"It doesn't matter where you came from. What matters is who you choose to be."
Jika ada pertanyaan film rilisan tahun 2013 mana yang punya
trailer paling datar, garing, dan unimpressive, salah satu kandidat terkuatnya
adalah The Smurfs 2. Kesempatan
singkat itu bukannya digunakan menjadi media untuk menunjukkan potensi dari kualitas
yang mereka miliki, trailer The Smurfs 2
justru menjadi sebuah parody show-off yang mencoba memaksa penontonnya untuk
tertarik. Hal tersebut juga terjadi ketika ia telah melakukan ekspansi menjadi
paket yang lebih besar, a deeply
disappointing experiment.
Gargamel butuh sari smurfs, dan mencoba memanfaatkan dua
smurfs ciptaannya yang ia anggap sebagai produk gagal, Hackus (J. B. Smoove) dan Vexy
(Christina Ricci), sebagai jalan untuk menculik Smurfette, dan mendapatkan
formula yang dia butuhkan. Peristiwa tersebut memaksa Papa Smurf (Jonathan Winters) untuk kembali ke dunia nyata, membawa
serta pasukannya, Clumsy (Anton Yelchin),
Grouchy (George Lopez), dan Vanity (John Oliver), berkelana menyusuri
kota Paris untuk menyelamatkan Smurfette, dan mungkin menyelamatkan dunia.
The Smurfs 2 sebenarnya adalah film yang sejak awal sudah sadar bahwa
materi yang ia miliki tidak punya kekuatan yang cukup mumpuni untuk meloncat
lebih tinggi, namun celakanya tidak mampu (atau mungkin tidak mau) menghadirkan
elemen lain yang setidaknya dapat menjadi penyeimbang kekacauan yang telah ia
punya sedari pondasi utama. Pencarian jati diri yang dibalut dengan
penggambaran tentang hubungan anak dengan ayahnya menjadikan The Smurfs 2 tidak punya banyak ruang
untuk bersenang-senang. The Smurfs 2
seperti terjebak pada konsep yang ia ciptakan sendiri, bagaimana cara melakukan
kombinasi dari unsur drama sentimental yang secara mengejutkan mampu menjadi
fokus utama para penonton, bersama dengan jualan utama mereka, sebuah
petualangan sederhana yang menyenangkan.
Punya plot yang terlalu tipis, dangkal, The Smurfs 2 justru memberikan porsi yang sama besar pada dua tema
utama yang ia miliki, yang alih-alih menjadi media untuk menebar pesan-pesan
moral bagi penonton muda, justru lebih tampak sebagai hal yang disengaja untuk
menutupi kreatifitas mereka yang sudah stuck (Breakfast at Tiffany? Flat). The
Smurfs 2 bahkan mayoritas di isi dengan sebuah penggambaran yang menunjukkan
rasa bingung yang mereka miliki pada cara selanjutnya untuk menjalankan cerita.
Memanjangkan kisah sempit dengan materi manipulatif bernafaskan stockholm syndrome, memasukkan
karakter-karakter lemah kedalam ruang cerita yang berbelit-belit, menghadirkan
adegan catch-and-run yang tidak lucu, alur cerita yang tidak kuat dan terkesan
tambal sulam, The Smurfs hanyalah sebuah paket show-off, a smurfventure to make people know a lot of random words which they can
use in smurfversation.
Ini murni sebagai sebuah media yang digunakan oleh Sony untuk
mencoba mewujudkan ambisi mereka dalam mengulang kesuksesan yang diperoleh oleh
film pertama dari segi finansial, tanpa ambisi yang sama besarnya pada materi
penyusun film itu sendiri, dengan Raja
Gosnell yang masih menggunakan
formula yang sama, serta script pemalas hasil kerja sama J. David Stem, David N. Weiss, Jay Scherick, David Ronn, dan Karey Kirkpatrick yang tampak tidak mau
mencoba memperbaiki kualitas yang ia miliki. Sebagai penonton anda mungkin akan
bingung pada misi utama film ini dari segi cerita, pesan moral tidak
tersampaikan dengan baik, petualangan menyenangkan justru berubah menjadi
perjalanan penuh omong kosong.
Lantas apakah film ini punya nilai yang penting? Bagi
penonton, The Smurfs 2 mungkin akan
tampak sebagai sebuah sekuel yang tidak perlu, bahkan sebuah penurunan dari
pendahulunya yang setidaknya masih punya sebuah warna manis dari hubungan Patrick (Neil Patrick Harris) dan Grace (Jayma Mays), yang kali digantikan
oleh father-son relationships dengan
kehadiran Victor (Brendan Gleeson).
Namun bagi Sony Pictures Animation
ini jelas merupakan sebuah film yang penting, menjadi sebuah tester apakah
“boneka” miliknya ini masih punya kekuatan yang bisa diandalkan di masa depan,
dari segi finansial. Semoga mereka telah mengerti, cara ini sudah basi, dan
menghadirkan formula baru di film ketiganya.
Overall, The Smurfs 2
adalah film yang tidak memuaskan. Mungkin hanya dua hal yang menjadi sumber
film ini memperoleh penonton, mereka yang benar-benar cinta dengan Smurfs, atau
mereka yang masih menyimpan sebuah rasa penasaran. Kacau? Ya, ini kacau.
Penting? Tidak, pesan utama lemah dan terkubur mati, serta tanpa hiburan
menyenangkan yang sulit untuk anda dapati, apalagi untuk dinikmati. It’s just a smurfackage full of
smurfonsense. Oh my, I’m smurfected with smurfhing.
0 komentar :
Post a Comment