“If I do not love her, I am a fool.”
Sebenarnya ini adalah sebuah film yang mengejutkan, bagaimana
ketika sutradara yang telah berhasil menghantarkan The Avengers menuju tangga kesuksesan justru memilih untuk
melanjutkan petualangannya dengan mencoba mengadaptasi salah satu karya William Shakespeare yang dikemas sangat
sederhana, shooting di rumah pribadi miliknya di California hanya dalam kurun waktu 12 hari, dan kemudian dikemas
dalam tone hitam-putih. Much Ado About
Nothing, ini manis.
Setelah menyelesaikan urusan dengan saudaranya Don John (Sean Maher), Don Pedro (Reed Diamond) memutuskan
untuk mengunjungi rumah sahabatnya Leonato (Clark Gregg), tempat dimana
putrinya yang bernama Hero (Jillian
Morgese) kemudian mulai terpikat pada upaya Claudio (Fran Kranz), perwira Don Pedro yang sejak awal ternyata
sudah menaruh hati pada Hero. Atas upaya yang sederhana, mereka berdua
memutuskan untuk menyelenggarakan pernikahan di taman belakang rumah Leonato,
segera.
Disamping itu ternyata Pedro, Cladio, dan Leonato menaruh
perhatian lain pada upaya untuk menjodohkan Benedick
(Alexis Denisof), perwira yang membenci wanita dan berjanji tidak akan
menikah, dengan keponakan Leonato yang bernama Beatrice (Amy Acker), yang celakanya juga membenci laki-laki.
Celakanya melihat semua yang ia lakukan telah berjalan lancar menjadikan Pedro
sedikit lengah, dimana tanpa ia sadari ada seseorang yang merasa kurang puas
dan mencoba menghancurkan semua rencananya dengan sesuatu yang sederhana.
Sebut saja ini sebagai side project yang rahasia dari seorang
Joss Whedon sebagai upaya untuk
mewujudkan salah satu yang mungkin menjadi impiannya, dimana ia bahkan sudah
menyelesaikan proses shooting sebelum The
Avengers masuk post-production. Yap, impresi awal saya bahkan menilai bahwa
ini akan menjadi sebuah film amatir yang asal jadi, namun semakin jauh ia
berjalan saya merasa bahwa penilaian awal tadi adalah sebuah tindakan yang
bodoh. Pastinya anda tidak akan medapatkan apa yang The Great Gatsby berikan, namun Whedon membuktikan bahwa Buffy the Vampire Slayer, Firefly, Serenity,
The Cabin in the Woods, dan Toy Story
adalah beberapa karya yang berada didalam filmography
miliknya.
Ini ditulis dengan baik. Tanpa melupakan nilai estetika,
Whedon tetap memegang teguh batasan yang ia ciptakan dengan tidak mau bermain
terlalu jauh dengan materi-materi yang punya potensi dapat merusak kenikmatan
dari menyaksikan kisah teatrikal. Dialog yang ia tampilkan sangat kental nuansa
klasik yang terasa terikat penuh dengan karya Shakespeare, beberapa terasa kaku
namun berhasil dimodifikasi dengan cermat sehingga memberikan style modern
tanpa melunturkan keanggunan masyarakat zaman dahulu. Ada bahasa Bard dengan
penggunaan “My Lord” dan “Signior” yang frequently, berkombinasi
dengan DSLR, tuxedo, hingga ipod.
Benar, itu sangat kental, dan sama seperti apa yang dialami
oleh Coriolanus pada awalnya akan
cukup sulit bagi penonton untuk mengkombinasikan materi-materi zaman dahulu
tersebut yang terasa canggung dengan latar zaman modern. Namun apa yang
menjadikan Much Ado About Nothing
berhasil meraih atensi adalah Whedon tahu memainkan tempo sehingga tidak pernah
gagal memanfaatkan tiap momentum untuk menarik keatas daya tarik cerita. Diawal
ia sedikit monoton, namun secara bertahap ia mampu menghadirkan situasi
teatrikal yang ringan dan menarik, dari drama, komedi, hingga romance, empuk.
Yap, drama yang ia miliki memang tidak begitu solid tapi
masih berada dalam level aman, dan itu tidak dialami oleh komedi. Tawa skala
besar memang minim, slapstick juga banyak yang terkesan dipaksa, tapi saya suka
bagaimana ia berhasil menghadirkan senyuman lewat dialog sederhana yang tajam
dengan tingkah-tingkah klasik seperti jatuh dari tangga, kerap kali menjadi
pencair dari situasi canggung. Kekonyolan dan situasi serius berhasil ia
seimbangkan dan tidak saling membunuh, menjadikan romantisme yang terasa
canggung lewat dialog-dialog yang seperti membaca pada awalnya itu perlahan
mulai menemukan nafas dan terasa hidup hingga akhir.
Dari divisi akting Amy
Acker dan Alexis Denisof adalah
penampil terbaik. Chemistry mereka kuat dalam bermain tarik ulur, hitam dan
putih karakter yang dibentuk dengan solid sehingga berhasil memancarkan pesona
dari kisah mereka. Fran Kranz adalah
titik lemah, dan menyebabkan tidak ada gejolak yang menarik dari kisah asmara
dirinya dengan Jillian Morgese. Pemeran lain bermain standar sesuai kapasitas
yang mereka miliki, namun scene stealer menjadi milik Nathan Fillion yang berperan sebagai polisi bernama Dogberry.
Overall, Much Ado About
Nothing adalah film yang memuaskan. Dua pasangan mencoba untuk
menemukan cinta dalam sebuah kemasan yang menarik, cerdas, seimbang, santai dan
ringan, namun tetap fokus pada inti yang ia miliki walaupun bermain-bermain
dengan banyak karakter lewat visual yang menarik. Much Ado About Nothing berhasil menjadi sebuah dongeng romantis
dalam sentuhan post-modern yang sederhana, mungkin segmented, tidak megah, tidak spesial, namun memuaskan. Well done, Joss Whedon.
waaa udah nunggu lama film ini!! udah ada torrentnya ya? >.<
ReplyDelete@Akbar Saputra: baru kemarin Bar, efek Agents of Shield kali ya. :)
ReplyDeleteudah lama lihat film ini tp ngk pernah di DL...setelah baca reviewnya kepo juga :)
ReplyDelete