Apakah menjadi
dewasa adalah sebuah proses alamiah dimana ia akan muncul dan menghampiri anda
ketika saatnya telah tiba, atau justru merupakan sesuatu layaknya harta karun
yang hanya dapat anda dapatkan dengan berupaya untuk menemukannya. Enam tahun
berlalu, mereka kembali, film ketiga dari The
Three Flavours Cornetto trilogy, Simon
Pegg dan Nick Frost, tidak ada
zombie, tidak ada polisi gila, hanya dengan obsesi pada beer dan masuk kedalam
petualangan sci-fi comedy dengan sentuhan apocalypse, The World's End, menyenangkan.
Dua dekade yang
lalu, tepatnya di tahun 1990, dikala ia masih berada di jenjang sekolah, Gary King (Simon Pegg) membangun sebuah
misi dengan tema beer. The Golden Mile, sebuah tantangan untuk mengitari kota
Newton Haven dengan tugas untuk mencoba semua bir di 12 pub yang telah tertera
dalam peta. Misi itu gagal, dan
kini Gary berniat untuk menuntaskan
tantangan tersebut yang celakanya ingin ia lakukan bersama empat orang
sahabatnya kala itu, Peter Page (Eddie
Marsan), Oliver Chamberlain (Martin Freeman), Steven Prince (Paddy Considine),
dan Andy Knightley (Nick Frost).
Tapi tidak
seperti Gary yang masih hidup dalam jiwa yang belum juga dewasa, empat
sahabatnya itu telah mencapai level tersebut, dan setelah sedikit dipaksa
akhirnya mau ikut bergabung dengan alasan persahabatan. Dampaknya, petualangan
itu tidak lagi menyenangkan karena bumbu paksaan yang begitu kental, sampai
akhirnya Gary dan teman-temannya mulai menemukan sesuatu yang telah terjadi di
kota tersebut, dari kondisi yang masih sama, masyarakat yang tampak kurang
peduli, dan membawa mereka kedalam sebuah invasi yang berasal dari konspirasi asing. Namun yang menjadikan mereka semakin runyam ternyata itu tidak
menjadi concern Gary, yang masih fokus pada misi utamanya.
The World's End dibuka dengan cara yang efesien
namun efektif, sebuah montage yang
berhasil menjabarkan dengan singkat kepada penonton backstory yang menjadi awal
mula petualangan pada hampir dua dekade yang lalu, berhasil membentuk lima
karakter dengan sangat baik mungkin mengingat waktu yang ia gunakan pada bagian
tersebut kurang dari empat menit. Dari bagaimana kehebatan seorang Gary pada
tahun 1990, hingga mimpi yang belum terwujud, ada sebuah proses perkenalan yang
menyenangkan di bagian pembuka, dan lucunya keberhasilan itu tidak berhenti
disitu.
Edgar Wright membentuk script yang ia tulis bersama Simon Pegg menjadi seperti sebuah
kombinasi dari apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Zombie kali ini ia ganti
dengan sesuatu yang lebih canggih, masih masuk kedalam sebuah kota kecil dengan
kondisi yang canggung, kemudian pergerakan liar dengan score yang menyenangkan.
Shaun of the Dead, Hot Fuzz, kemudian
sedikit sentuhan warna seperti Scott
Pilgrim vs. the World. Ini menghibur, namun juga cukup mengganggu. The World's End seperti sebuah kemasan
yang dirakit menggunakan materi lama, berikan sedikit perbaikan di beberapa
bagian minor, dan voila, hasilnya masih baik namun bagi mereka yang telah
mengikuti kombinasi Pegg-Frost hal ini mungkin akan terasa kurang segar.
Ya, Ini memang
seperti dongeng, meminjam kembali formula yang telah ia pakai di dua film
pertamanya, dari melompati pagar, sampai menuang bir yang sering hadir. Namun
ini adalah contoh bagaimana sebuah eksekusi sederhana tetap mampu tampil
menarik berkat fokus yang terjaga dengan baik. Plotnya tidak begitu halus,
transisi perpindahan cerita juga sama tidak semuanya halus, pengembangan dari
karakter yang telah diberikan pondasi mumpuni itupun tidak begitu besar dan
dalam, tapi Wright tahu bagaimana cara menggabungkan hal-hal tersebut dalam
beberapa warna genre namun tidak saling membunuh. Drama yang ia punya tetap
hidup, komedi tidak begitu dominan namun tetap mampu memberikan nafas lucu pada
cerita meskipun berada di titik terendah sekalipun, hingga sci-fi dan action yang
kehadirannya tetap konsisten pada tugas yang ia emban.
Keputusan Edgar Wright untuk tampil dalam kemasan
yang sedikit lebih kompleks dan lebih dalam tidak berakhir mengecewakan karena
ia mampu memadukan formula standard dengan kejutan-kejutan menyenangkan. Ada
persahabatan, tanggung jawab, tokoh yang tampak bahagia hanya dari luar, hingga
kemudian bertumbuh dari kisah masa lalu, dan tiba di tema sci-fi yang ringan
namun tetap mampu menjadi arena baru bagi Wright untuk menarik sebuah
kesimpulan yang tepat guna dari semua susunan yang ia telah bangun sebelumnya.
Narasinya
sendiri bergerak cepat dan cukup stabil. Tapi The World's End kerap kali terasa terhenti dibeberapa bagian,
kurang begitu yakin apakah itu keputusan untuk memainkan tempo cerita atau ada
tujuan lain namun yang pasti hal tersebut menjadikan kegilaan yang lima pria
itu ciptakan seperti putus sambung yang menggerus kenikmatan alur cerita dalam
skala kecil. Ini mungkin tampak gambling karena The World’s End masih menerapkan tipe komedi yang sama sehingga
punya kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil tampil menghibur bagi mereka
yang telah menyaksikan dua film sebelumnya, bukan karena cerita yang bahkan
tidak memiliki hubungan yang kuat, namun lebih kepada warna cerita terutama
joke dan lelucon dari Pegg dan Frost.
Dari divisi
akting, kombinasi Simon Pegg dan Nick Frost masih kokoh, chemistry mereka
yang kali ini tidak dibangun dengan mencolok masih dapat anda rasakan. Yang cukup
disayangkan adalah terlalu dominannya Pegg kali ini, menjadikan Frost seperti
ikut terjebak bersama Eddie Marsan,
Martin Freeman, dan Paddy Considine
di level kedua akibat pengembangan karakter yang sejak awal memang tidak begitu
luas. Tapi sebagai sebuah tim, lima pemeran ini tampil memikat, terutama cara
mereka mengolah humor kering yang masih mampu terasa renyah. Bill Nighy juga
cukup baik dengan suaranya di bagian penutup, sedangkan Rosamund Pike hanya sebagai tempelan.
Overall, The World's End adalah film yang
memuaskan. Masih dengan script yang kuat, penuh dengan lelucon yang tidak
murahan, lucu, dan mudah dipahami, The
World's End berhasil menjadi petualangan yang fokus, penggabungan invasi
dan apocalypse yang tidak berlebihan,
menggambarkan bahwa menjadi dewasa tidak bisa hanya dengan menunggu namun juga
disertai upaya dan usaha. Ini lebih gelap, lebih berat, dari tingkat kelucuan
juga tidak berkembang begitu besar, namun ia masih menghibur, dan sama seperti
apa yang telah dua pendahulunya pernah lakukan sebelumnya, The World's End berhasil menjadi sebuah film yang mengesankan.
0 komentar :
Post a Comment