"Poison our habitat, we'll poison yours."
Sebenarnya apa makna dari kata adil? Apakah penggambaran dari kondisi sama rata yang pada akhirnya menjadikan kejahatan harus di balas pula dengan kejahatan? Bukannya dengan menyakiti orang yang telah menyakiti banyak orang hanya justru menjadikan kita sama buruknya dengan mereka? Pertanyaan tadi digunakan sebagai pondasi oleh Zal Batmanglij dan Brit Marling pada kolaborasi kedua mereka, The East, sebuah thriller yang mumpuni. Ya, mumpuni.
Sarah Moss (Brit
Marling), mantan agent FBI, kini bekerja di perusahaan intelijen swasta bernama Hiller
Brood, yang dipimpin oleh Sharon
(Patricia Clarkson). Suatu ketika Sarah ditugaskan untuk menjadi mata-mata,
menyamar menjadi seorang traveler dalam upaya untuk masuk kedalam sebuah
perkumpulan bernama The East, sebuah
kelompok yang di cap teroris dan belakangan menjadi perhatian publik lewat aksi
mereka yang menaruh perhatian sangat besar terhadap bencana lingkungan, sumber
rasa cemas yang dialami oleh Sharon yang hendak berupaya untuk melindungi
klien-kliennya.
Berawal dari sebuah aksi melibatkan polisi, Sarah bertemu
dengan Luca (Shiloh Fernandez), yang
kemudian menuntunnya dalam kondisi mata tertutup menuju sebuah hutan terpencil
tempat The East berada. Cukup
mengejutkan karena Benji (Alexander
Skarsgård) pemimpin The East, Doc
(Toby Kebbell), seorang dokter yang gagal, serta Izzy (Ellen Page) dan beberapa anggota lainnya tidak menolak
kedatangan Sarah. Sayangnya, perlahan Sarah mulai lupa dengan pesan Sharon, “getting attached to them is all right, but
do not get soft,” yang kemudian menimbulkan rasa ragu pada diri Sarah, apa
statusnya dalam kasus ini, protagonist atau antagonis?
Meskipun tidak masuk dalam A-list, The East tetap merupakan film yang berada didalam radar saya,
dengan alasan utama yang tidak lain adalah kombinasi dari Brit Marling dan Zal
Batmanglij yang tahun lalu pernah menjadikan saya terjebak dalam pertanyaan
penuh ambiguitas tentang siapa sebenarnya sosok Maggie di dalam Sound of My Voice. Anda tidak akan
kecewa jika ekspektasi awal anda pada The
East adalah memperoleh sebuah sajian thriller dengan misteri yang kuat,
karena Batmanglij dan Marling kembali sukses menghadirkan elemen tersebut.
Warnanya masih sama dengan Sound of My Voice, bahkan sampai hal teknis sekalipun semacam
cinematography hingga editing. Yang menjadikan The East berbeda adalah plot utama yang kali ini memasukkan Brit Marling kedalam karakter yang
berlawanan dengan apa yang pernah ia lakukan tahun lalu, masih menggunakan
formula yang sama dengan pergantian minor dari sekte agama menjadi konflik
berbasis kelestarian lingkungan, tetap bermain bersama kelompok yang tertutup,
serta menggunakan operasi terselubung yang kemudian ditemani aksi spionase.
Memang secara garis besar terasa kurang begitu segar, namun
keberhasilan Batmanglij dan Marling menciptakan kembali misteri penuh
pertanyaan yang kuat patut mendapatkan apresiasi. Yap, apalagi jika melihat
keterkaitan konflik dengan misi yang mereka usung dengan tema lingkungan, cara
mereka mencampur sisi humanisme dengan kritik terhadap budaya kapitalisme,
script manipulatif yang terstruktur dengan baik bersama kompleksitas yang
menitik beratkan pada permasalahan moral, ini rapi dan intens. Pertanyaannya
apakah semua yang The East berikan
tampil memuaskan?
Jawabnya adalah tidak. Harapan utama pada film ini adalah menjadi
Sound of My Voice yang lebih luas,
lebih besar, dan lebih menarik. The East
berhasil dalam dua hal pertama, namun tidak dalam upaya untuk tampil lebih
menarik. Ia memang lebih serius, lebih matang, namun tidak total.
Permasalahannya bukan terletak pada karakter yang justru tampak dikembangkan
dengan baik terutama karakter Sarah yang menjadi pusat cerita, namun pada
eksekusi dari ide potensial yang ia miliki. Tidak bodoh, malah terasa cerdas,
namun Zal Batmanglij seperti menopang
beban yang lebih berat dari yang ia peroleh sebelumnya, mempersempit ruang
gerak dalam hal kebebasan, dan menjadikan alur cerita tampak kaku, hampir
dominan malah.
Betul, beban pada tiga harapan utama tadi menjadikan
pergerakan film ini terasa kaku, yang seharusnya tidak boleh terjadi karena
salah satu letak keunggulan Zal
Batmanglij yang berhasil menjadikan banyak orang kagum padanya adalah
kemampuannya membangun kisah yang intens, namun juga intim. Ruang untuk
permainan imajinasi itu tidak lagi menyenangkan, ia tampak sangat fokus
membangun konflik utama, yang bahkan kerap kali menjadikan materi kecil lainnya
kurang terbangun dengan baik, sebut saja pertanyaan provokatif yang ditinggal
begitu saja. Masih intens, namun The East
kerap kali kehilangan momentum dan tensi, baik dari cerita dan daya tarik.
Dari divisi akting, Brit
Marling masih tampil dengan standard yang ia punya, permainan ekspresi
wajah yang datar dan mengganggu, bersama suara yang menciptakan kondisi ambigu
pada karakternya. Sedangkan Alexander
Skarsgaard memang punya karisma, namun tidak memiliki power yang cukup
besar untuk menimbulkan tekanan yang menakutkan. Sedangkan Ellen Page mampu bermain sebagai sosok yang menjaga api ambisi yang
diusung kelompok tetap hadir dalam cerita.
Overall, The East
adalah film yang cukup memuaskan. Sejak awal sudah mampu untuk menarik
perhatian penontonnya, menghadirkan misteri yang kuat ditemani pertanyaan yang
mengundang ambiguitas, sayangnya punya pergerakan cerita yang kurang bebas dan
menggerus daya tarik, walaupun dikemas dengan rapi dan intens. Dibandingkan
dengan Sound of My Voice, ini lebih
besar, lebih matang tentunya, namun tidak lebih menarik.
Kak rorypnm review I origins, dibintangi brit marling juga. Kayaknya gue udah mulai suka dech ama dia, ditunggu yaa
ReplyDeleteSulit, karena I Origins sudah pernah saya tonton, dan itu sudah lama banget, sudah lupa plus dan minus film tersebut. :)
Delete