"Pray for the best, prepare for the worst."
Segala sesuatu
yang sudah masuk ke lingkup emosi punya potensi yang cukup besar untuk berakhir
pada titik terdalam atau tertinggi, baik atau buruk, bahagia ataupun hancur.
Titik terlemah dari setiap manusia mayoritas berkaitan dengan emosi, mampu
menjadikan mereka lepas kontrol hingga kehilangan rasa peduli. Prisoners, thriller investigasi dengan
beberapa plot yang cerdas, psikologis yang obsesif, aksi prosedural yang tidak
berhasil meraih potensi tertinggi.
Keller Dover (Hugh Jackman), pria tangguh
yang selalu antisipatif dalam segala hal, bersama dengan istrinya Grace Dover (Maria Bello) dan kedua anak
mereka, Ralph (Dylan Minnette) serta
si mungil Anna (Erin Gerasimovich)
memutuskan untuk merayakan hari Thanksgiving
di rumah tetangga karib mereka, Franklin
Birch (Terrence Howard) dan Nancy
(Viola Davis), agar kedua anak mereka dapat bermain dengan sahabatnya,
Ralph dengan Eliza Birch (Zoe Borde),
dan Anna bersama Joy Birch (Kyla Drew
Simmons). Tapi momen yang seharusnya menjadi acara berkumpul yang
menyenangkan itu mendadak berubah menjadi malapetaka.
Empat anak tadi
berjalan di sekitar rumah yang sedang dingin, kemudian menemukan sebuah mobil
RV yang terparkir mencurigakan milik seorang pria bernama Alex Jones (Paul Dano). Celakanya, momen tersebut menjadi saat
terakhir bagi Ralph dan Eliza melihat kedua adik mereka, karena setelah itu
Anna dan Joy menghilang. Tidak puas dengan kinerja Detektif David Wayne Loki (Jake Gyllenhaal) yang ia anggap bekerja
lambat, Keller memutuskan bergerak sendiri, dalam kepanikan yang kemudian
berubah menjadi tekanan besar, yang akhirnya kembali bertransformasi dalam
bentuk rasa putus asa.
Ketika melangkah
keluar studio satu pertanyaan muncul, sejak awal saya tidak tahu berapa durasi
film ini, dan terkejut ketika tahu film ini baru saja berjalan selama 153
menit. Ya, terkejut, karena dua jam lebih itu terasa singkat berkat kemampuan Denis Villeneuve memenjarakan anda dalam
cerita. Benar, sama seperti judulnya, Prisoners
punya kemampuan yang begitu kuat untuk menahan anda dalam sebuah kasus
penculikan dengan thrill naik dan turun dalam interval yang tidak begitu besar,
terus bergerak dengan penuh misteri, sebuah kekacauan yang dikemas dengan rapi.
Tidak perlu melibatkan Mystic River,
Zodiac, hingga Silence of the Lambs,
Prisoners bergerak di jalur yang sama
dengan Incendies, tapi sayangnya
hanya setingkat dibawah dalam hal kualitas.
Salah satu
kelebihan yang menyelamatkan Prisoners
dari kemungkinan berakhir menjadi sebuah thriller standard adalah kemampuan Denis Villeneuve menyusun cerita dengan
sangat rapi, yang juga anehnya dibalik gerak lambat yang ia hadirkan itu akan
mampu membuat anda terus sabar menanti. Itu belum menghitung bantuan dari cinematography garapan Roger Deakins dengan komposisi gambar
yang tidak kalah rapi, teratur dalam menciptakan beberapa ketegangan dibalik dingin dan
suramnya kota Pennsylvania dalam
cerita. Nah, hal tersebut pula yang mungkin menjadi penyebab banyak penonton kemudian
terjerat, seperti terbawa arus, dan akhirnya tidak begitu mempersoalkan cerita
yang sebenarnya sedikit berbelit-belit dalam gerak mondar-mandir itu.
Fokus yang ia
miliki sederhana atau mungkin dapat dikatakan sempit, dari penculikan, kemudian
sedih, menjerat psikologi dengan kemungkinan ledakan, tapi materi itu dibangun
terlalu gemuk oleh Aaron Guzikowski.
Ini memang sebuah labirin yang menarik, tidak ada plot yang terbuang percuma, terus
membuat anda mencoba menebak, namun keputusannya untuk sedikit mengulur waktu
dalam gerak lambat yang mungkin sebagai upaya untuk membuat cerita semakin
kompleks atau menjadikan anda semakin terhanyut itu kemudian merusak.
Sederhana, banyak petak dalam labirin cerita, terjerat, tekanan berkurang,
tidak hadir desakan untuk segera, ya, segera menemukan korban, dan berakhir
pada daya cengkeram cerita yang jatuh.
Ya, mungkin
durasinya sendiri yang dikemas cukup panjang itu merupakan upaya untuk
membangun secara bertahap kehancuran emosional, berhasil, namun memberikan
dampak negatif. Anda akan mengerti bahwa permainan berbelit-belit yang ia pakai
itu sebagai jalan untuk membawa anda menuju bagian penutup yang tidak dapat
dipungkiri berhasil tampil memikat, namun cukup sulit untuk merasakan
cengkeraman dari kasus utama di pertengahan
cerita, secara stabil. Rasa putus asa tidak kuat, konflik internal batin
juga kurang mampu hadir untuk mencuri perhatian, anda justru akan mulai
merasakan hal lain yang karakter rasakan, mulai sedikit lelah dalam aksi
menebak yang tidak dibuka dengan lebar itu.
Betul, sedikit
tertutup dan kurang mampu menaruh penonton untuk ikut serta dalam cerita, Prisoners memilih bermain pada sebuah
ekplorasi dari kehancuran yang gelap bernuansa muram, hal yang akhirnya
menjadikan ending yang sebenarnya merupakan salah satu dari tipe favorit saya
itu tidak begitu berhasil menutup kisah panjang ini di titik tertinggi. Ya,
padahal ia berhasil menggambarkan dengan sangat sangat baik bagaimana dibalik
tubuh atau mungkin perawakan yang kokoh dan perkasa sekalipun setiap manusia
pasti punya sisi emosional yang lemah, bagian yang dengan sedikit tekanan dapat
merubah seseorang berbalik 180 derajat, dari puppy yang jinak menjadi sesosok serigala buas yang menakutkan dan
bergerak liar tanpa peduli semua yang ada disekitarnya.
Menghadirkan
script tricky, adalah sesuatu yang tricky. Prisoners
adalah contoh dari sebuah kemasan script manipulatif yang berhasil, ia rapi,
namun sayangnya seiring berkurangnya kepadatan ia akibat kehadiran red herring
yang cukup banyak dalam upaya mengalihkan masalah, perlahan nafasnya seperti
mengendur dan hal serupa juga dialami oleh cerita yang mengalami beberapa minus
minor. Fokus pada dua tokoh utama pria, dan dengan berani mengesampingkan
pemeran pendukung lainnya, termasuk para istri, yang sesungguhnya dapat
dipergunakan untuk lebih memperdalam konflik emosional, menjadikan ini semua
tergantung pada Jackman dan Gyllenhaal, bahkan ketika mereka mulai menurun
sekalipun tidak ada bantuan yang diberikan untuk menjadi cover dalam upaya
mempertahankan daya tarik yang telah ia ciptakan dibagian awal.
Jackman mungkin
bertindak sebagai pemeran utama, namun Jake
Gyllenhaal adalah pencuri atensi, sebuah penawar yang manis dalam cerita,
tokoh yang memadukan tato salib dengan cincin freemason, kemudian menerima beban dari banyak arah, yang dengan
tindakan prosedurial berhasil membuka masuk jalan frustasi bagi tokoh utama.
Jackman sendiri memainkan Keller layaknya perpaduan Jean Valjean yang sendu dengan Wolverine
yang ganas, dan keduanya berkombinasi dengan baik. Ya, divisi akting sangat kuat,
memberi nilai positif cukup besar, yang mungkin dapat semakin memuaskan andai
saja Terrence Howard, Viola Davis, Maria
Bello, hingga Mellissa Leo dapat
memperoleh screentime yang sedikit saja lebih banyak karena peran mereka dalam
cerita juga potensial.
Overall, Prisoners adalah sebuah film yang
memuaskan. Sebuah misteri sederhana yang kemudian dijahit dengan rapi,
menghasilkan sebuah tontonan berdurasi hampir dua setengah jam yang jauh dari
kata membosankan. Sayangnya ada satu keputusan yang menjadikan ia masuk ke
dalam kategori film misteri yang sulit untuk saya cintai, menawarkan misteri
tanpa membuka jalan masuk bagi penontonnya untuk setidaknya bergerak lebih
dekat pada harta karun yang ia sembunyikan. Jika anda suka dengan film yang
hanya menyuapi anda dengan misteri serta menuntun tanpa melepaskan anda
sepanjang ia berjalan, Prisoners
adalah pilihan yang, sangat tepat.
wow, good review. makasih ya :D
ReplyDelete