"My dear young cousin, if there's one thing I've learned over the eons, it's that you can't give up on your family, no matter how tempting they make it."
Film kedua dari
sebuah franchise memiliki fungsi untuk menjadi penentu kesuksesan franchise
tersebut, sebagai tolak ukur potensi yang ia miliki, apakah mereka mampu
mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas yang telah diciptakan
pendahulunya, atau justru menghancurkannya. Beban berat itu di bawa oleh film
ini. Potensi tentu saja masih ada, namun Percy
Jackson & the Olympians: The Lightning tidak mampu menyentuh standar
megah seperti harapan banyak orang , yang celakanya semakin rusak oleh Percy Jackson: Sea of Monsters, yang
bahkan sulit untuk menyentuh standar memuaskan.
Dahulu kala, Thalia (Paloma Kwiatkowski), anak
perempuan Zeus, mencoba menjadi pahlawan bagi tiga temannya, Annabeth (Alexandra Daddario), Grover (Brandon T. Jackson), dan Percy Jackson (Logan Lerman), menghadang
serangan Cyclops, namun harus
kehilangan nyawanya. Ayahnya memutuskan untuk merubah Thalia menjadi sebuah
pohon, dan melindungi kawasan tersebut yang kini dinamai Camp Half-Blood, dan dipimpin oleh Dionysus (Stanley Tucci). Namun celakanya dibalik semua kegembiraan
dibalik persaingan sehat yang mereka ciptakan, ada seseorang diantara mereka
yang berniat untuk melakukan pemberontakan, meruntuhkan tembok pelindung tadi
dengan meracuni pohon Thalia.
Dia adalah Luke Castellan (Jake Abel), anak Hermes (Nathan Fillion), ingin
menghancurkan Olympus dan menghidupkan kembali sosok yang ia kagumi, Kroton.
Keberhasilannya mencegah perang antara Zeus
dan Poseidon tentu menjadikan Percy
sebagai kandidat terkuat dalam memimpin misi untuk meraih kembali Golden Fleece, kain berlapis emas yang
mampu menyembuhkan kembali Thalia. Namun celakanya justru Clarisse La Rue (Leven Rambin) yang terpilih, demigod yang
merupakan anak Ares. Ini semakin menambah beban Percy yang sudah kedatangan Tyson (Douglas Smith), saudara tiri
tidak terduga, serta ramalan bahwa masa depan Gunung Olympus berada ditangan
salah satu demigods, menyelamatkannya, atau justru menghancurkannya.
Sebuah kesalahan
besar jika anda menaruh ekspektasi yang tinggi pada film ini, tidak perduli
seberapa besar sekalipun cinta anda pada novel yang menjadi pondasinya, dan
sebesar apapun cinta anda pada Logan
Lerman dan Alexandra Daddario.
Walaupun tetap menjadi sebuah guilty pleasure bagi saya (ya, you can all me
crazy), Chris Columbus tidak berhasil menjadikan Percy Jackson & the Olympians: The
Lightning Thief sebagai sebuah starter yang apik tiga tahun lalu, padahal
kala itu harapan yang terbentuk cukup tinggi mengingat Harry Potter sudah menuju ke babak akhir. Percy Jackson: Sea of Monsters mendapatkan imbas dari kurang
gemilangnya pendahulunya tersebut, ekspektasi tidak begitu tinggi, dengan
harapan utama hanya ingin seberapa jauh mereka telah bertumbuh, dan seberapa
jauh pula potensi mereka untuk bertahan.
Sayangnya, fakta
yang terjadi jauh dari harapan yang sudah tidak begitu tinggi itu. ceritanya terasa
lebih sempit, skalanya juga tampak lebih kecil (menjadikan ancaman dari ramalan
itu terasa bodoh), cerita yang tampak mencoba setia dengan buku, namun tidak
mampu mengulang keberhasilan utama dari pendahulunya, menghadirkan karakter
yang menarik dan kisah yang menghibur untuk menemani petualangan yang tidak
berkembang secara kualitas. Petualangan yang menyenangkan itu kini berganti
menjadi sebuah tamasya seorang anak dewa dengan teman-temannya. Narasi tidak
berkembang, berbelit-belit penuh omong kosong dan one-liner mentah, PJ:SM dalam sekejap mengubur mati potensi
yang ia tunjukkan di bagian awal dengan menghadirkan sebuah petualangan yang
tidak fokus, pergerakan cerita yang tidak bersemangat dan tidak mampu memanfaatkan
setiap momentum yang ia miliki.
Ini film yang
datar dan hambar. Ada sebuah ancaman besar dihadapan mereka, namun perjuangan
Percy justru dibentuk seperti sebuah tugas dari kegiatan pramuka, yang pada
akhirnya menjadikan apa yang ia berikan akan dengan mudah terlupakan. Ya,
konyol, Percy Jackson: Sea of
Monsters justru tampak seperti sebuah parodi komedi yang mencoba serius
dengan pondasi sebuah metologi Yunani yang megah. Berisikan banyak pertarungan
singkat, sering terlihat stuck ketika mencoba maju, PJ:SM adalah film yang bingung
membentuk identitasnya, menggunakan beberapa formula basi yang sudah familiar,
ditemani CGI yang seperti dipaksakan, dan dibalut dengan cerita dangkal,
hadirkan perkelahian untuk mencoba keren namun tidak berbobot, dan ketika harus
masuk ke bagian yang menuntut sisi emosional hanya menghadirkan kekecewaan
dengan dramatisasi yang berantakan. Ah, jangankan drama, bahkan untuk
menghadirkan humor yang menjadi “sinar” lain di film pertamanya saja mereka
tidak mampu.
Kesalahan utama
dari film ini adalah penunjukkan Thor
Freudenthal sebagai sutradara, dan Marc
Guggenheim sebagai screenwriter. Film pertama telah menciptakan standar
bagi franchise ini, selang tiga tahun berlalu, penonton telah bertumbuh, dan
tidak dapat dipungkiri masih banyak yang menaruh harapan pada Percy, dan
menginginkan ia dan teman-temannya berkembang kearah positif dan (setidaknya
sekecil apapun) lebih dewasa, dan sayangnya hal itu tidak menjadi fokus (atau
tidak perduli) bagi Freudenthal dan Guggenheim. Mereka justru membangun PJ:SM menjadi
perpaduan Diary of Wimpy Kids dan Green Lantern, petualangan remaja awal
yang dangkal dan childish, cukup dengan menghadirkan
pertarungan keren untuk menjaga cerita tetap bernafas, serta meninggalkan
begitu saja potensi yang sebenarnya masih ada dalam bentuk kisah personal.
Salah satu
elemen yang di incar para penonton dari Percy
Jackson: Sea of Monsters adalah hiburan visual, dan hasilnya sangat
mengecewakan. Jika harus digambarkan dalam satu kata, kualitas visual film ini
adalah: POOR. Dia memang masih punya beberapa karakter imajinasi yang cukup
baik, seperti kuda penuh warna itu, dan juga Kroton yang kehadirannya juga
tidak begitu buruk, namun kegagalan utama PJ:SM adalah dalam menciptakan
suasana yang mampu menjadikan penonton merasa nyaman. Mata anda akan dipaksa
keras untuk fokus pada layar akibat gambar yang didominasi tampilan kurang
fokus dan kokoh, kasar, begitupula dengan tingkat kecerahan yang minim dan
semakin menambah kekacauan ketika berkombinasi dengan kedalaman gambar yang
tidak mumpuni, tidak sehat.
Percy sendiri
tidak menampilkan sebuah motivasi yang mumpuni, sangat bertolak belakang dengan
kalimat yang ia ucapkan, menyelamatkan Olympus, atau menghancurkannya. Motivasi
yang dimiliki Logan Lerman sama
dengan karakter yang ia mainkan, lebih
sering terlihat ragu, seolah dihantui pertanyaan yang menjadikan ia lebih
tampak seperti seorang remaja pria yang mellow ketimbang seorang anak dewa yang
mencoba menjadi pahlawan. Begitupula dengan kualitas dari Daddario, yang kali
ini seperti tidak yakin posisi dan fungsi yang Annabeth miliki dalam cerita,
kehilangan karakter tangguh yang justru menjadikan ia tampak menarik di film
pertama, dangkal, namun at least tidak sedangkal Grover yang potensinya sebagai
sumber tawa justru tidak dibentuk dengan baik. Scene stealer menjadi milik Nathan Fillion.
Overall, Percy Jackson: Sea of Monsters adalah
film yang kurang memuaskan. Pertanyaan yang tertinggal dari film kedua ini
adalah keputusan apa yang akan diambil film ketiganya kelak jika ia akan hadir,
sama seperti Percy Jackson: Sea of
Monsters dengan menjadi film yang terus mencoba untuk berjiwa muda dan
menaruh sasaran tembak pada kaum remaja, atau justru menjadikan petualangan
Percy layaknya Harry Potter, membawa penontonnya ikut bertumbuh bersama
karakter. Namun seperti elemen dari judul yang ia miliki, peluang harapan
penonton pada film ketiga bisa saja sudah lenyap ditelan oleh Segitiga Bermuda.
Short info, Annabelle is now in Elysium.
0 komentar :
Post a Comment