Oh Boy adalah sebuah sensasi bulan april
yang lalu pada perhelatan German Film
Award yang diberi label sebagai Oscar bagi perfilman Jerman. Berhasil
memenangkan enam perhargaan dari sembilan nominasi yang ia peroleh, menundukkan
kompetitor mega budget bernama Cloud
Atlas hingga Lore dalam kategori
best film, yang menarik ini justru adalah film debut dari sutradara bernama Jan-Ole Gerster. Terinspirasi dari lirik
A Day in the Life milik John Lennon, Oh Boy adalah petualangan tragicomedy
selama satu hari yang absurd, ringan, dan menyenangkan, ketika tragis dan melankolis berpadu dengan manis.
Niko Fischer (Tom Schilling), seorang pria
yang sudah lewat dari tahap awal periode usia 20 tahun, adalah sosok yang
kacau. Ya, sederhananya memang begitu, menghabiskan kesehariannya didalam
apartement, mengaku pada ayahnya bahwa ia masih menjalani masa studi padahal
faktanya sudah mengalami drop-out
hanya karena upaya agar tetap mendapatkan sokongan dana, seperti mati segan
namun hidup tak mau dengan menjalankan aktivitas tanpa motivasi. Tapi suatu
hari sepulangnya dari mengunjungi seorang psikiater, Niko masuk kedalam
petualangan yang berbeda.
Hanya karena
keinginannya untuk dapat minum kopi yang tidak kesampaian, Niko justru dapat
bertemu dengan banyak orang yang selama ini tidak ia dapatkan, dari tetangga
baru yang menyebalkan, jalan bersama sahabatnya Matze (Marc Hosemann), hingga bertemu seorang wanita bernama Julika Hoffmann (Friederike Kempter).
Hebatnya itu bukan perjalanan yang biasa, karena dari sana Niko menemukan
banyak hal baru yang pada akhirnya menjadikan ia sadar bahwa apa yang selama
ini ia lakukan adalah sebuah tindakan yang salah.
Sebagai pembuka,
anda mungkin akan sulit menemukan tawa skala besar sekalipun Oh Boy mengklaim bahwa ia adalah sebuah
film komedi. Oh Boy hanya kebalikan
dari itu, yang kemudian ia gabungkan dengan menghadirkan sebuah petualangan
yang ringan dan nyaman, sebuah proses pengamatan yang tidak menyiksa dari
pergerakan karakter yang sedang tersiksa. Benar, salah satu cara sederhana
untuk menilai sebuah film bagus atau tidak adalah kemampuan ia untuk menjadikan
anda tidak melihat jam dalam upaya mengetahui sudah seberapa jauh ia berjalan,
dan Oh Boy tidak memiliki itu.
Karakter
anti-hero, berjalan selama satu hari dengan fokus untuk memenuhi hasratnya
meminum secangkir kopi yang selalu menemui hambatan yang justru secara periodik
membawanya masuk kedalam konflik-konflik kecil yang dengan menggunakan
permasalahan disekitarnya sebagai pembanding yang kemudian berhasil membuka
mata Niko bagaimana dibalik kehidupannya yang masih “aman” itu ia sesungguhnya
telah menjadi sosok yang pasif, sikap santai, tanpa ambisi, dan lebih banyak
diam yang justru mulai membawanya menuju sebuah kehidupan yang berantakan.
Putus dengan
pacar, permasalahan kartu kredit, bertemu teman lama, hingga golf humiliated, Jan Ole Gerster pintar dalam menciptakan berbagai situasi lucu yang
mungkin tidak terlalu umum namun mampu mengundang tawa dalam bentuk yang
sederhana dengan lebih mengedepankan sisi ironi dari tiap karakter untuk
menjadikan anda menilai bahwa itu lucu. Hal tersebut juga banyak terbantu oleh
salah satu kekuatan Oh Boy itu
sendiri yang terletak pada betapa besarnya kekuatan dari masalah yang ia coba
angkat untuk dapat menjadikan penonton menaruh simpati dan empati pada karakter
utama.
Oh Boy mungkin
tidak memberikan nilai-nilai dari pesan utama yang ia emban sejak awal secara langsung ketika ia berjalan
akibat caranya yang begitu ringan dan santai itu. Tapi ia punya after effect
yang cukup besar, mampu menjadikan anda untuk mencoba mengingat kembali apa
yang baru saja anda saksikan, mengaitkan satu dengan yang lain, dan kemudian
menyadari betapa banyak dalam hal kuantitas pesan yang ia berhasil sampaikan
lewat adegan-adegan singkat yang dibangun dalam bentuk narasi yang sederhana
itu.
Benar, dalam
durasinya yang singkat, 83 menit, Oh Boy
punya banyak konflik yang berhasil Jan
Ole Gerster satukan dalam bentuk yang padat namun efektif. Ini mengejutkan,
karena Oh Boy sebenarnya punya
potensi untuk digali jauh lebih dalam lagi di tiap konflik tadi, namun
keputusan Gerster untuk tidak mau bergerak terlalu jauh juga yang menjadikan
kisah absurd itu tidak menghadirkan dinamika cerita yang merusak kenikmatan
menonton, berhasil menyentuh dan menghibur sama baiknya, sehingga petualangan
yang mungkin akan tampak seperti tidak memiliki tujuan dengan beberapa plot
yang disengaja ini tetap mampu menarik atensi.
Keberhasilan Jan Ole Gerster membangun script yang ia
susun menjadi proses pengamatan yang tidak menjemukan juga terbantu berkat
performa mumpuni dari Tom Schilling,
mampu menghadirkan pesona yang menjadikan Niko seperti karakter nyata yang
berkelana di kota Berlin, tampil menawan, dan mampu menjadi objek observasi
yang menarik. Pemilihan warna monokrom juga tepat, apalagi dengan kehadiran
beberapa shoot cantik yang kemudian dikombinasi bersama dengan score jazz,
menciptakan kesan klasik namun juga berdampak positif dalam membantu ironi dari
karakter utama.
Overall, Oh Boy adalah film yang memuaskan.
Memang absurd, tapi Oh Boy berhasil
menjadi proses pengamatan tentang kehidupan kelam yang menarik berkat kemampuan
Jan Ole Gerster menjaga fokus utama
lewat perpaduan hitam dan putih cerita dalam bentuk yang padat dan efektif,
dari awal hingga akhir. Ladies and Gentlemen,
let’s get a cup of coffee, everyday, karena jujur saja saya ingin mengalami
apa yang dialami oleh Niko secara konstan, karena salah satu cara
sederhana yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup ketingkat yang lebih
tinggi lagi adalah dengan bertemu banyak orang dan hal baru. What a debut, Mr. Jan Ole Gerster.
0 komentar :
Post a Comment