Adam Sandler adalah aktor yang serba bisa. Ia bisa
menjadi ayah angkat yang jobless, pria penderita penyakit psikologis, tentara
yang kemudian menjadi penata rambut, memaksa Jennifer Aniston untuk mau menjadi
istri palsunya, bahkan menjadikan Al Pacino jatuh cinta padanya. Masuk ke level
produser, tidak heran Sandler tetap eksis, dan kerap kali mampu memperoleh
penghasilan dua kali lipat budget yang ia punya. Tapi ia standard, apakah wujud
kesetiaan dengan cara yang ia punya, atau justru karena rasa takut, yang
kemudian menjadikan kehadiran film ini cukup mengejutkan. Yap, Grown Ups 2, film sekuel pertama
Sandler, sukses di box office, masih dengan materi bodoh yang bodoh.
Lenny Feder (Adam Sandler) memutuskan
untuk membawa istrinya Roxanne (Salma
Hayek) beserta tiga anak mereka kembali ke Connecticut. Keputusan tersebut menjadikan Lenny kembali dekat
dengan tiga sahabatnya, Eric Lamonsoff
(Kevin James), Kurt McKenzie (Chris
Rock), Marcus Higgins (David Spade),
dan teman lamanya Nick Hilliard (Nick
Swardson). Namun berbeda dengan liburan musim panas tiga tahun lalu dimana
mereka mencoba mengajari anak-anak mereka dengan bersatu bersama alam, kali ini
empat sekawan itu yang justru memperoleh pelajara yang bersumber dari anak-anak
mereka.
Setelah bertemu
dengan kelompok mahasiswa anarkis yang dipimpin oleh Frat Boy Andy (Taylor Lautner), Lenny dan sahabatnya dihadapkan
pada masalah internal. Berawal dari Keithie
Feder (Cameron Boyce), masalah Lenny dan Roxanne semakin runcing, sedangkan
Eric terus berupaya bersembunyi dari istrinya Sally (Maria Bello). Kurt sendiri sibuk dengan perdebatan tentang
masalah tanggung jawab terhadap anak dengan Deanne
(Maya Rudolph), sedangkan Marcus harus bertemu dengan anaknya yang berjiwa
preman bernama Braden Higgins (Alexander
Ludwig).
Adalah hal yang
bodoh mengharapkan Adam Sandler hadir
dalam karakter yang cerdas, karena seperti disinggung pada paragraph pertama
bahwa karakter bodoh telah lekat dengannya. Sandler identik dengan ciri khasnya
lewat komedi hit-n-run yang tanggung, punya kemungkinan berhasil dan gagal yang
sama besar, tidak heran film yang dibintangi pria paruh baya ini kerap kali
gagal mendapatkan rating positif. Sandler adalah orang yang selalu optimis,
namun sayangnya pemalas, ia tahu apa yang ia lakukan belakangan ini tidak lagi
berhasil namun tidak mau merubahnya, menjadikan penonton yang ingin menyaksikan
kembali Sandler seperti era sebelum dan diawal millennium akan kecewa.
Grown Ups memang standar, namun tidak hancur. Ia
mampu tampil konyol namun pesan yang di usung juga mampu disampaikan dengan cukup efektif. Apa yang menjadikan ia menarik adalah ia punya pondasi yang kokoh,
alasan kuat mengumpulkan kembali empat sahabat yang telah dewasa, dan melakukan
keputusan tepat dengan mengurung mereka pada sebuah pondok di tepi danau dengan
sedikit sentuhan taman bermain. Tidak salah memang jika Grown Ups 2 ingin berkembang menjadi lebih besar, tapi celakanya
yang ia lakukan justru melewati batas. Ini terlalu besar, terlalu banyak
konflik, terlalu banyak karakter baru yang tidak penting, terlalu bertele-tele,
terlalu hectic untuk pesan yang sangat sangat sederhana.
Mayoritas
didominasi ketidak berhasilan bekerjanya off-color
humor yang sedikit menjurus kearah vulgar, Grown Ups 2 tampil hambar, datar, dan membosankan. Anda memang
dapat melihat upaya film ini untuk tampil fokus dan lebih besar dalam konteks
cerita, sayangnya hanya sebatas upaya karena eksekusi yang Dennis Dugan lakukan justru menjadikan timbunan konflik-konflik
kecil itu berubah menjadi sebuah benang kusut, semakin jauh ia berjalan semakin
terlihat bahwa script yang dibangun oleh Adam
Sandler, Tim Herlihy, dan Fred Wolf
adalah hasil tambal sulam, asal tempel, tidak memiliki keteraturan yang
baik, berantakan. Dari lelucon kentut, muntah, urin, hingga aksi bertualang di
keramaian kota untuk mengejar sebuah ban raksasa, bukannya menjadikan aksi
mereka tampak lucu justru menghadirkan situasi annoying kelas berat.
Yap, materi yang
Grown Ups 2 gunakan untuk menjadi
bahan lelucon bahkan tidak mampu diolah dengan baik oleh mereka. Dibalik
perannya dalam menggerakkan cerita dan ikut menyampaikan makna dari kehadiran
mereka, materi-materi tersebut lebih tampak sebagai frontal insult kepada
kalangan tertentu, sebuah saja mahasiswa yang digambarkan anarkis, orang kulit
hitam dengan keterlibatan Obama
didalamnya, dan juga polisi yang ditampilkan sangat bodoh jauh dari kesan
tangguh sebagai penegak keadilan.
Saya sendiri di
pertengahan film sempat merasa bingung apakah film ini sebenarnya punya alur
cerita, karena perlahan pergerakan Grown Ups 2 lebih tampak seperti parade konflik kecil, dimana konflik A membuka
jalan bagi konflik C, namun tidak ada keterkaitan yang erat diantara mereka. Grown Ups 2 tampak seperti perpindahan
cerita yang melompat sesuka hati antara banyak potongan kisah kecil yang
didominasi omong kosong, dan celakanya tidak mampu menghibur.
Grown Ups 2 juga melakukan satu kesalahan yang
mematikan unsur pemanis dari film pertamanya, interaksi antar karakter yang
menarik. Di film keduanya ini karakter seperti tidak menunjukkan bahwa apa yang
mereka lakukan adalah bagian dari usaha mereka untuk membuat penontonnya
tertawa, mereka justru lebih tampak hanya ingin menunjukkan berbagai lelucon
bodoh yang mereka punya, menganggap keberhasilan penonton tertawa sebagai bonus
belaka yang tidak begitu penting. Yap, bahkan untuk membuat anda tertawa saja
dia sudah tidak mampu, apalagi menyampaikan misi utama yang bernafaskan
keluarga.
Tidak ada yang
stand out dari divisi akting, porsi mereka terbatas bahkan ada yang seperti
tempelan belaka, seperti Shaquille
O'Neal, Taylor Lautner, Aly Michalka, Steve Buscemi, hingga karakter para
istri. Benar, kegagalan empat karakter utama pria menjadikan tingkah mereka
tampak lucu juga diakibatkan keterbatasan yang kini dialami para istri, yang di
film pertama punya peran cukup besar dalam menggerakkan cerita dan menjadi sisi
pembanding. Hasilnya, tidak ada pembanding yang menjadikan aksi para pria itu
menunjukkan bahwa boys will always be
boys.
Overall, Grown Ups 2 adalah film yang tidak
memuaskan. Kehadiran film ini seperti dipaksakan, karena sejak pondasi utama saja
ia sudah sangat lemah. Hal tersebut semakin parah dimana daya tarik pada
intimitas keluarga yang dalam dan sempit, yang juga menjadi daya tarik film
pertamanya, hilang begitu saja akibat area bermain yang begitu luas, begitu
ramai, begitu menjengkelkan. Jika anda merasa The Smurfs 2 dengan segala lelucon mentahnya itu sudah cukup
menyiksa, sebaiknya anda menghindar dari Grown Ups 2. Ini adalah film yang tidak mampu menghibur dengan tampil bodoh,
sebuah film yang pemalas dan membosankan.
0 komentar :
Post a Comment