Ada kalimat
“hadapi semua masalah dengan senyuman”, namun sebenarnya itu saja tidak cukup.
Senyuman adalah tampilan fisik yang dapat di rekayasa, tidak menjadi
penggambaran dari kondisi nyata seseorang. Anda perlu faktor lainnya, rasa
tenang. The Silence (Das letzte
Schweigen) berhasil menjadi sebuah sajian menarik yang membuktikan teori
tersebut, sebuah perpaduan efektif dari crime,
thriller, dan juga drama, film
yang menjadikan Memories of Murder
sebagai inspirasi utamanya.
8 Juli tahun
1986, Pia, seorang gadis muda berusia 11 tahun, dinyatakan hilang dengan jasad
yang tidak ditemukan. Hanya sepeda dan sebuah headphone miliknya yang
tertinggal, ditemukan di sebuah ladang gandum yang pada akhirnya dianggap
sebagai makamnya, yang tragisnya juga menjadi tempat dimana ia terlebih dahulu
diperkosa oleh seorang pria bernama Peer
Sommer (Ulrich Thomsen). Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi, 23 tahun
kemudian, pada tanggal yang sama, seorang gadis muda lainnya bernama Sinikka (Anna Lena Klenke) dinyatakan
hilang, tepat dilokasi yang sama, ladang gandum didekat makam Pia.
Kondisi tersebut
sontak menghadirkan sebuah kepanikan besar dengan pertanyaan utama apa maksud
dari si pelaku tersebut jika menilik tanggal yang ia pilih serta metode dan
tempat yang sama persis. David Jahn
(Sebastian Blomberg), seorang detektif yang baru saja menerima sebuah
pengalaman pahit, dipercaya menangani kasus yang ikut menarik kembali pihak
yang pernah terlibat lebih dari dua dekade lalu, Detektif Krischan (Burghart Klaußner) yang telah pensiun, hingga Elena (Katrin Saß), ibu Pia. Namun Timo Friedrich (Wotan Wilke Möhring)
adalah sosok yang paling merasa cemas dan menganggap peristiwa ini sebagai
panggilan buatnya, pria yang 23 tahun lalu berada di dalam mobil merah milik
Peer.
Mungkin terkesan
rumit, namun film yang diadaptasi dari novel berjudul Das Schweigen karya Jan
Costin Wagner ini sesungguhnya punya inti yang sangat sederhana, faktor
yang justru menjadikan penggambaran yang ia bangun menjadi menarik. Menawarkan
warna cerita yang tampak seperti sebuah kisah detektif dengan penilitian
terhadap kasus utama yang unik, The Silence justru hadir sebagai sebuah sajian
yang berisikan siksaan psikologis dijalankan dengan tenang bersama kebingungan
yang terus ia tampilkan.
Kesuksesan utama
The Silence terletak pada kemampuan
ia menciptakan sebuah arena bagi permainan imajinatif, ditemani rasa gelisah
dan cemas yang berasal dari ancaman konflik utama, namun menariknya minim
adegan kekerasan. Kuncinya terletak pada pertanyaan dan misteri yang berhasil
dibangun dengan baik oleh Baran do Odar,
menghadirkan situasi penuh rasa putus asa dalam cerita yang berjalan tanpa
jawaban yang terkunci mati pada satu opsi dari pertanyaan yang ia lemparkan,
ditemani dengan nuansa gelap psikologis yang tidak pernah padam berkat
cinematography yang mumpuni.
Dengan
menggunakan sebuah kisah kembalinya memori buruk bersama cerita yang bertemakan
sebuah perpaduan antara cara kerja kepolisian, kisah pembunuh berdarah dingin, The Silence mampu mengkombinasikan dua
materi tadi sehingga dapat berjalan bersama dengan present condition,
membangkitkan rasa sakit namun tidak mematikan potensi yang dimiliki konflik
baru. Pilihan untuk tidak menggali terlalu dalam tiap karakter ikut memberikan
dampak pada kompleksitas cerita yang menjadi seolah tampak rumit, menghasilkan
sebuah arena bermain yang tepat guna bagi rasa sedih, rasa bersalah, hingga
rasa keji terhadap tindakan pedofilia untuk merasuk kedalam sudut pandang
penontonnya.
Uniknya lagi,
hanya dengan nuansa kelam The Silence
sanggup menyajikan ketenangan yang punya daya cengkram mumpuni, berjalan lambat
bersama gelapnya cerita, membagi dengan baik penderitaan pada setiap karakter,
kemudian digerakkan dengan tempo yang variatif dan mampu menjebak penontonnya
ikut serta terperangkap dalam cerita. Hal tersebut yang mampu menjaga fokus
dari proses pencarian jawaban dari pertanyaan itu tidak kehilangan power,
meskipun di beberapa bagian The Silence
justru kerap kali akan dengan mudah terlihat seperti mondar-mandir, mungkin akan
membosankan bagi sebagian orang walaupun itu ia lakukan masih dengan arah yang
jelas.
Yap, mungkin,
karena film ini terasa tidak stabil di bagian tengah cerita. Bergerak maju
dengan menggunakan beberapa cara efektif untuk menjaga eksistensi kisah masa
lalu, The Silence menjadikan rasa
bingung yang ia hadirkan dalam sebuah ambiguitas memberikan dampak menghalangi
upaya para penonton untuk ikut menaruh simpati pada karakter. Anda bisa melihat
rasa cemas dan takut, namun tidak untuk ikut merasakan hal itu pada titik
tertinggi. Begitupula dengan kehadiran beberapa scene yang terasa kurang
penting, mengorbankan durasi yang mungkin jika dipangkas 15 menit akan mampu
menambah kesolidan cerita yang ia miliki.
Dari divisi
akting yang dipenuhi warna canggung, penampilan memikat menjadi milik Wotan Wilke Möhring. Dialog yang ia
miliki memang minim, namun berhasil mencuri posisi utama berkat wajahnya yang
ekspresif dalam menggambarkan apa yang ada dipikirannya. Sedangkan dua aktor
lainnya menjadi objek hitam dan putih, Sebastian
Blomberg dengan rasa cemas yang ia tinggi, dan Ulrich Thomsen dengan ketenangan yang maksimal. Katrin Saß mampu menjalankan tugasnya
untuk menjaga rasa sakit dari kasus Pia.
Overall, The Silence (Das letzte Schweigen)
adalah film yang cukup memuaskan. Punya konflik utama yang sederhana dan unik, script
yang rapi, berhasil dibangun menggunakan cara yang menarik. Film ini berhasil
menjadi penggambaran yang menyenangkan bahwa dalam kondisi seburuk apapun
kemampuan dalam mengontrol diri bersama rasa tenang dalam menghadapi masalah
dapat memberikan anda hasil yang positif. Tidak segar, namun efektif bagi
mereka yang gemar dengan cerita tentang kekacauan emosional yang berjalan
tenang. Sederhana, segmented.
0 komentar :
Post a Comment