“Well if I'm not a human then what am I?”
Momen itu masih ada, ruang kosong yang punya
potensi besar untuk di eksplorasi, situasi dimana jutaan penggemar Harry
Potter dan Twilight mulai mencoba move on dari karakter yang
mereka "cintai", dan mulai mencari tokoh baru yang layak untuk
mendapatkan cinta mereka. Yap, layak, karena tidak perduli seberapa terkenal
novel tersebut, mentransfer ratusan lembar menjadi sajian berdurasi dua jam
merupakan tugas yang tidak mudah. The Mortal Instruments: City of Bones,
torture movie, tidak mengecewakan, super boring.
Clary
Fray (Lily Collins), mulai mengalami hal aneh ketika ia dapat melihat sebuah simbol yang
intensitas kehadirannya mulai meningkat, namun celakanya turut merubah perilaku
Clary, dan mengundang atensi dari ibunya Jocelyn Fray (Lena Headey),
serta sahabat ibunya, Luke Garroway (Aidan Turner). Ternyata simbol
tersebut membawa Clary masuk kedalam fakta yang sesungguhnya tentang dirinya,
menjadikan ia memperoleh akses masuk kedalam sebuah klub malam bersama teman
prianya, Simon Lewis (Robert Sheehan), tempat yang ia gemparkan ketika
melihat Jace Wayland (Jamie Campbell Bower) beraksi.
Kala itu Jace, bersama dua temannya, Alec
Lightwood (Kevin Zegers) dan Isabelle Lightwood (Jemima West), sedang
membunuh seorang pria, namun anehnya tidak memperoleh respon dari keramaian
yang ada, menjadikan teriakan Clary menjadi sebuah kejutan bagi mereka, dan
ketika diculik oleh Emil Pangborn (Kevin Durand) mengingatkan Clary
tentang Valentine Morgenstern (Jonathan Rhys Meyers), pria yang menculik
ibunya. Demi menyelamatkan ibunya Clary terpaksa bergabung dengan Shadowhunters,
dibawah pimpinan Hodge Starkweather (Jared Harris), namun ternyata
menjadi sosok terpilih yang menjadi kunci pertarungan dunia lain dibawah New
York yang disebut Downworld.
Sebagai peringatan awal, anda mungkin akan banyak
menemukan nafas Twilight dan Harry Potter dalam film ini, karena
apa, karena The Mortal Instruments: City of Bones dengan sangat jelas
dan mudah akan tampak seperti kemasan baru yang berisikan perpaduan dua film
tadi, kisah cinta segitiga yang dibalut dengan sebuah petualangan dalam upaya
mencari sesuatu yang hilang. Yap, sejak awal MI:CB memang sudah tampak tidak
meyakinkan, berpusat pada prediksi banyak pihak yang menganggap film ini akan
menjadi another failure dari upaya Hollywood menjejalkan adaptasi kisah
fantasi remaja baru untuk mengisi kekosongan di genre ini yang masih belum
menemukan sosok kuat baru yang sulit tertandingi.
Tidak perlu pertimbangan yang rumit untuk
mengatakan "gagal" kepada film ini. Tapi pertanyaannya apakah film
ini sekacau itu? Apakah ia memang secara total tidak punya potensi sama sekali?
Sebenarnya tidak. Di 20 menit pertama, mungkin hingga setengah jam dari
durasinya yang panjang itu, MI:CB masih berada di zona yang forgiveable.
Karakter masih berupaya memperkenalkan dirinya, membangun konflik bersama
misteri yang sebenarnya masih menarik di tahapan tersebut, menghasilkan
permainan alur cerita yang masih aman. Celakanya, layaknya mengendarai roller coaster,
anda secara mengejutkan akan dibawa turun dengan kecepatan yang sangat cepat,
tanpa dibarengi lagi kehadiran jalur mendaki, datar, sedikit turun, dan
seterusnya.
Ya, ini adalah film yang membosankan, hambar,
datar, diolah dengan cara yang bodoh. Cassandra
Clare pasti akan merasakan sebuah kesedihan yang sangat mendalam ketika
mendapati novel City of Bones miliknya diterjemahkan dengan cara yang
tampak asal-asalan. Ini seperti film yang bergerak tanpa naskah, dimana para
aktor hanya di bekali kerangka kasar dari petualangan konyol yang akan mereka
bangun. Ditaburi dialog-dialog yang jauh dari kesan berkualitas, Jessica
Postigo Paquette menyusun sebuah alur cerita yang tersesat di jalur lurus,
mondar-mandir dan berbelit-belit dengan materi yang punya impact kurang
penting, tampak seperti berupaya untuk membangun kompleksitas dari mitologi
yang ia punya, namun justru lebih terlihat sebagai usaha untuk mengulur waktu
agar memiliki durasi panjang dan terlihat sebagai sebuah film yang megah.
The
Mortal Instruments: City of Bones adalah film yang berupaya sangat keras untuk dapat
terlihat megah. Tidak dapat menyalahkan Harald Zwart ketika materi yang
ia tawarkan banyak memiliki referensi pada Harry Potter, namun kedangkalan
yang ia ciptakan pada identitas yang dimiliki oleh film ini tidak dapat
dimaafkan. Kurang begitu paham dengan cara Zwart membangun materi yang ia miliki, memasukkan
manusia serigala, vampire, hingga penyihir kedalam Underworld,
menggunakan formula paling klise di genre ini, apakah ia sudah kehabisan
kreatifitas, atau sebegitu rendahkan ia memandang kualitas para remaja saat ini
dengan anggapan mereka akan dengan mudahnya mencintai sajian konyol dan rapuh
yang ia tawarkan.
Sejak awal The Mortal Instruments: City of Bones
sudah rapuh, menumpuk banyak plot tipis tanpa menyuntikkan informasi yang kuat
didalamnya, membiarkan plot terbuka dengan menghadirkan pertanyaan tanpa
membuka jalan untuk hadirnya sebuah jawaban, bergerak absurd dan bingung, tidak
fokus, dan ketika ia mulai stuck anda akan merasakan sebuah kesulitan untuk
menaruh atensi pada cerita. Ya, pada cerita saja sudah sulit, apalagi pada
karakter yang tidak berkembang, tidak menunjukkan motivasi dan juga ancaman
dari masalah yang mereka hadapi, datar, sama datarnya dengan unsur pemanis
dalam bentuk komedi dan romance yang kaku dan berakhir awkward.
Lantas apa sisi menarik yang ditawarkan film ini?
Kasar memang, namun jawabnya adalah tidak ada. Visual efek? Hanya permainan
unik bersama air di Portal Institute yang benar-benar menarik, selebihnya tidak
ada yang memikat. Harapan lain pada sebuah kisah cinta segitiga juga tidak
berhasil mencapai ekspektasi. I love Lily Collins, tapi sorry aktingnya sangat tidak impresif sebagai Clary. Begitupula pada chemistry yang
dibangun dengan Jamie Campbell Bower (yang lebih sering terlihat sebagai
model yang tersesat, mentah). Yang menarik justru satu
hal yang mungkin akan teringat dengan mudah ketika film berakhir, sebuah
jalinan terlarang yang mengejutkan.
Overall, The Mortal Instruments: City of Bones
adalah film yang tidak memuaskan. Kembali ke paragraf awal, ini jelas bukan
film yang mengecewakan karena ekspektasi awal yang sudah begitu rendah. Yap, torture
movie, menyiksa dengan perpaduan materi membosankan dan durasi yang
panjang. Film ini sangat layak dijadikan pilihan jika anda jenuh dengan
film-film berkualitas, seperti yang pernah saya sebutkan sebelumnya sebagai
secangkir teh agar anda mengingat betapa nikmatnya sebuah wiski. Bergabung
dengan Beautiful Creatures, Percy Jackson, dan jika menarik
sedikit kebelakang ada I Am Number Four, semakin menambah panjang rasa
penasaran bagaimana cara Hollywood membangun film young-adult agar
tidak berakhir mengecewakan. That means, The Hunger Games is awesome.
wah...kacau ya filmnya padahal novelnya bagus :( kalo film pertama udah kayak gini gmn seri yg lain :(
ReplyDelete@katy secret: iya, padahal meskipun ngak semegah Harry Potter novelnya masih menarik bagi saya, tapi filmnya, kacau. :)
ReplyDeleteTapi apa ada kemungkinan segi pandang orang yg dengan sekilas menyimpulkan film ini layak diacungi jempol, atau sekadar pelepas jenuh di saat pasokan film lainnya sudah habis?
ReplyDeleteBagaimana caranya ya mengambil kesimpulan hanya dari pengamatan sekilas? Pertanyaan anda tidak punya “fokus” yang jelas, jadi tidak bisa saya jawab. Thanks kunjungannya. :)
DeleteYang bikin saya betah menyelesaikan film ini cuma karena Yang jadi Jace agak cute dan kece.. Sisanya beneran boring dan maksa banget..
ReplyDelete