berpotensi untuk mendongkrak film ini menjadi sebuah kemasan yang potensial. Jika
anda salah satunya maka bersiaplah kecewa, bukan karena upaya ia untuk tampil
megah namun gagal, apalagi tidak mampunya ia menciptakan dinamika sebuah film
thriller, Runner Runner sudah gagal
sejak bagian awal, tidak mampu menjadikan anda sebagai penonton dapat melihat bahwa cerita
yang ia punya memiliki nyawa.
Dari judulnya saja sudah terlihat sangat buruk..
ReplyDelete@Yunus Sanusi: Imo sih gak buruk, tapi lebih jadi beban buat ceritanya. :)
ReplyDelete