“You keep what
you kill.”
Vin Diesel adalah aktor yang menyandang status
sulit. Sulit untuk membencinya, ia mampu menjadikan Xander Cage, Toretto, hingga Riddick
menjadi karakter yang ikonik, namun sulit pula untuk benar-benar mencintai
kualitas aktingnya karena ia seperti tidak mampu untuk mencoba naik ke level
yang lebih tinggi dari yang telah ia raih sekarang, seperti terjebak dalam tiga
karakter tadi. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan kehadiran Riddick, sudah tertidur Sembilan tahun,
apakah masih penting? Atau sebagai tanda bahwa Vin Diesel sudah kehabisan
karakter?
Setelah
dikhianati oleh kaumnya, The Necromongers,
Riddick (Vin Diesel) kini menghuni
sebuah planet terpencil. Bangkit dari kematiannya, hal pertama yang coba di
lakukan olehnya adalah menempa kembali kemampuannya, bertahan hidup di
lingkungan yang dipenuhi monster berbentuk kalajengking, hingga memelihara
seekor binatang menyerupai anjing. Namun Riddick sadar bahwa ia tidak bisa
selamanya hidup di planet itu, dan memutuskan menuju sebuah bangunan dimana
suar darurat diletakkan, dan mengirimkan pesan
untuk menarik tentara bayaran agar datang ke planet itu.
Santana (Jordi Mollà), seorang
pemimpin pasukan yang sombong dan penuh percaya diri, bersama pasukannya tiba
di planet itu, dan langsung membangun alat pendeteksi gerak disekitar bangunan
tadi untuk menangkap Riddick. Namun tidak lama kemudian muncul satu pesawat
lainnya, dibawah komando Johns (Matt
Nable), yang pernah punya masa lalu kelam terhadap Riddick, seorang wanita
bernama Dahl (Katee Sackhoff), dan
beberapa anggota lain. Tanpa mereka sadari pertemuan yang berujung persaingan
sengit itu merupakan rencana lain Riddick dengan memanfaatkan keahlian miliknya
yang ternyata belum mati, sabotase.
Harapan bagi
mereka yang telah menyaksikan dua film terdahulunya terhadap Riddick mungkin sudah mulai menghilang,
film pertamanya masih punya kemampuan untuk menjadi guilty pleasure, namun
rusak akibat film keduanya yang dapat dilabeli kurang berhasil jika tidak ingin
disebut kacau. Nah, David Twohy seperti
sadar dengan hal tersebut, dan memberikan anda sebuah kejutan dibagian pembuka.
Seperti tidak mau ambil resiko dengan meneruskan apa yang telah ia ciptakan di The Chronicles of Riddick, Twohy
mengembalikan film ini ke dalam formula Pitch
Black. Aksi observasi yang fokus, minim dialog, namun tetap mampu membangun
rasa penasaran pada apa yang akan terjadi selanjutnya, ini menarik, awalnya.
Benar, Riddick sejujurnya sangat menarik
dibagian awal, terlebih ketika ia masih berputar dalam upaya menghidupkan kembali
sosok Riddick. Namun semakin jauh ia
berjalan semakin terasa bahwa Riddick
hanyalah sebuah daur ulang dari film pertamanya, berisikan materi-materi yang
kurang matang dan berjalan di ruang bermain yang sempit. Yap, anda sudah dibuat
penasaran di bagian pembuka, berharap akan ada sebuah kejutan, tapi harus puas
mendapatkan cerita yang terjebak dalam permainan petak umpet yang berjalan di
alur yang terasa lemah dan tidak meyakinkan. Anda tidak bingung, tapi anda
dapat melihat bahwa film ini yang justru bingung.
Jika harus
menggunakan perumpamaan, Riddick
seperti mengurai sebuah tumpukan benang yang kusut. Memang tidak ada lagi
kisah-kisah kurang menarik, anda akan diajak untuk fokus pada perjuangan
Riddick mensukseskan rencananya, namun masalahnya David Twohy, Oliver Butcher,
dan Stephen Cornwell tidak berhasil
membangun konflik pendukung (yang sebenarnya punya potensi itu) untuk mewarnai
lingkungan sekitar Riddick agar berfungsi ikut menjaga film ini tetap menarik.
Apakah kehabisan ide, atau cara yang dipergunakan salah, ini seperti
menyaksikan dua dunia, Riddick yang
sibuk dengan aksi sabotasenya, dan dua kelompok yang bertikai, asyik saling
ejek satu sama lain. Akibatnya, kehangatan dan rasa penasaran yang dimiliki
cerita di bagian awal justru berubah menjadi aksi-aksi membosankan.
Apa saja? Mulai
dari CGI miskin yang tidak mampu
menggambarkan latar sebagai sebuah planet terpencil, dibalut dengan nuansa
gelap dan terang yang kerap kali menyiksa mata, visual efek lemah, dan dialog
yang dangkal. Riddick maish punya
banyak kekurangan, plot yang kurang inovatif, cerita yang kurang dinamis,
melengkapi statusnya sebagai sebuah sekuel yang kehadirannya kurang begitu
penting. Ya, Riddick punya potensi
yang imo cukup mumpuni untuk eksis kembali dengan nafas positif, namun
sayangnya kurang berhasil di eksekusi dengan baik oleh David Twohy, tidak keseluruhan, tepatnya di paruh akhir durasinya
yang ambisius itu (118 menit).
Anda jelas masih
dapat melihat sosok Riddick dalam diri Vin
Diesel, walaupun sudah tertidur hampir satu dekade, dan itu satu nilai
positif bagi Vin Diesel. Sayangnya, seperti yang saya singgung di paragraph
pembuka, Riddick tidak menawarkan perkembangan yang signifikan dari kualitas
akting Diesel. Selain Diesel mungkin Jordi
Mollà yang mencuri perhatian mengalahkan Matt Nable, anda dapat melihat sosok menyebalkan dalam karakter
yang ia mainkan. Scene stealer menjadi milik Katee Sackhoff, yang sebenarnya secara eksplisit banyak
dimanfaatkan oleh untuk menambal cerita ketika ia stuck.
Overall, Riddick adalah film yang kurang
memuaskan. Saya sangat bahagia dengan cara ia memulai kembali kehidupan Riddick, namun tidak berhasil tertarik
setelah ia mulai menjalankan rencananya, semakin merasa jengkel ketika
mendapati bahwa ia sebenarnya hanya punya kisah yang sempit dibalik durasinya
yang cukup besar itu. Anda mungkin tidak akan kecewa jika ekspektasi anda cukup
rendah, namun jika anda mencari kebangkitan kembali sosok lama dalam bentuk
yang kuat dan memikat, mungkin anda akan kecewa. Sebuah sekuel yang tidak mampu
menjadikan kehadirannya terasa penting.
0 komentar :
Post a Comment